kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

24/7

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Rabu, 23 November 2016 / 18:00 WIB
24/7

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Kombinasi antara kondisi bisnis yang hiper-kompetitif dan kecanggihan teknologi komunikasi telah melahirkan organisasi-organisasi yang lapar waktu. Kota-kota besar, seperti New York, London, Hong Kong, dan Jakarta, seperti tak pernah istirahat dari urusan transaksi. Demikian pula, bangunan-bangunan perkantoran di Silicon Valley, Wall Street, dan bursa efek di pelbagai negara, seolah tak pernah memadamkan lampu sepanjang hari.

Para manajer secara rutin bertubi-tubi mengguyur pekerjaan kepada anak buahnya dan juga selalu berkomunikasi urusan bisnis pada saat di luar jam kantor. Bahkan, para manajer juga tak jarang mengadakan rapat atau memberi tugas tambahan pada saat-saat menjelang bubaran jam kerja.

Untuk memenuhi tuntutan yang super-dahsyat tersebut, karyawan harus tiba di kantor lebih pagi, pulang lebih malam, lembur pada akhir pekan, dan selalu siaga dengan perangkat elektroniknya secara penuh atawa 24 jam/hari dan 7 hari/minggu. Luar biasa!

Situasi yang telah berubah juga ikut mengubah definisi seorang pekerja teladan. Sebelum abad 20, pekerja teladan diasosiasikan dengan sosok yang disiplin (termasuk datang dan pulang kerja tepat waktu), patuh kepada aturan dan setia kepada perusahaan. Pekerja ideal adalah mereka yang secara seimbang dapat mengatur waktu antara urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Namun, atas nama kompetisi usaha dan dedikasi profesional, saat ini pekerja ideal diidentikkan dengan mereka yang mengabdi secara total, sekaligus juga selalu siaga penuh dan siap sedia (on call) untuk urusan pekerjaan.

Hal seperti ini tak hanya di alami perusahaan besar, namun juga oleh usaha-usaha skala menengah, bahkan rintisan atawa start-up. Pun, tak hanya terjadi di perusahaan sophisticated, seperti perbankan dan teknologi, namun juga di perusahaan manufaktur dan bahkan rumahsakit. Dalam konteks ini, minat dan kecintaan terhadap aktivitas di luar pekerjaan (seperti kegiatan sosial, keagamaan dan juga hobi) bisa saja dianggap pertanda kurangnya kualifikasi sebagai seorang pekerja profesional.

Dalam studinya yang dituangkan dalam artikel bertajuk Managing The High Intensity Workplace (HBR, June 2016), Erin Reid dan Lakshmi Ramarajan menjelaskan tiga strategi yang lazim ditempuh oleh seorang karyawan menghadapi kondisi sarat tuntutan ini.

Pertama, strategi accepting, yakni menerima dan menyesuaikan diri apa adanya terhadap situasi tersebut. Mereka secara penuh memprioritaskan urusan pekerjaannya, dan rela mengorbankan dan mengabaikan hal-hal pribadi lainnya, sekalipun itu sesuatu yang penting. Studi yang dilakukan terhadap salah satu perusahaan consulting menyebutkan bahwa 43% karyawan masuk ke dalam kelompok ini.

Kedua, strategi passing, yakni secara diam-diam mengalokasikan waktu untuk urusan pribadi, namun tetap aktif memantau lalu lintas urusan pekerjaan. Ada sekitar 27% karyawan yang menggunakan strategi ini.

Ketiga, strategi revealing, yakni secara terang-terangan mengungkapkan urusan pribadi di luar pekerjaan dan secara terbuka meminta perubahan terhadap struktur pekerjaannya, seperti penataan ulang dan pembatasan jadwal kerja. Kelompok ketiga ini mencakup 30% dari karyawan yang disurvei.

Dampak buruk

Apa pun pendekatan yang ditempuh oleh karyawan menghadapi tuntutan dan tekanan pekerjaan yang intens ini, Reid dan Ramarajan menyimpulkan bahwa budaya kerja yang always available (selalu siaga) cenderung menimbulkan dampak buruk dan tak sehat. Entah itu berupa tingkat kecemasan kerja yang tinggi, hubungan dengan keluarga yang renggang, bahkan juga dapat mengancam kesehatan fisik dan mental karyawan yang bersangkutan.

Jika kita bersepakat bahwa karyawan adalah aset (modal) perusahaan yang paling berharga, maka proteksi terhadap kehidupan pribadi karyawan menjadi sesuatu yang penting. Seperti ayam petelur yang memerlukan asupan pakan yang baik, kehangatan suasana kandang yang cukup, dan istirahat yang memadai, seorang karyawan produktif juga memerlukan pemenuhan kehidupan pribadi untuk bisa melahirkan kinerja terbaik.

Beberapa manajer yang saya ketahui melakukan proteksi kehidupan pribadi karyawannya dengan cara melembagakan agenda cuti dan liburan karyawannya. Saatnya kerja, ya, kerja. Waktunya cuti, ya, juga harus cuti, demikian ungkap sang rekan.

Tak kalah pentingnya, perusahaan juga perlu melakukan reorientasi terhadap cara penilaian kinerja seorang karyawan. Masih banyak perusahaan yang menyandarkan penilaian kinerja terutama kepada jumlah waktu yang dihabiskan oleh seorang karyawan, bukannya tingkat mutu kinerja yang ditunjukkan olehnya. Akibatnya, alih-alih memikirkan cara meningkatkan mutu hasil kerja, karyawan justru berbondong-bondong mencari banyak kesibukan yang bisa mengkonsumsi waktu kerjanya. Padahal, sedari dulu kita sudah diajarkan untuk tak hanya bekerja keras, namun juga bekerja cerdas.



TERBARU

×