kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Saatnya behavioral finance bicara

oleh Budi Frensidy - Staf Pengajar FEB-UI dan Pengamat Pasar Modal


Jumat, 21 Oktober 2016 / 22:22 WIB
Saatnya behavioral finance bicara

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Mungkinkah seorang psikolog memenangkan nobel ekonomi yang merupakan penghargaan tertinggi untuk pakar ekonomi dan keuangan tingkat dunia?

Sebelumnya di tahun 1978, seorang pakar yang dekat dengan ilmu psikologi, yaitu profesor psikologi dan ilmu komputer di Carnegie Melon, meraih nobel ekonomi untuk karyanya, bounded rationality atau rasionalitas yang terbatas. Namun, Herbert Simon adalah doktor dalam ilmu politik, dan bukan dalam psikologi, sehingga namanya beredar dalam teori ekonomi, politik dan manajemen.

Para psikolog umumnya pesimistis dan memandang nyaris tidak mungkin untuk mereka mendapat nobel ekonomi, bahkan untuk dinominasikan sekalipun. Psikolog-psikolog terkenal kenyataannya memang tak pernah lolos masuk nominasi meski teori-teorinya begitu hebat dan menjadi bacaan wajib di sekolah ekonomi dan bisnis. Sebut saja Sigmund Freud (1856–1939) yang terkenal dengan psikoanalisis yang mampu menjelaskan kenapa para perokok sangat sulit meninggalkan kebiasaan ini. Masih ada nama Abraham Maslow (1908-1970) dengan teori hirarki kebutuhan dan aktualisasi dirinya.

Keadaan berubah pada 2002 ketika seorang doktor psikologi kognitif untuk pertama kalinya dinominasikan dan langsung menang, yaitu Daniel Kahneman, profesor emeritus psikologi di Universitas Princeton. Kahneman mempertanyakan asumsi rasionalitas manusia dalam teori ekonomi modern.

Bersama Amos Tversky, Kahneman sudah menuliskan 200 karya ilmiah sejak awal 1970-an tentang konsep psikologi dan implikasinya dalam keuangan dan investasi, yang membuatnya dikenal sebagai penemu teori prospek. Bersama pakar lainnya, Kahneman meletakkan dasar kognitif untuk kesalahan umum manusia yang timbul dari heuristik (jalan pintas) dan bias.

Artikel-artikel Kahneman dan Tversky tentang bias kognitif, heuristik dan teori prospek menjadi modal dasar berkembangnya ilmu behavioral finance, teori keuangan tandingan terhadap CAPM dan hipotesis pasar efisien yang sudah lebih dulu ada. Atas kontribusi besarnya terhadap ilmu ekonomi, Kahneman menerima nobel ekonomi pada 2002 dan majalah terkemuka The Economist pada 2015 menobatkannya sebagai ekonom paling berpengaruh nomor tujuh di dunia.

Implikasi berkembangnya ilmu ini, para akademisi dan praktisi keuangan kini terbagi dalam dua kubu yaitu aliran konvensional (atau modern) dan aliran behavioral.

Jika dulu hanya ada buku teks corporate finance untuk mempelajari manajemen keuangan, sejak dekade lalu telah muncul buku teks alternatif yaitu behavioral corporate finance. Jika corporate finance menjadi satu dari 10 bidang studi untuk tingkat 1 dan 2 ujian profesi keuangan paling sulit sekaligus prestisius di dunia, yaitu CFA (Chartered Financial Analyst), behavioral finance menjadi satu dari tujuh mata ujian untuk CFA tingkat 3 (terakhir) sejak 2007. Jika sebelumnya kita hanya mengenal Journal of Finance yang sangat tersohor, sekarang muncul Journal of Behavioral Finance dan Journal of Behavioral and Experimental Finance.

Sayangnya, di sini hanya ada satu-dua perguruan tinggi kita yang menawarkan mata kuliah ini. Itu pun di tingkat magister dan doktoral. Saya termasuk yang beruntung karena sempat mempelajari ilmu ini saat mengambil studi doktor keuangan 10 tahun lalu.

Kondisi ini berbeda dengan di negara maju yang sudah memberikannya di banyak sekolah keuangan terkemuka. Beberapa universitas, seperti Universitas Mannheim di Jerman, bahkan sudah mempunyai lembaga atau pusat studi khusus untuk behavioral finance. Apa itu persisnya behavioral finance (BF)?

Behavioral Finance

Sejatinya, BF dibangun dari dua disiplin ilmu, yaitu psikologi dan keuangan. BF sering didefinisikan sebagai aplikasi ilmu psikologi dalam keuangan, dalam usaha memberikan penjelasan mengapa manusia membuat keputusan keuangan yang tak rasional. Dalam keuangan tradisional, tidak ada usaha untuk melihat perilaku keuangan dari sudut psikologi.

Padahal psikologi itu adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus sumber kekeliruan manusia akibat salah persepsi, kepercayaan diri berlebihan dan emosi. Kesalahan (error) dan kekeliruan (bias) ini nyatanya melanda aspek keuangan dan memengaruhi semua pelaku pasar.

Sebagai ilmu baru, BF menarik banyak peminat, tidak hanya di kalangan akademisi tetapi juga di kalangan praktisi, karena banyaknya konsep BF yang dapat diaplikasikan. Makalah-makalah tentang BF secara rutin muncul dan dipresentasikan di jurnal, seminar dan simposium ilmiah keuangan bergengsi.

Artikel-artikel populer BF juga secara tetap dimuat di harian-harian terkemuka, seperti Wall Street Journal dan New York Times, sejak Januari 2002. Financial Times bahkan pernah menyediakan rubrik khusus untuk pembahasan BF. Beberapa TV di AS pun tidak ketinggalan dalam mendedikasikan programnya untuk diskusi mengenai BF.

Lembaga-lembaga keuangan juga banyak menerapkan konsep-konsep behavioral. Di barisan paling depan ada Fuller & Thaler, Martingale, LSV dan Dreman.

Selain itu, masih ada American Skandia, Goldman Sachs, Merrill Lynch dan Vanguard. Tidak hanya di AS, lembaga-lembaga keuangan yang ada di Eropa juga ramai-ramai menerapkan strategi behavioral dalam mengelola dananya, seperti KBC, ABN Amro, J.P. Morgan Fleming dan Robeco.

Namun demikian, masih ada saja orang yang salah persepsi kalau BF itu adalah ilmu keuangan untuk mengalahkan pasar.

Karena itu, Shefrin (2002) mengingatkan investor untuk memahami BF secara lengkap. Bahwa bagian terpenting dari BF adalah pengakuan adanya risiko sentimen investor atau risiko karena faktor psikologis, yang kadang lebih besar daripada risiko fundamental. BF mengatakan bahwa investor memang belajar dari pengalaman; tetapi, mereka umumnya belajar dengan lambat.



TERBARU

×