kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Bagaimana Uber mengalahkan Amazon?

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar, bisnis, berbasis di California.


Senin, 29 Agustus 2016 / 15:43 WIB

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: hendrika.yunaprita

Setiap entrepreneur perlu mengenali perubahan perilaku konsumen yang disebabkan oleh perkembangan teknologi. Sebaliknya, perubahan perilaku konsumen bisa menyebabkan pergeseran teknologi dan pergeseran lainnya, termasuk model bisnis dan perubahan signifikan dalam peradaban manusia.

Profesor Pemasaran Klinikan NYU Stern bernama Scott Galloway berargumen, di era modern ini, the four horsemen of the Internet adalah Apple, Amazon, Facebook, dan Google. Mereka mampu menggetarkan dunia dengan kombinasi market cap US$ 1,3 triliun, lebih besar dari produk domestik bruto Korea Selatan. Bahkan, setiap pegawai mereka menghasilkan US$ 5 juta bagi perusahaan.

Terlepas dari kehebatan mereka, ternyata masing-masing memiliki kelemahan mendasar. Apabila mereka punya kelemahan kasat mata, bayangkan bagaimana lemahnya bisnis-lain?

Bagaimana kita menanggapi kenyataan perubahan lansekap bisnis menentukan daya tahan dan daya saing. Untuk itu, kita perlu mengenali kelemahan kompetitor. Dalam artikel ini, saya menggunakan contoh the four horsemen of the Internet yang dibandingkan dengan beberapa kompetitor.

Misalnya Amazon memiliki kelemahan shipping cost. Pengeluaran pengiriman mereka mencapai US$ 7 miliar sedangkan hanya menerima US$ 3 miliar dari konsumen. Dua pertiga dari keseluruhan pengiriman jelang Natal diberikan gratis, padahal tahun sebelumnya cuma sepertiga.

Sebaliknya, Uber, biaya transportasi malah menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tarif taksi biasa. Selain itu, pengendara Uber tidak perlu diberikan tip, namun biasanya di AS biasanya supir taksi menerima 10% hingga 20% tip dari harga yang tertera di meter.

Amazon juga memiliki kelemahan nyata, mengingat toko buku brick-and-mortar yang dimilikinya masih sangat terbatas yaitu di Seattle University Village dan di kampus Purdue University, Indiana. Toko buku tersebut lebih merupakan drop ship center dan showroom daripada toko buku lengkap seperti Gramedia di Indonesia.

Dibandingkan dengan retailer besar department store konvensional yang mempunyai toko secara fisik dan toko online, jelas Amazon akan sulit bersaing. Macys Department Store, misalnya, punya model bisnis yang multichannel atau "omnichannel." Dengan perubahan fokus dari brick-and-mortar ke e-commerce, Macys kini 15 toko di mal-mal dan menginvestasikan US$ 2 miliar untuk e-commerce mereka.

Sedangkan Facebook tidak mempunyai model bisnis yang jelas. Hanya menjual iklan dan lokasi distribusi aplikasi berbayar. Facebook lebih bersifat sebagai middleman atau intermediary. Dengan algoritma terkini, pesan-pesan Anda hanya akan diterima oleh 6% pengguna Facebook organik.

Walaupun pengguna Facebook mencapai 2,4 miliar, Anda hanya bisa menggapai mereka dengan iklan berbayar. Bagi pebisnis, ini merupakan kesempatan untuk membangun platform tanpa bayar. Instagram yang telah diakuisisi Facebook merupakan platform tandingan yang diprediksi akan melampaui Facebook.

Lantas bagaimana dengan dominasi Google? Google kewalahan dalam kompetisi mobile search, di mana search bertarget lebih banyak dilakukan di Amazon. Google lebih web friendly. Padahal kebanyakan search dilakukan oleh mobile phone. Akibatnya, cost-per-click iklan Google menurun nilainya.

Bahkan Google+ telah mati dengan 97% penurunan engagement rate. Google Glass tidak nyaman dipakai dan tidak begitu berguna bagi konsumen terlepas dari tingginya teknologi. Tanpa inovasi search engine dan revenue model yang berarti, Google mungkin akan terus memperbanyak diversifikasi tanpa menghasilkan revenue.

Apple kini lebih dari sekadar merek komputer dan teknologi. Ia telah menjadi luxury brand yang berpartner dengan merek luks lainnya. Maturitas produk dan bisnis telah tercapai dan inovasi masih berjalan walaupun kini dalam skala lebih kecil dan lebih lambat setelah mediang Steve Jobs wafat.

Yang menarik dari Apple adalah kemampuannya dalam menerapkan strategi omnichannel sejak 14 tahun lampau. Apple Store ada di mana-mana, terutama di mal-mal internasional kelas atas. Apple juga melampaui batas kultural dengan memasuki dunia kultur pop dengan ikon merek, ikon Steve Jobs, dan berbagai strategi pemasaran inspirasional.

Diprediksikan, Apple akan mencapai market cap US$ 1 triliun dengan transisinya sebagai merek luks yang dihargai oleh Generasi Milenial (GM). GM dikenal anti merek luks namun sangat menghargai produk-produk berkualitas tinggi yang multifungsi dengan daya capai omnichannel.

Uber akan mengalahkan Amazon, Facebook akan dikalahkan Instagram, Google telah mulai merosot, dan Apple akan menjadi merek luks. Bagaimana transformasi bisnis Anda? Kenali kelemahan-kelemahan Anda dan kompetitor sebelum terlambat.



TERBARU

×