kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pendaki versus Penjegal

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 22 Agustus 2016 / 17:39 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Dalam buku klasiknya, Adversity Quotient: Turning Obstacles Into Opportunities (1997), Paul Stoltz membagi manusia ke dalam tiga kelompok. Pembagian ini dilakukan berdasarkan kemampuan dan ketahanan seseorang bergelut dengan kesulitan atau tantangan (adversity) hidup yang dihadapinya. Dengan ilustratif, Stoltz mengibaratkan perjalanan kehidupan sebagai pendakian gunung, yang menyasar kepada tujuan akhir, yakni puncak gunung.

Tipe pertama adalah quitters, yaitu mereka yang sedari dini keluar dari pertarungan dan upaya pendakian. Orang-orang ini mudah putus asa jika menjumpai rintangan dan kendala dalam perjalanan. Mereka gampang pesimistis dan menyerah pada keadaan, dan tak memiliki adrenalin untuk memompa diri menuju puncak perjuangan.

Yang kedua, tipe campers alias mereka yang di tengah perjalanan memasang tenda dan menikmati perkemahan. Walau pendakian belum selesai, mereka merasa sudah berhasil dan ingin menikmati hasil perjalanan. Akibatnya, mereka berhenti di tengah jalan, meski jalan ke atas masih jauh membentang. Dalam kehidupan nyata, para campers ialah sosok-sosok yang cepat puas dengan pencapaian, walaupun hasilnya masih jauh dari batas potensi dan kesanggupan mereka.

Dan, tipe ketiga adalah para climbers alias para pendaki sejati. Mereka selalu berpikir positif dan optimistis, tak pernah menyerah juga tidak gampang berpuas diri, terus melangkah maju untuk meraih puncak gunung. Jika rintangan adalah malapetaka bagi orang lain, mereka justru melihatnya sebagai berkah. Jika banyak orang menghindari kendala, mereka justru menghampiri dan menghadapinya. Stoltz menyebut climbers sebagai petarung yang berjuang melintasi kesulitan dan menjemput tantangan, untuk meraih puncak kesuksesan yang sudah ditetapkannya.

Tiga kategori manusia di atas juga bisa kita temukan dalam konteks persaingan atawa kompetisi. Para quitter akan tak nyaman dan rendah diri menghadapi medan persaingan. Jauh-jauh hari sudah merasa tak sanggup berkompetisi dengan para pesaing lainnya, dan tidak butuh waktu lama untuk mengibarkan bendera putih.

Sementara campers memaknai kompetisi dengan perspektif berbeda. Sepanjang persaingan itu tak membutuhkan cucuran keringat dan singsing lengan baju, mereka akan happy-happy saja masuk ke dalam medan persaingan. Mereka cenderung menempatkan dirinya sebagai penggembira, karena sedari awal nawaitu persaingannya adalah menghadirkan kesenangan, bukannya memenangkan pertarungan.

Selanjutnya, climbers akan menyikapi kompetisi dengan cara yang serius, terukur, dan terarah. Sedari awal mereka merumuskan target kompetisi secara jelas, dan oleh karenanya menyusun cara serta strategi yang tepat untuk memenangkan persaingan. Mereka akan berusaha berpikir lebih cerdas, bekerja lebih keras, dan melangkah lebih cepat dari pesaingnya, sehingga mampu mencapai garis finis lebih dulu.

Menjegal lawan

Seorang teman mempunyai pandangan tambahan yang menarik. Selain tiga tipe manusia di atas, dia menginisiasi satu kategori baru lagi: cutters alias penjegal. Menurutnya, ada orang-orang tertentu yang ingin memenangkan medan persaingan, namun tak memiliki sikap dan modal untuk bertarung secara gentle dan semestinya.

Mari kita bayangkan sebuah kompetisi untuk bersaing dalam urusan tinggi badan. Para climber sejati akan melakukan upaya sedemikian rupa, supaya pertumbuhan tinggi badannya melampaui para pesaingnya. Tapi, cutters berpikir sebaliknya. Ia tak akan berpikir untuk menumbuhkan tinggi badannya, justru berusaha untuk memotong kaki para pesaingnya.

Dengan kata lain, alih-alih berpikir mencari cara untuk meningkatkan usaha dan pencapaiannya, justru ia berupaya untuk memotong dan menjegal setiap langkah lawan tandingnya. Singkat cerita, bagi para cutter, tujuan kompetisi bukan lagi memenangkan pertandingan, tapi menjegal lawan. Kemenangan dalam kompetisi bukan lagi menjadi fokus perhatian, karena target utamanya adalah lawan yang terjungkal.

Saya tersenyum mendengarkan pandangan sang teman. Dalam hati, saya mengamini apa yang dikatakannya. Pasalnya, di tengah hiruk pikuk kontes kepala daerah (khususnya menjelang pilkada DKI Jakarta), belakangan ini kita kerap mendengar seruan dan gerakan Asal Bukan Si A....

Kompetisi yang sengit antarkontestan telah menimbulkan persaingan yang mengerucut antara kelompok si A dan si B. Medan persaingan yang semestinya dijadikan ajang untuk unjuk kemampuan dan prestasi diri, justru dimanfaatkan untuk menjatuhkan lawan.

Fokus perhatian tak lagi tertuju kepada upaya memenangkan persaingan, namun disandera oleh muslihat untuk menjegal lawan. Siapa yang menang menjadi tak relevan lagi, karena yang penting lawannya kalah.

Para climber adalah para petarung sejati, yang tahu secara pasti apa yang hendak diraihnya dan bersedia membayar ongkos lewat unjuk usaha, kemampuan, juga prestasi diri. Para climber tahu secara persis apa yang mereka mau, bukannya sekadar tahu apa yang mereka tak mau.

Kalau hanya bisa mengatakan, asal bukan si A... namun tak bisa menetapkan pilihannya secara jelas--entah si B, C, D, atau yang lainnya--boleh jadi itu pertanda bahwa kita bukanlah seorang climbers. Bahkan, mungkin kita seorang cutters alias penjegal.



TERBARU

×