kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Merger dan Akuisisi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 24 Oktober 2016 / 16:44 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Merger & Acquisition (M&A) adalah salah satu inisiatif andalan bagi para pelaku bisnis yang ingin membesarkan usahanya. Bahkan, jadi menu keseharian pelaku usaha yang bergerak di bidang investasi. Terbatasnya ruang gerak untuk menumbuhkan bisnis dari dalam dirinya sendiri atawa organic growth membuat banyak pelaku usaha tergiur untuk melakukan ekspansi dengan cara un-organic, yakni melebur ataupun membeli perusahaan lain di luar dirinya alias M&A. Pada 2015, dunia keuangan bahkan mencetak rekor volume M&A tertinggi sepanjang masa, dengan nilai transaksi US$ 4,9 triliun.

 Bagaimana dengan hasilnya? Seperti setiap inisiatif pada lazimnya, ada cerita kesuksesan, namun juga kisah kegagalan. Pembelian NeXT oleh Apple pada 1997 dengan angka yang relatif kecil (US$ 404 juta) telah berhasil menyelamatkan sekaligus melambungkan kinerja dan nilai perusahaan ciptaan Steve Jobs tersebut di kemudian hari. Demikian juga, pembelian Google atas Android sebesar US$ 50 juta pada 2005. Akuisisi ini telah mengukuhkan kehadiran Google dalam bisnis sistem operasi smartphone. Tentunya juga, beberapa akuisisi yang dilakukan taipan investasi Warren Buffett berhasil membesarkan aset-aset miliknya yang dikibarkan lewat bendera Berkshire Hathaway.

Sebaliknya, cerita M&A juga merekam beberapa pengalaman tak menyenangkan. Pada 2015, Microsoft menghapusbukukan (write-off) 96% nilai kepemilikan bisnis telepon genggamnya, yang diakuisisi dari Nokia tahun sebelumnya seharga US$ 2,9 miliar. Hal yang sama dilakukan Google terhadap bisnis telepon genggam yang dibelinya dari Motorola pada 2012 dengan nilai US$ 12,5 miliar. Juga halnya Hewlett Packard yang menghapusbukukan US$ 8,8 miliar dari total nilai akuisisi US$ 11,1 miliar atas Autonomy.

Roger L. Martin, dalam M&A: The One Thing You Need to Get Right (HBR, Juni 2016), mencatat lebih banyak deretan kegagalan M&A ketimbang keberhasilannya. Bahkan, Martin menyebut M&A sebagai permainan orang naif (a mugs game), yang secara tipikal 70%90% berakhir dengan kerugian yang besar. Bagi Martin, ada sudut pandang yang keliru yang menyebabkan banyak M&A berujung pahit.

Perusahaan cenderung melihat M&A sebagai cara untuk mendapatkan manfaat dan nilai tambah bagi dirinya sendiri, entah itu berupa akses ke pasar yang baru ataupun kesempatan untuk meningkatkan keuntungan dan kompetensi organisasi. Dan patut dicatat, karena banyak perusahaan berpikir seperti itu, manfaat dan nilai tambah yang diperebutkan tersebut akan hilang saat perang penawaran harga atawa tender.

Memberi manfaat

Sebagai alternatif, Martin yang juga mantan dekan Rotman School of Management University of Toronto, menawarkan cara pandang yang sebaliknya. Alih-alih berusaha untuk mendapatkan manfaat dan nilai tambah, kita justru harus berusaha memberikan manfaat dan nilai tambah bagi perusahaan yang hendak diakuisisi. Paling tidak ada empat nilai tambah yang bisa ditawarkan, yakni pertama, sumber penyediaan modal yang lebih kompetitif. Kedua, kemampuan manajerial yang lebih baik. Ketiga, alih kecakapan teknis dan teknologi. Serta keempat, pemanfaatan sumber daya organisasi secara bersama-sama atau resource-sharing.

Dengan logika anti-tesis seperti itu, inisiatif M&A yang dilakukan tak akan didorong oleh nafsu merebut dan mencaplok perusahaan yang akan diakuisisi, justru untuk merawat dan membesarkannya.

Logika anti-tesis tersebut seiring dengan pesan yang disampaikan oleh Adam Grant, seorang profesor muda dari Wharton School, University of Pennsylvania, dalam bukunya bertajuk Give and Take, Why Helping Others Drive Our Success (2013). Grant menyimpulkan, dalam konteks relasi antarpribadi, individu yang lebih memfokuskan dirinya untuk memberi kepada orang lain (giving), pada akhirnya akan menuai hasil yang lebih baik dan berlimpah daripada mereka yang fokus kepada kepentingan dirinya sendiri (taking).

Ini serupa dengan ajaran tasawuf yang mengingatkan kita, bahwa memberi tak pernah akan merugi. Karena dengan memberi, alam akan mengalirkan kembali pemberian itu kepada sang pemberi dalam jumlah yang jauh lebih besar, dan juga dengan cara yang jauh dari dugaan dan perhitungan.

Sosok bernama ibu adalah insan yang selalu dikaitkan dengan pribadi yang hanya memberi dan tak harap kembali. Mungkin terdengar naif. Tapi, fakta justru menunjukkan, ibu adalah pribadi yang paling dikagumi dan dicintai dalam pengertian yang setulus-tulusnya. Karena dikagumi dan dicintai, niscaya ibu juga tak berkekurangan bahkan berkelimpahan (berkah) dalam hidupnya.

Untuk urusan merger dan akuisisi, perusahaan memerlukan hati seorang ibu, yang memiliki naluri untuk merawat dan membesarkan. Bukannya ambisi seorang egois yang hanya bernafsu untuk merebut dan mencaplok.



TERBARU

×