kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Dilmah Tea, menantang ketidakadilan bisnis global

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar, bisnis, berbasis di California.


Jumat, 21 Oktober 2016 / 23:02 WIB

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: hendrika.yunaprita

Generasi millenial adalah generasi yang paling conscientious. Terjemahan bebasnya, kepekaan atau kesadaran tinggi akan berbagai aspek sosial dan ekologi dalam berbagai segi kehidupan.

Kita sekarang hidup di era yang sama dengan para generasi millenial ini. Dengan kultur yang dibawa oleh generasi millenial, produk-produk yang kita kenal menjadi semakin conscientious. Bukan hanya untuk mengikuti selera para generasi millenial, tapi karena kebutuhan zaman.

Umat manusia modern berada di dalam era yang semakin menantang. Mengingat demikian banyaknya masalah ekologi, sosial, ekonomi, dan politik. Ini adalah abad kembali kepada kemanusiaan yang conscientious. Dalam Bisnis, ini ditandai oleh merek-merek conscientious.

Salah satu merek yang mengenali betul kebutuhan para konsumen nan-peka sosial dan ekologi ini adalah Dilmah Tea asal Sri Lanka yang berdiri tahun 1974. Di tahun 2004, organisasi think-tank internasional memberikan penghargaan Top Brands with A Conscience (TBWAC) kepada Dilmah Tea dan tujuh merek lain. Ketujuhnya adalah Flexcar, Grameen Phone, John Lewis Partnership, Paolo Soleri, ROMP, Semco dan Working Assets.

Dilmah terpilih karena nilai-nilai kemanusiaan, etika tinggi, dan konsistensi terhadap kualitas produk selama bertahun-tahun. Ini dibuktikan dengan pertolongan cepat terhadap tsunami yang melanda Sri Lanka pada tanggal 20 Desember 2004 melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama MJF Charitable Foundation yang didirikan Dilmah pada tahun 2002.

MJF adalah singkatan Merrill J. Fernando, pendiri Dilmah Tea. Dan nama Dilmah merupakan singkatan dari nama anak-anak Merrill yaitu Dilhan dan Malik.

Produk teh Dilmah kini dapat dinikmati di 100 negara, termasuk Inggris, Turki, Lituania, Polandia, Rusia, Hungaria, Kanada, Cile, Afrika Selatan, Australia, Indonesia, Jepang, Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru. Aktivitas ekspor dimulai dengan ekspor ke Australia di tahun 1985 dan kini 10% pasar teh negeri kanguru tersebut dikuasai Dilmah.

Sang pendiri Fernando, dibesarkan dan pernah hidup di Amerika Latin sebelum bekerja di perusahaan teh di London. Lantas, ketika kembali ke Sri Lanka, ia ingin memajukan negerinya dari segi agrikultur dan agriBisnis.

Di tahun 1971, ia mengakuisisi perkebunan Melton Estate agar integrasi vertikal lebih efektif. Di tahun 1977, ia mendirikan MJF Exports dan melobi pemerintah untuk memberi insentif kepada eksportir teh bernilai lebih (value-added tea). Jadilah MJF Exports eksportir teh wholesale keempat terbesar.

Ia juga berani mempertaruhkan reputasinya dengan menyatakan bahwa Dilmah adalah produk teh pertama di dunia yang 100% ditanam dan diproduksi secara etikal (ethically grown and produced) dan 100% keuntungan dinikmati oleh rakyat Sri Lanka.

Bagaimana definisi etikal di sini? Setiap aspek Bisnis dan produksi memperhatikan tanggung jawab sosial, ekologi dan kemanusiaan.

Pertama, para pekerja dibayar dengan harga pantas, bukan minimum. Pemetikan dilakukan dengan tangan satu per satu. Para pekerja perkebunan yang berada di bawah garis kemiskinan mendapatkan jaminan kesehatan dan nutrisi bagi keluarga dan anak-anak mereka.

Kedua, tidak ada negara lain yang terlibat dalam proses penanaman, produksi, dan packaging Dilmah Tea. Bahkan desain packaging, dan kardus serta kertas penyaring daun teh di setiap sachet juga dirancang, dicetak, dan diproduksi di Sri Lanka. Strategi pemasaran juga dilakukan oleh agensi lokal.

Merek-merek besar dunia lain, biasanya mencampur daun teh dari 30 hingga 35 sumber. Tidak hanya dari satu sumber sebagaimana Dilmah. Bahkan, kini merek Dilmah diidentikkan dengan negara penghasilnya. Dan merupakan salah satu merek terkuat yang berasal dari Asia.

Globalisasi hanya menguntungkan para pemain besar, demikian kata Fernando. Dengan tekad memperbaiki nasib para pekerja dan peBisnis teh di Sri Lanka, ia menggunakan strategi pemasaran ala pemain besar. Tanpa pernah mengurangi kualitas produk, ia berkompetisi secara gentleman tanpa middleman.

Apa yang bisa kita pelajari dari Dilmah Tea? Keberanian Fernando menggoyangkan status quo tradisi lama perdagangan teh global yang menguntungkan pemain-pemain besar, namun merugikan para petani dan pekerja kecil. Ia juga berani memulai merek sendiri yang tidak terdengar canggih. Ada unsur kepolosan dan ketulusan dari merek dan etika bisnis yang ia cerminkan

Dilmah Tea adalah kisah sukses keberanian dalam menantang ketidakadilan bisnis global dan memimpin industri sebagai standar baru dengan etika tertinggi. Antara keuntungan dan kesejahteraan ada satu jembatan: kemanusiaan.

Bravo



TERBARU

×