kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Sepatu Doc Martens dan gaya proletar kaya

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar, bisnis, berbasis di California.


Senin, 05 September 2016 / 16:43 WIB

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: hendrika.yunaprita

 Sebagian di antara Anda tentu mengenal merek sepatu ini. Sepatu bot bersol tebal bertali Dr "Doc" Martens yang digemari mereka yang punya budget cukup.

Produsen sepatu ini pernah mengalami masa hampir bangkrut beberapa tahun lalu. Kini mereka bisa menikmati kenaikan penjualan hingga 230% di Asos.com, peritel Inggris, karena telah menjadi kegemaran para milenial. Dan produsen sepatu Doc Martens merupakan salah satu perusahaan privat tercepat tumbuh di negeri mendiang Putri Diana ini.

Pemegang saham Dr Martens, termasuk Permira, private equity asal Eropa, menginjeksi dana sebesar US$ 485 juta pada tahun 2014. Untuk perusahaan yang hanya mempunyai 850-an pegawai, Dr Martens merupakan contoh small is beautiful.

Bagaimana merek yang telah berusia lebih dari 50 tahun ini bisa bertahan di tengah persaingan? Bagaimana juga mereka bangun dari keterpurukan yang terjadi pada awal tahun 2000an?

Jika kita tengok ke belakang, merek Dr Martens yang kita kenal dibangun oleh Bill Griggs. Griggs bermukim di Northamptonshire di tahun 1960. Griggs membeli lisensi dari penciptanya.

Sepatu bot bersol ikonik berwarna bening kekuningan yang ditindas dengan benang kuning diciptakan oleh Dr Klaus Maertens di Munich, Jerman, tahun 1947. Latar belakangnya, ketika kaki Maertens terluka tidak nyaman saat harus mengenakan sepatu bot kerja biasa. Sepatu ciptaannya ini ternyata nyaman untuk kondisi kaki lemah sekalipun, karena kulitnya lembut dan solnya saat itu terbuat dari ban bekas.

Tahun 1960-an, musisi The Who bernama Pete Townshend memulai demam sepatu ini ketika melakukan tur keliling dengan bandnya. Era 1980-an, kelompok rasis skinhead mengenakan sepatu Doc Martens sebagai seragam wajib mereka sehingga dekade ini merupakan era "gelap" si Doc. Tahun 1990-an, para hippie yang diwakili Morrissey and Blur kembali menyebarkan demam si "Doc" ini.

Kini, tahun 2000-an, perempuan muda dan remaja mengenakan Doc Martens sebagai simbol ketangguhan. Namun di awal milenium ini, si Doc mengalami masa surut hingga nyaris kolaps.

Di era kebangkitan kembali pada 2012 dan 2013, kembali si Doc menjadi idola remaja. Bintang-bintang remaja seperti Rihanna dan Miley Cyrus dikenal sebagai penggemar berat si Doc.

Jessica Alba dan Whitney Port juga menggemari Doc. Gaya anak muda berjaket dan bercelana jins kurang lengkap tanpa bot Doc Martens.

Shoe designer Andrew Bunney yang pernah berkarya di Nike dan Visvim (Jepang) diundang untuk mendesain sandal, sepatu berhak tinggi, dan sandal rumah (loafers) dengan berbagai finishing touch kreatif tanpa meninggalkan signature atau kekhasan produk ini hak karet tebal yang ditindas dengan benang kuning terang.

Perancang sepatu Raf Simons yang ini berkarya di Dior juga memperkenalkan kreasi baru untuk penggemar Doc perempuan yang dihiasi dengan bunga dari rumah mode Liberty London. Kolaborasi dengan Liberty London ini merupakan sinergi saling menguntungkan. Hasilnya adalah best seller.

Tiga taktik bangkitnya kembali Dr Martens ke era keemasannya ditandai dengan refokus target market, redesain produk, dan positioning dalam pemasaran.

Refokus target market. Sasaran geografis Asia sebagai pasar internasional mempunyai potensial luar biasa. Asia masih brand-conscious dan mempunyai disposal income cukup besar terutama di negara-negara ber-income per kapita yang cukup tinggi atau emerging markets seperti China, Singapura, Jepang, Korea Selatan, termasuk pasar Indonesia.

Selain itu, demografi yang dibidik adalah kalangan 99 percenters yang gemar bergaya hipster (ala hippy) proletar. Di sini, penulis ingin menekankan "gaya" proletar, bukan dalam arti kata "miskin". Para hipster generasi muda seperti mahasiswa, pemain musik, dan remaja ingin dipandang "tangguh" alias dont mess with me.

Selain itu pasar perempuan kini mendapatkan tempat khusus dengan berbagai desain bot yang berwarna-warni, berhak tinggi, dan bermotif feminin. Bahkan para perempuan selebritis internasional telah merangkul tren tersebut. Padahal, dulu para pemakai sepatu ini adalah perempuan berusia 40 ke atas dan untuk alasan kenyamanan.

Poin lain yang jadi kunci sukses adalah redesain produk. Dulu, desain produk hanya ada beberapa ragamnya, termasuk seri klasik bernama "1460." Kini dapat kita jumpai berbagai seri sepatu dan pakaian kasual. Produsen sepatu ini menjalin kerja sama dengan para desainer sepatu kawakan, dan membuahkan hasil manis.

Terakhir adalah positioning pemasaran. Produk alas kaki dengan merek Dr. "Doc" Martens kini telah menjadi fashion icon bagi para hipster, di pelbagai belahan bumi dan mereka yang merasa bergaya "proletar."

Momentum inequality global tampaknya berakibat positif bagi si Doc. Bagaimana dengan Anda?



TERBARU

×