kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pencitraan perusahaan

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Jumat, 29 April 2016 / 22:49 WIB
Pencitraan perusahaan

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Image-management alias pengelolaan pencitraan adalah praksis yang lazim digunakan saat ini, entah secara perorangan ataupun oleh korporasi. Begitu pentingnya pencitraan, banyak pihak yang bahkan mempekerjakan sebuah tim yang khusus memikirkan urusan manajemen pencitraan ini.

Konon, dampaknya begitu besar terhadap persepsi publik. Buat mereka yang bergelut di bidang politik, urusan pencitraan ini sangat berpengaruh terhadap hasil pooling.

Sementara dalam konteks bisnis, faktor image akan memengaruhi penilaian stakeholders (entah itu pelanggan, pemerintah, ataupun masyarakat) terhadap eksistensi perusahaan berikut produk dan layanan yang diberikannya. Jangan heran bila banyak korporasi besar yang melakukan kampanye publik lewat berbagai media dan sarana, yang tentunya menelan dana yang sangat besar.

Demikian pula, bagian marketing pun akan berusaha mengiklankan kehebatan sebuah produk atau layanan secara fantastik, yang lagi-lagi tentunya memerlukan biaya yang tak sedikit.

Di dalam ilmu psikologi, kita diajarkan bahwa pribadi seseorang sesungguhnya terdiri dari dua sisi. Sisi pertama disebut sebagai outer-self, sedang yang lainnya adalah inner-self. Outer-self adalah citra diri yang ingin ditampilkan seseorang kepada publik atau orang lain. Adapun inner-self adalah keadaan diri seseorang yang senyatanya dan apa adanya.

Tak perlu heran, jika ada seorang gadis yang sesungguhnya tomboi dan cuek dalam penampilan (karena itulah inner-self- nya), kemudian bisa berubah menjadi sosok feminin dan mengenakan gaun anggun pada saat diperkenalkan dengan orangtua sang pacar. Dalam hal ini, ia berusaha menampilkan outer-self yang bisa menarik hati sang calon mertua.

Pertanyaannya, mana yang lebih langgeng di antara kedua self tersebut? Tak perlu berpikir panjang, tentu saja jawabannya adalah inner-self. Sebab, itu merupakan kondisi dan isi pribadi seseorang sesungguhnya dan tidak dibuat-buat.

Masih terkait dengan urusan di atas, sebagian dari kita pasti pernah mendapatkan petuah berikut: jika kita bertamu ke rumah seseorang, spot lokasi terbaik untuk mendeteksi kerapian dan kebersihan sang tuan rumah bukanlah di teras ataupun ruang tamu, melainkan di kamar mandi atau toilet.

Mengapa? Karena ruang tamu selayaknya outer-self sang pemilik rumah, tentunya akan dihadirkan dengan sebaik-baiknya ke mata sang pengunjung. Sementara kamar kecil ibarat inner-self yang tersembunyi di dalam rumah, dan lazimnya diurus sesuai dengan kepribadian sang pemilik. Jika kamar kecilnya bersih, itulah pantulan kepribadian sang pemilik. Sebaliknya, bila kondisi kamar kecilnya berantakan, demikian pula cerminan sifat sang penghuni.

Kepuasan karyawan

Melakukan pencitraan pada hakikatnya adalah mendandani outer-self kita. Dan, itu sah-sah saja dan baik adanya. Namun, memacak outer-self tanpa mengembangkan inner-self ibarat menghiasi ruang tamu sedemikian indahnya dan membiarkan kamar mandi tak terurus berantakan. Itu sama artinya memutus keterhubungan antar ruang dalam sebuah rumah.

Untuk menjadi pribadi yang utuh pun, manusia membutuhkan keterhubungan (connectedness) antara inner-self dan outer-self-nya. Bila keduanya tak terjalin baik, maka akan menghadirkan sosok kepribadian yang aneh dan teralienasi.

Keanehan serupa juga bisa terjadi di aras organisasi, tatkala apa yang dikampanyekan perusahaan ke publik luar berbeda dengan apa yang dialami oleh karyawan di dalamnya.

Aktivitas-aktivitas pencitraan yang dilakukan perusahaan kepada publik luar semestinya sejalan dengan kebijakan dan tindakan perusahaan kepada karyawan di dalam. Jika perusahaan ingin menghadirkan citra profesionalisme kepada masyarakat luar, maka perlu dipastikan bahwa tak ada kebijakan diskriminatif yang dirasakan oleh karyawan di dalam.

Pencitraan mungkin bisa mendatangkan pesona bagi pihak luar, namun belum tentu menghadirkan kepuasan untuk karyawan di dalam.

Tahun 1994 silam James L. Heskett dan koleganya memperkenalkan konsep bisnis yang sangat terkenal, yakni Service-Profit Chain. Konsep ini menegaskan pentingnya kepuasan karyawan dalam membangun loyalitas pelanggan, yang pada akhirnya akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan.

Cara terbaik untuk mendatangkan keuntungan perusahaan adalah menciptakan kesetiaan pada diri pelanggan (luar). Demikian juga, cara terbaik untuk menghadirkan kesetiaan pada diri pelanggan (luar) ialah dengan menciptakan kepuasan pada diri pelanggan (dalam) alias karyawan.

Aplikasi sederhana konsep di atas bisa kita temukan dalam usaha restoran sebagai berikut: keuntungan restoran akan meningkat jika para konsumennya rajin datang menyambangi dan menikmati makanan di sana. Dan, konsumen hanya akan setia mengunjungi restoran jika dia mendapatkan makanan yang enak dengan pelayanan yang baik, ramah, dan menyenangkan.

Dapat dipastikan, makanan yang enak hanya bisa disajikan oleh juru masak yang cakap dan gembira dalam bekerja. Demikian pula pelayanan yang menyenangkan hanya bisa diberikan oleh pramusaji yang ramah dan murah senyum.

Para karyawan restoran, juru masak, juga pramusaji hanya bisa bekerja dengan cakap, ramah, dan murah senyum, bila mereka menemukan kepuasan di dalam dirinya.

Oleh karena itu, sebelum sibuk melakukan pencitraan kepada publik luar, jangan lupa untuk menghadirkan kepuasan kepada karyawan di dalam perusahaan.



TERBARU

×