kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Mendongkrak gengsi Rupiah

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Modal dan Pasar Uang


Senin, 05 November 2012 / 17:36 WIB
Mendongkrak gengsi Rupiah

Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati

Di tingkat dunia, hanya ada sekitar seribu orang yang kekayaannya mencapai miliaran dolar AS (USD). Di bawah miliarder, ada jutawan USD yang jumlahnya belasan juta orang.

Jika ukurannya valuta lokal, negara mana yang mempunyai jutawan dan miliarder terbanyak? Jangan kaget, jika jawabnya Indonesia.

Jika di luar negeri hanya kekayaan yang nilainya jutaan, di sini, gaji saja sudah dalam satuan juta. Yang membedakan, jutawan di luar negeri, begitu makmur hidupnya. Di sini, banyak jutawan belum mampu membeli mobil.

Jika saat ini penduduk Indonesia semuanya jutawan, tanpa redenominasi rupiah, beberapa dekade lagi jutawan Indonesia ini akan menjadi miliarder.

Sungguh, kita semua akan menjadi miliarder, hanya beda waktunya saja. Seorang manajer dapat mencapainya dalam sepuluh tahun, sedang seorang office boy mungkin perlu 30 tahun.

Dengan kenaikan tahunan 10%, seorang karyawan yang sekarang bergaji Rp 10 juta, akan menjadi Rp 174,5 juta per bulan. Sedang upah minimum provinsi (UMP) di DKI Jakarta yang Rp 1,53 juta per bulan di tahun ini, pada 2042 bisa menjadi Rp 26,7 juta.

Sedihnya, rupiah kita itu tidak laku di luar negeri. Jangankan di Amerika atau Eropa, di Australia dan Asia saja, valuta kita tidak dapat ditransaksikan karena nilainya yang sangat rendah, yaitu 0,0001 dolar AS. Bersama dengan Dong Vietnam (VND) dan Sao Tome Dobra (STD), Rupiah Indonesia (IDR) termasuk tiga valuta dengan nilai terburuk.

Di dunia, uang kita yang nominalnya sampai Rp 100.000 kini hanya kalah dari dua negara itu. Di Vietnam, saya sempat menyaksikan uang kertas 500.000 dong yang hanya setara US$ 24. Vietnam pun menjadi negara kedua dengan jutawan terbanyak.

Untuk jumlah miliarder, Indonesia sekarang juara dunianya juga setelah sebelumnya dipegang Zimbabwe. Di sana telur pernah berharga 35 miliar dolar Zimbabwe. Uang kertas ada yang berdenominasi seratus triliun Z$. Zimbabwe kemudian melakukan redenominasi, hingga US$ 1 kini setara dengan Z$ 0,77.

Sukses juga dialami Jerman yang pernah memangkas 12 angka nol, Turki (6 nol), Rumania (4 nol), Bulgaria (3 nol). Brasil, bahkan, melakukan redenominasi enam tahap untuk memotong 18 angka nol. Argentina butuh empat tahap redenominasi untuk memotong 13 nol.

Selama seabad terakhir, 50 negara di dunia telah melakukan redenominasi. Hanya di beberapa negara, redenominasi kurang mulus, yaitu Korea Utara, Rusia, dan Afghanistan.

Membaca angka dalam APBN dan dana pihak ketiga di perbankan nasional serta kapitalisasi pasar saham Indonesia yang sudah dalam satuan ribuan triliun, kita patut mendukung redenominasi rupiah.

Jika untuk belasan hingga puluhan miliar saja, kalkulator ilmiah dan kalkulator finansial sudah tidak dapat menghitungnya, karena hanya ber-digit 10, apalagi untuk triliunan.

Jika sekarang kita sudah mulai terbiasa mendengar istilah kuadriliun alias ribuan triliun, belasan tahun lagi kita memerlukan istilah lain untuk jutaan triliun. Jika kuadriliun saja terdengar aneh, apalagi pentaliun.

Redenominasi akan menghemat banyak angka dalam semua dokumen kita. Penggunaan tinta dan kertas juga akan lebih irit. Dua komentar paling lucu sekaligus salah tentang redenominasi adalah, "Saya tidak setuju redenominasi karena akan menyebabkan dompet saya berisi recehan seperti Rp 2 atau Rp 5." Lainnya, "Saya setuju redenominasi karena membuat saya bisa beli rumah dengan membayar beberapa lembar Rp 100.000."

Orang-orang ini tidak sadar jika nanti pecahan Rp 100.000 tidak ada lagi, maka Rp 5 bukan lagi recehan. Untuk menyukseskan redenominasi, pemerintah perlu mengendalikan harga. Bukan apa-apa, menaikkan harga dari Rp 100 menjadi Rp 110, relatif lebih mudah daripada Rp 100.000 menjadi Rp 110.000.

Kepada mereka yang tidak setuju, pemerintah mesti mampu melakukan framing. Katakan kepada mereka, jika utang bank mereka dan angsuran bulanan nanti tinggal seperseribunya, dari Rp 100 juta menjadi Rp 100.000 untuk utangnya. Dari angsuran Rp 2 juta menjadi Rp 2.000 saja.

Siapa yang tidak suka mendengar itu? Jangan sampai yang bergaung justru pengurangan gaji dan nilai kekayaan gara-gara redenominasi. Siapa yang tidak panik dan sedih jika gaji turun menjadi Rp 10.000 dan kekayaan tinggal Rp 500.000, dari sebelumnya Rp 10 juta dan Rp 500 juta.

Kesimpulannya, redenominasi akan mengangkat martabat rupiah menjadi valuta dunia, mempermudah perhitungan, serta menghemat kertas dan tinta.



TERBARU

×