kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

A bridge too far

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Selasa, 26 Juli 2016 / 17:53 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

 Seorang rekan yang super ambisius tiba-tiba terpuruk lesu. Usut punya usut, ternyata proyek bisnis yang ditanganinya gagal total. Ini adalah kegagalan dia yang pertama dalam menangani proyek skala besar, yang membuatnya harus menanggung kerugian finansial lumayan besar pula.

Selain perkara kerugian uang, ada satu pertanyaan sederhana yang menghinggapi benak sang rekan: Kok bisa ya, saya gagal dalam proyek ini?

Pertanyaan ringkas ini keluar dari mulutnya berkali-kali saat berbicara dengan saya. Baginya, kegagalan ini seolah-olah peristiwa naif yang tak semestinya terjadi. Jikalau itu terjadi, pasti ada sesuatu yang salah di luar sana, bukan di dalam dirinya.

Saya mahfum dengan situasinya, karena selama ini sang teman memang belum pernah mengalami kegagalan. Khususnya, waktu menangani proyek-proyek berukuran besar.

Menyimak cerita galau sang teman, saya teringat dengan sebuah novel bertajuk A Bridge Too Far yang ditulis oleh Cornelius Ryan tahun 1974.

Selanjutnya, begawan film Inggris, Richard Attenborough, tahun 1977 mengangkat kisah di novel tersebut ke layar lebar dengan judul yang sama. Walaupun tak terlalu sukses di Amerika Serikat, film ini disambut antusias oleh publik di Eropa.

Idiom a bridge too far muncul pada masa Perang Dunia II, saat pasukan sekutu gagal dalam misi penyerangan bernama Operation Market Garden. Operasi ini ditujukan untuk mengambil alih sejumlah jembatan di Belanda, yang waktu itu dikuasai oleh tentara Nazi Jerman.

Selama operasi berlangsung, pasukan sekutu memang berhasil menguasai dan melintasi beberapa jembatan yang ditargetkan, namun gagal menaklukkan sebuah jembatan di wilayah Arnhem. Akibatnya fatal, karena banyak tentara sekutu yang akhirnya terjebak dan menjadi korban militer Nazi. Lebih dari 15.000 orang jadi korban dalam tragedi tersebut, entah meninggal dunia, luka parah, ataupun hilang tak jelas arah.

Konon, salah satu pemimpin utama dalam operasi itu yang juga menjabat sebagai Wakil Komandan Angkatan Udara Sekutu I Letnan Jenderal Frederick Browning, sedari awal sudah menyuarakan keraguannya akan keberhasilan misi ini.

Sebelum operasi dimulai, Browning bertutur skeptis kepada Marsekal Bernard Montgomery, sang arsitek operasi militer tersebut, I think we may be going a bridge too far. Dalam perhitungannya, target operasi terlalu ambisius, dan hanya akan memukul balik tentara sekutu sendiri. Dan, pada kenyataannya, skeptisme sang jenderal menemui kebenarannya.

Dua mantra sakti

Sejak dituangkan sebagai judul novel dan film layar lebar, frase a bridge too far sering dipakai banyak kalangan. Idiom ini tak semata-mata hanya dikaitkan dengan strategi dan operasi militer, juga dalam kehidupan sehari-hari.

Kalimat ringkas itu acapkali digunakan untuk menggambarkan sikap seseorang yang terlalu ambisius dan percaya diri dalam menetapkan keputusan, sehingga lupa dan abai melakukan perhitungan rasional.

Padahal, dalam sebuah perkara yang kompleks, pemahaman yang komprehensif dan perhitungan yang matang terhadap peta situasi dan kondisi sangat menentukan kesuksesan ataupun kegagalan sebuah inisiatif.

Dalam dunia bisnis, ambisi dan pengambilan risiko (risk-taking) adalah dua mantra sakti yang dianggap sebagai motor kemajuan. Tanpa ambisi, tak ada kemajuan. Sama halnya, tanpa pengambilan risiko, tidak ada pencapaian berarti. Tak heran, dalam beberapa seminar motivasi, (khususnya pada wirausahawan muda) dua hal itu begitu lantang diteriakkan.

Mungkin kita pernah mendengar seruan motivasional, Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Bahkan, jika perlu langit ke tujuh! Kalaupun tak tercapai, masih akan jatuh ke langit ke enam, lima dan seterusnya. Padahal, pada kenyataannya hanya ada satu langit dan satu Bumi. Jika sesuatu tak menggapai langit, maka ia akan terhempas ke Bumi.

Sementara, tentang pentingnya risiko, tak perlu diulas panjang lebar lagi. Jargon no risk, no gain, praktis sudah jadi acuan suci para penggiat bisnis. Tanpa banyak bertanya dan mengulas, kita cenderung mengamini jargon itu. Secara emosional, kita didorong untuk percaya jika ingin meraih hasil yang sebesar-besarnya, tempuhlah risiko yang setinggi-tingginya pula. Sebaliknya, jika tak sudi menghadapi risiko yang tinggi, bersiaplah mendapat hasil yang tak seberapa jua.

Kembali ke cerita di awal tulisan, boleh jadi sang teman adalah seorang yang sangat ambisius dan gagah berani menerjang risiko. Pengalaman-pengalaman kesuksesan sebelumnya telah membuatnya begitu percaya diri mengelola proyek tersebut, sekaligus bersiap diri untuk menikmati hasil besar yang akan menjelang.

Sangat mirip dengan suasana batin tentara sekutu, yang begitu yakin akan menaklukan pasukan Nazi di Jembatan Arnhem. Namun apa mau dikata, ternyata target yang hendak dicapai dan risiko yang akan ditempuh adalah a bridge too far.

Tak heran, dalam ilmu manajemen kita diajarkan bahwa ambisi bukanlah energi yang mesti diumbar, sebaliknya justru perlu dikelola.

Demikian pula, mengambil risiko pun tak sekadar butuh nyali, namun yang lebih penting adalah perhitungan. Itulah sebabnya ilmunya disebut sebagai calculated risk-taking atawa pengambilan risiko yang diperhitungkan. Bukan asal-asalan.



TERBARU

×