kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Menangkal investasi Mukidi

oleh Lukas Setia Atmaja - Financial Expert-Prasetiya Business School


Jumat, 21 Oktober 2016 / 22:36 WIB
Menangkal investasi Mukidi

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: hendrika.yunaprita

Mukidi, salesman PT Sim Salabim berbicara serius dengan salah seorang sahabatnya, Paijo.

Mukidi: Aku punya rahasia untuk cepat kaya. Mau?

Paijo: Ah, paling-paling nawarin investasi kambing lagi.

Mukidi: Bukan. Kali ini jauh lebih dahsyat, bro

Paijo tampaknya mulai tertarik.

Mukidi: PT Sim Salabim punya bisnis bagus, tapi butuh tambahan modal. Profit 30% sebulan. Orang sekampung sudah ikut investasi. Ayo cepat ikutan, bro, jangan sampai gagal kaya.

Paijo: Bisnis apaan bisa mencetak profit segede itu?

Mukidi: Ternak tuyul, bro

Mukidi memang lucu. Investasi Mukidi adalah investasi yang lucu alias aneh bin ajaib. Mana mungkin investasi memberikan keuntungan begitu tinggi. Bagi orang yang mengerti keuangan, tawaran investasi Mukidi adalah banyolan. Sayang, masih banyak masyarakat Indonesia buta tentang keuangan. Akibatnya, korban investasi Mukidi sudah, sedang dan akan terus berjatuhan. Bagi korban, investasi Mukidi sama sekali tidak lucu.

Menurut survei financial literacy VISA tahun 2012 di 28 negara, Indonesia berada di posisi nomor dua dari belakang. Bahkan untuk financial literacy kaum wanita, Indonesia paling buncit. Ini memprihatinkan. Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2015 mengindikasikan hal sama. Financial literacy masyarakat kita hanya 21,9%. Artinya, dari 100 orang, hanya 22 orang yang melek keuangan.

Kondisi ini diperparah dengan financial inclusion yang rendah juga. Menurut OJK, hanya 22% masyarakat kita terkoneksi institusi keuangan. Masyarakat di pedalaman dan pulau terpencil belum terjangkau layanan jasa keuangan. Akibatnya, alternatif investasi mereka terbatas.

Faktor lain yang memicu masyarakat mudah tergiur investasi Mukidi adalah kondisi ekonomi serta ingin kaya secara cepat dan mudah. Ada indikasi, saat perekonomian memburuk, investasi Mukidi semakin marak. Orang bermasalah keuangan, seperti terbelit utang atau kredit macet mudah tergoda.

Mengapa perusahaan yang menawarkan investasi ala Mukidi masih bergentayangan? Bukankah sudah ada Satgas Waspada Investasi yang terdiri dari tujuh lembaga, yaitu OJK, Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan UKM, BKPM, Kejaksaan Agung dan Kepolisian?

Problemnya pada koordinasi antarlembaga. Di lapangan ditemukan penyalahgunaan izin usaha. Misal, izin perdagangan emas, tapi mengumpulkan uang masyarakat. Dalam kasus ini OJK tak bisa mengambil tindakan karena tak di bawah pengawasannya. Yang berhak mencabut izin adalah lembaga lain.

Legalitas Satgas Waspada Investasi selama ini adalah surat keputusan bersama (SKB). Karena koordinasi, kasus diserahkan ke kementerian dan lembaga yang berwenang masing-masing untuk mengambil tindakan.

Padahal dalam kasus investasi Mukidi, kecepatan penanganan sangat berharga untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian. Di lain pihak, polisi tak bertindak sebelum ada laporan dari korban penipuan. Dalam banyak kasus, korban penipuan tak melapor karena malu.

Masalah koordinasi juga menimbulkan kelemahan, adanya blind spot yaitu area yang lolos dari pengawasan karena bentuk organisasinya. Misalnya kasus MMM Indonesia yang merupakan skema ponzi internasional. MMM mengaku sebagai jaringan keuangan sosial, anggotanya saling membantu dan sempat dengan santainya beriklan di koran dan televisi. OJK hanya bisa memberikan teguran.

Ada fakta menarik yang saya temukan. Sebagian korban investasi Mukidi sebenarnya tahu investasi itu hanya pepesan kosong yang menggunakan skema ponzi. Pengelola penipuan investasi ini membayar investor/anggota lama dengan uang investor/anggota baru. Mirip piramida, bagian bawah menyokong bagian atas. Ketika anggota tidak mampu mendukung pembayaran anggota di atasnya, piramida ini roboh. Nah, bagi mereka yang masuk duluan berspekulasi, piramida tidak akan roboh sebelum mereka mendapat profit besar.

Kasus penipuan finansial bertambah berkat internet. Jika dulu pengelola investasi Mukidi jelas orang dan kantornya, sekarang mereka bersembunyi di dunia maya. Penipu semakin kreatif, tak hanya ponzi. Misalnya kasus PT Swissindo di Cirebon, menjual surat berharga yang diklaim mengatasi utang yang mengalami kredit macet.

Sebagai narasumber dalam Diskusi Panel bertajuk Menangkal Investasi Ilegal yang diselenggarakan Harian KONTAN dan OJK, 29 Agustus lalu, saya menyarankan beberapa strategi menangkal investasi Mukidi.

Untuk solusi berdampak jangka menengah dan panjang, OJK bisa meningkatkan edukasi keuangan untuk meningkatkan financial literacy masyarakat, terutama bagi perempuan. OJK bisa menggandeng berbagai pihak, terutama sekolah dan perguruan tinggi. Pengenalan pengetahuan investasi dan keuangan bisa melalui mata ajaran dan mata kuliah dengan cara menarik.

Namun, solusi dengan dampak jangka pendek sangat diperlukan. Kewenangan Satgas Waspada Investasi perlu diperkuat agar bisa mengambil tindakan, misalnya minimal dengan Peraturan Presiden. Saya beropini, masalah investasi ilegal atau penipuan keuangan sama seriusnya dengan masalah narkotika. Diperkirakan tahun 1975–2015, jumlah kerugian akibat investasi ponzi sekitar Rp 126 trilliun, rata-rata Rp 260 miliar sebulan. Ironisnya, mayoritas korban berekonomi lemah.

Ambil contoh, saat diskusi panel KONTAN hadir seorang korban wanita sembari menangis menceritakan, akibat investasi Mukidi, ia tak hanya kehilangan uang, juga suami yang menyalahkannya. Anaknya gagal kuliah. Jika narkotika memiliki payung hukum kuat berupa undang undang (UU), perlu inisiatif payung hukum UU penipuan keuangan. Kita bisa belajar dari India, yang mengamandemen UU lembaga pengawas keuangan agar memerangi investasi berskema ponzi.

Masyarakat membutuhkan lembaga yang berwenang menyelidiki, mengungkap dan menindak kejahatan penipuan keuangan. Mirip KPK. Jika OJK bisa diberi tugas dan kewenangan, amandemen UU OJK seperti di India bisa jadi pertimbangan.

Adanya lembaga dengan kewenangan kuat seperti ini bisa menyelamatkan banyak keluarga dari hantu penipuan keuangan. Jika program tax amnesty punya tagline Ungkap-Tebus-Lega, program penanggulangan penipuan investasi bisa diberi tagline Ungkap-Tindak-Lega.



TERBARU

×