kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pendekatan Inside-Out

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Jumat, 21 Oktober 2016 / 23:13 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Pakar kepemimpinan Stephen Covey menegaskan, bahwa pendekatan inside-out adalah pola terbaik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang efektif (highly effective people). Inside-out berarti mengawali sesuatu (termasuk melakukan perubahan) dari diri sendiri, bukannya pihak luar. Bahkan lebih fundamental lagi, dimulai dari bagian terdalam (the most inside) dari seseorang, entah paradigma atawa pola pikir, karakter, ataupun motif seseorang.

Dengan demikian, jika kita menginginkan persahabatan yang menyenangkan, mulailah dengan menjadikan diri sendiri sebagai pribadi yang menebarkan kegembiraan, optimisme, ataupun energi positif lainnya. Sama halnya juga, bila kita mengharapkan kerjasama yang kooperatif dari rekan kerja, maka awalilah dengan menjadikan diri sendiri sebagai pribadi yang penuh pengertian, empatik, dan ringan tangan.

Pendekatan inside-out, bagi Covey, merupakan cerminan sikap proaktivitas, yakni menjadikan diri sendiri sebagai pribadi yang berdaya (sekaligus bertanggungjawab) dalam menciptakan pengaruh positif kepada lingkungan sekitar. Dan sebaliknya, tak menunggu orang lain (atau pihak luar) melakukan sesuatu bagi dirinya, yang merupakan ciri dari pola kebalikannya yaitu: outside-in.

Dalam lingkup yang lebih luas, sesungguhnya pola inside-out ini juga berlaku untuk konteks kepemimpinan organisasi. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang didukung oleh segenap stakeholders-nya, yakni dukungan dari pihak luar yang jadi mitra kerjanya (peer), sekaligus dari pihak dalam yang menjadi bawahannya (subordinate). Dengan sokongan yang kuat dari kedua pihak tersebut, kepemimpinan akan terbangun secara kokoh pula.

Persoalannya, seringkali kedua pihak itu (pihak luar dan dalam) tidak didekati dan diperlakukan dengan cara yang setara. Tanpa disadari, seorang pemimpin acapkali memberikan perlakuan yang lebih istimewa kepada pihak luar (mitra kerja) daripada pihak dalam (karyawan). Dibanding pihak dalam, pemimpin terdorong untuk melakukan persuasi yang ekstra, koordinasi yang intens, dan dukungan yang penuh perhatian ke pihak luar.

Hal ini terjadi karena banyak pemimpin yang merasa bahwa dukungan karyawan (dari dalam) bagi dirinya adalah sesuatu yang taken for granted. Seolah-olah dengan posisi mereka sebagai bawahan, dukungan itu akan muncul dengan sendirinya, sekalipun mereka tidak diapa-apakan. Jika ada tanda-tanda ketiadaan dukungan, seringkali akan diatasi dengan instruksi. Bila persuasi mendatangkan dukungan, maka instruksi mengharapkan munculnya kepatuhan. Karena karyawan sudah dipekerjakan dan diberi penghasilan, maka sudah selayaknyalah mereka patuh kepada perintah perusahaan dan atasan, begitulah bunyi hukum kepatuhan dalam benak seorang pimpinan.

Mengenali diri sendiri

Padahal, komitmen psikologis yang muncul dari dukungan dan kepatuhan sangatlah berbeda. Komitmen lantaran dukungan bersifat sukarela, dan oleh karenanya akan dijalankan dengan suka cita dan sepenuh hati. Tanpa perlu diawasi, semuanya bakal dilakukan dengan penuh kegembiraan dan rasa tanggungjawab.

Sementara komitmen karena kepatuhan bersifat koersif atau pemaksaan. Lantaran merasa terpaksa, komitmen itu juga akan dijalankan secara formal dan dalam semangat transaksional belaka. Semuanya akan dilakukan dengan penuh perhitungan (kalkulasi) dan seringkali diikuti dengan perasaan syak wasangka. Kalau sudah demikian, jangan berharap muncul dukungan yang tulus dan sepenuh hati. Sebab, benak masing-masing sudah dipenuhi siasat dan perhitungan.

Filsuf perang Sun Tzu mengajarkan kita untuk mengenali musuh dan diri sendiri dengan sebaik-baiknya, jika ingin memenangkan sebuah pertempuran. Bagi Sun Tzu, musuh bukan hanya pihak yang berada di luar lingkaran diri (outer-circle) kita. Namun, bisa juga di dalam lingkaran diri (inner-circle) kita. Bahkan lebih jauh, ada di dalam diri kita. Dan, semakin ke dalam, justru semakin berbahaya musuh tersebut.

Oleh karena itu, kita mengenal istilah musuh dalam selimut, yang justru seringkali jadi sumber malapetaka bagi eksistensi seorang pemimpin. Secara positif, filsafat Sun Tzu ini juga bisa ditafsirkan, bahwa seorang pemimpin yang baik pertama-tama akan membangun dukungan dari dalam terlebih dahulu, baru selanjutnya melebar ke luar. Ini persis dengan prinsip inside-out yang diingatkan oleh Stephen Covey di atas.

Ada pepatah bijak yang mengatakan, charity begins at home. Pertama-tama, kebaikan selalu diawali dari keluarga, yang merupakan lingkaran terdekat dan terdalam. Kebaikan yang tulus akan menebar dari dalam ke luar, dan oleh karenanya bakal lebih langgeng adanya. Sebaliknya, kebaikan yang tidak berasal dari dalam dan sekonyong-konyong menyeruak ke luar, pantas dipikirkan lebih jauh. Jangan-jangan, itu tak lebih dari sekadar pencitraan dan upaya mendapatkan dukungan sesaat belaka.



TERBARU

×