Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: djumyati
Pembaca pasti mengenal Warren Buffett. Namun bagaimana dengan Jesse Livermore? Di artikel sebelumnya, penulis berjanji akan membahas prinsip investasi Lo Kheng Hong, seorang investor di pasar modal Indonesia yang sukses.
Mengingat pentingnya edukasi investasi saham yang sehat, penulis ingin membahas tentang gaya investasi ala Lo Kheng Hong dalam beberapa artikel. Kebetulan beliau hadir sebagai pembicara di launching buku “Just Duitto”, dan seminar investasi di S1 Finance Prasetiya Mulya Business School.
Kami juga sempat diskusi mengenai investasi saham dalam beberapa pertemuan informal. Kesan saya, Lo Kheng Hong memang mirip Warren Buffett yang menjadi idolanya. Dia punya hobi membeli saham murah, rendah hati, teliti dan gaya hidupnya sederhana.
Seperti pembaca, saya juga ingin tahu mengapa Lo Kheng Hong memilih menjadi investor saham jangka panjang, daripada seorang trader saham. Padahal, jika mendengar kata investasi saham, kebanyakan orang langsung berpikir untuk trading saham.
Maklum, saham telanjur dipersepsikan sebagai alat yang bisa membuat orang cepat kaya. Untuk mencapai tujuan itu, ya harus rajin trading. Kalau investasi jangka panjang, untungnya kurang maksimal.
Trader saham biasanya mencoba mencari peruntungan dari fluktuasi harga saham jangka pendek dengan berjual-beli dalam jangka waktu beberapa menit hingga minggu. Sedangkan, investor saham membeli saham dan memegangnya untuk kurun waktu relatif lama, biasanya beberapa bulan hingga tahunan.
Bagi Lo Kheng Hong, pilihan untuk menjadi investor saham banyak dipengaruhi oleh buku-buku tentang Warren Buffett yang dibacanya. Menurut dia, sudah terbukti ada orang yang jadi superkaya karena berinvestasi saham, yaitu Buffett yang pernah menjadi orang paling kaya di dunia.
Namun, belum pernah ada orang yang jadi superkaya karena trading saham. Kalaupun ada, hidupnya berakhir dengan tragis. Misalnya Jesse Livermore.
Jesse Livermore adalah trader saham yang hidupnya penuh gejolak seperti harga saham. Ia pernah menjadi sangat kaya dari trading saham di tahun 1907 dan 1929, namun kekayaannya akhir habis karena trading saham juga.
Sejak muda, ia memang sudah suka berspekulasi. Pada usia 15 tahun, Livermore mencetak keuntungan seribu dollar AS dari berjudi menebak harga saham.
Livermore mulai dikenal saat terjadi kepanikan di pasar modal Amerika Serikat tahun 1907. Saat market crash, ia melakukan short selling, yakni meminjam saham orang lain untuk dijual lalu dibeli kembali saat harga sudah jatuh.
Ia mencium peluang dari banyaknya spekulan saham yang menggunakan margin trading, yakni membeli saham dengan utang. Pada saat harga saham jatuh, para spekulan ini dipaksa menjual sahamnya untuk membayar utang (forced sell). Akibatnya harga akan semakin jatuh. Setelah market crash, Livermore mendadak punya harta US$ 3 juta.
Sayang, setelah itu, ia sering kalah dalam trading saham maupun komoditas. Tahun 1912, dinyatakan bangkrut karena tidak bisa membayar utangnya yang sebesar US$ 1 juta.
Namun tahun 1918, ia kembali menjadi orang kaya melalui trading saham. Berlanjut hingga market crash di tahun 1929. Ia mengulang strategi pada saat market crash 1907, dan mendulang keuntungan US$ 100 juta (senilai US$ 10 miliar saat ini).
Setelah itu, Livermore kembali sering kalah dalam trading saham dan akhirnya dinyatakan bangkrut pada 1934. Tidak jelas mekanisme penyebabnya, namun diduga ia banyak menggunakan utang untuk trading saham. Biasanya utang digunakan oleh trader atau investor yang ingin mendapat keuntungan lebih besar.
Tahun 1940, Livermore mengakhiri hidupnya dengan menembak kepalanya. Ironisnya, ia meninggalkan Harriett, istri ketiganya yang sebelumnya sudah pernah menikah empat kali dan semua suaminya mati bunuh diri.
“Saya tidak ingin bernasib seperti Jesse Livermore,” kata Lo Kheng Hong. Itulah sebabnya, dia mengharamkan menggunakan utang untuk membeli saham. “Kalau berutang untuk membeli saham dan kemudian terjadi market crash, maka saya dipaksa menjual rugi saham saya.”
Lo Keng Hong mengingatkan pentingnya investor menggunakan free cash flow alias uang bebas untuk membeli saham secara jangka panjang.
Dengan demikian, mereka akan memiliki daya tahan terhadap krisis. Ini dibuktikan oleh Lo Kheng Hong saat membeli saham PT Multibreeder Adirama Indonesia Tbk (MBAI) seharga Rp 250 per saham pada 2005.
MBAI adalah produsen day-old chicks nomor dua terbesar di Indonesia. Saat itu flu burung sedang merebak sehingga investor lain ketakutan memegang saham MBAI, tapi buat Lo Kheng Hong justru saatnya untuk membeli.
Ia memiliki hingga 8,29% saham MBAI, dan bisa menahan untuk tidak menjual saham tersebut saat krisis 2008. Ia kemudian menjualnya seharga Rp 31.500 tahun 2011, mencetak capital gain 12.500%. “Kalau trading, dapatnya uang kecil dan bikin stress. Kalau pegang saham jangka panjang, dapatnya uang besar,“ ujarnya tersenyum.
Jadi, antara Buffett dan Livermore, pembaca pilih yang mana?