kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Kesadaran dan berkaca diri

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 29 Agustus 2016 / 16:19 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Kompetisi dalam sebuah organisasi khususnya bidang politik selalu menjadi medan pertandingan yang seru. Maklumlah, pada kenyataannya persaingan dalam organisasi adalah ajang perebutan kekuasaan. Jika sudah berbicara tentang kekuasaan, tak jarang tujuan menghalalkan cara, dan akal siasat mengalahkan hati nurani. Untuk urusan yang satu ini, saling serang, serba sikut, hajar sana sini, seolah-olah jadi praksis yang umum.

Kalau berbicara tentang lawan kompetisinya, yang terlontar dari mulut seseorang adalah wacana yang serba buruk, salah, juga bodoh. Namun, jika bertutur tentang dirinya sendiri, maka semuanya berisikan hal-hal yang serba baik, benar, dan hebat sendiri.

Walau memahami strategi promosi diri yang menjunjung tinggi prinsip kecap nomor satu, saya tergelitik juga membaca posting seorang rekan di media sosial. Begini bunyinya, kita begitu pintar saat menilai orang lain, namun seringkali sangat bodoh tatkala menilai diri sendiri.

Setelah bertanya kepadanya, ternyata sang teman sedang mengungkapkan kekesalannya terhadap beberapa aktor politik negeri ini. Ada yang dengan lugas berbicara tentang keburukan kompetitornya, hingga lupa keburukan dirinya juga sedang dalam sorotan tajam publik. Ada pula yang dengan lantang menagih janji kampanye lawan saingnya, sampai lupa dirinya juga sering melontarkan janji-janji gombal yang memang tak pernah ingin digenapi.

Begitu jengkelnya sang teman dengan akrobat persaingan seperti ini, ia pun berseloroh bahwa manusia yang sedang dalam medan persaingan seperti memiliki dua takaran intelegensi atawa IQ. Berhadapan dengan orang lain, IQ-nya tiba-tiba melonjak tinggi nan cerdas. Sebaliknya, berhadapan dengan diri sendiri, IQ-nya tiba-tiba melorot tajam alias jongkok.

Sesungguhnya, dalam kajian ilmu psikologi tak ada intelegensi dengan takaran ganda. Derajat intelegensi seseorang hanya satu. Tak ada orang yang sekaligus cerdas dan bodoh, atau genius dan idiot.

Dalam konteks di atas, yang terjadi adalah begitu sensitifnya kesadaran (awareness) seseorang terhadap sesuatu yang terjadi pada orang lain. Dan, begitu rendahnya kesadaran seseorang terhadap dirinya sendiri. Kesadaran seseorang terhadap dirinya disebut sebagai self-awareness (selanjutnya disebut kesadaran diri).

Mekanisme pribadi

Adalah Shelley Duval dan Robert Wicklund yang pertama kali memperkenalkan teori kesadaran diri tahun 1972. Mereka mengatakan, jika seseorang memfokuskan perhatian kepada dirinya sendiri, maka ia akan mengevaluasi perilakunya menurut standar nilai-nilai internal yang diyakini. Secara esensial, Duval dan Wicklund melihat kesadaran diri sebagai sebagai salah satu mekanisme pribadi seseorang untuk melakukan pengendalian diri sendiri.

Daniel Goleman, dalam buku best-seller-nya, Emotional Intelligence (1995), merumuskan kesadaran diri sebagai pemahaman seseorang terhadap kondisi, preferensi, kekuatan, dan intuisi dirinya sendiri. Bagi Goleman, kesadaran diri merupakan salah satu elemen utama kecerdasan emosional seseorang.

Kemampuan seseorang untuk memahami kandungan emosi dan pikirannya dari waktu ke waktu merupakan kunci untuk bersikap proaktif, berperilaku produktif, sekaligus membawa kemaslahatan bagi banyak orang.

Sejumlah riset juga menunjukkan, kesadaran diri ialah kualitas pribadi yang penting bagi seorang pemimpin bisnis yang sukses. Dalam studi yang dilakukan Green Peak Partners dan Cornel University (2010) terhadap 72 eksekutif perusahaan (baik publik maupun swasta) dengan pendapatan berkisar US$ 50 juta hingga US$ 5 miliar, disimpulkan bahwa skor kesadaran diri yang tinggi adalah peramal terbaik (strongest predictor) bagi keseluruhan sukses sang eksekutif.

Pertanyaannya: jika kesadaran diri begitu penting dalam kehidupan seseorang, mengapa banyak orang yang tidak memilikinya? Ternyata jawabannya sederhana saja. Karena kita cenderung tidak meluangkan waktu dan tempat untuk mengamati dan memahami apa yang terjadi di dalam diri kita.

Dua psikolog Matthew Killingsworth dan Daniel T. Gilbert mengatakan, lebih dari separuh waktu hidupnya, manusia cenderung berpikir dan bertindak secara autopilot alias tak disadari dan dipikirkan dengan seksama. Semuanya seolah-olah berjalan dengan otomatis dan begitu saja, lantaran pikiran kita tidak difokuskan kepada apa yang ada di dalam diri kita. Sebaliknya, pikiran kita justru begitu fasih memfokuskan perhatiannya kepada hal-hal di luar diri kita, termasuk kepada orang-orang lain.

Kondisi menjadi semakin buruk, jika kecenderungan fokus kepada orang lain ini dilengkapi oleh salah satu bias pikiran yang sering hinggap di benak manusia, yakni bias negativitas. Industri media massa paham benar dengan jargon bad news is good news. Karena itulah, kecenderungan naluriah manusia yang senang dengan pemberitaan hal-hal yang buruk dan negatif. Makin banyak negativitas orang lain yang berhasil dieksploitasi, makin sukacitalah seseorang. Sama halnya juga, kian banyak keburukan orang lain yang dimanipulasi, kian banggalah seseorang.

Bagi orang-orang seperti ini, negativitas orang lain identik dengan prestasi diri sendiri. Padahal, kedua hal tersebut tak ada hubungannya sama sekali. Yang terjadi justru, semut di seberang lautan terlihat jelas, sementara gajah di pelupuk mata justru tak tampak. Benarlah petuah bijak yang mengingatkan kita untuk selalu berkaca diri tersebut.



TERBARU

×