kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Tantangan bagi CEO baru Adidas

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar bisnis, berbasis di California


Rabu, 23 November 2016 / 18:12 WIB
Tantangan bagi CEO baru Adidas

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: hendrika.yunaprita

Adidas memiliki chief executive officer (CEO) baru bernama Kasper Rorsted terhitung mulai Oktober 2016. Rorsted menggantikan Herbert Hainer, yang memegang posisi tertinggi tersebut sejak tahun 2001.

Rorsted meninggalkan posisinya di Henkel untuk bergabung dengan Adidas. Dan ternyata pasar menyambut baik perubahan tersebut dengan stock gain Adidas mencapai US$ 1 miliar dan stock loss Henkel mencapai US$ 2 miliar. Rorsted yang pernah kuliah di Harvard Business School mengenal betul pasar Amerika Serikat (AS), mengingat ia pernah bekerja di Oracle dan Compaq.

Ia juga pernah menjadi Managing Director Eropa, Timur Tengah dan Afrika di Hewlett-Packard. Pengalaman mengenai pasar AS ini penting mengingat, kelemahan Adidas ada di Negara Paman Sam .

Earning Adidas menukik turun sejak awal resesi global dengan titik terendah di tahun 2009 dan 2014. Pasar AS dikuasai oleh Nike dan Under Armour (UA) dalam aparel dan sepatu olah raga. Divisi peralatan golf Adidas bermerk TaylorMade, sedang dalam proses diakuisisi oleh entitas eksternal. Padahal marketshare di AS mencapai 60%, tapi sales menurun 26% di tahun 2014.

Keputusan mengundang Rorsted berdasarkan keyakinan bahwa orang luar akan membawa angin segar. Ia juga dikenal tangguh di Henkel dengan salah satu bukti melipattigakan harga saham selama tujuh tahun ia menjabat CEO di sana.

Tentu saja ini bukan merupakan jaminan sukses bagi Adidas. Menurut beberapa analis Bisnis, Adidas sebagai perusahaan Jerman mempunyai kultur organisasi yang hirarki. Sangat berbeda dengan kultur di AS yang lebih demokratis. Bahkan Tony Hsieh CEO Zappos telah menerapkan manajemen tanpa hirarki.

Adidas perlu melakukan reorganisasi struktur dan revitalisasi kultur untuk meningkatkan kerjasama inspiratif dan motivasional yang mendorong impulsi-impulsi inovasi. Misalnya, dengan kerjasama antar divisi olahraga yang berbeda, maka berbagai ide baru dapat diserap. Juga dengan semakin cairnya berbagai batas hirarki, maka pertukaran ide juga semakin lancar dan dapat semakin berkembang.

Selain itu, strategi bisnis untuk pasar AS perlu direvisi, mengingat perbedaan besar minat antara publik AS dan Eropa. Sepakbola (soccer), misalnya, merupakan kegemaran publik Eropa. Publik AS lebih menyukai bola basket dan rugby (football). Sedangkan Adidas lebih dikenal dengan sepatu sepak bolanya.

Berbeda dengan Nike yang branding bola basketnya lebih berhasil. Nike juga lebih berhasil dalam inovasi high-tech berbagai produk sepatu dan pakaian olah raganya.

Tantangan teknologi Adidas ini perlu diatasi dengan progresif oleh Rorsted, yang pernah bekerja di hub teknologi Silicon Valley.

CEO lama Herbert Hainer dikenal dengan gaya kepemimpinan yang mengakar kepada tradisi dan standar yang dipertahankan Adidas. Dalam konteks kebutuhan terkini, Adidas memerlukan pendobrak, bukan pemegang tradisi-tradisi lama yang kurang agresif. Walaupun Hainer dikenal tangguh dan berhasil meningkatkan valuasi Adidas dari 3 miliar menjadi 18 miliar.

Bagaimana bisnis Anda berkembang, tentu sangat erat dengan siapa pemimpin yang menjadi pemicu semangat kerja dan semangat berinovasi. Seorang CEO merupakan pemimpin orkestra yang menjadi jiwa organisasi. Di bawah CEO baru, diharapkan Adidas menjadi lebih adaptif dan mengenal jiwa pasar AS yang progresif dan pro-teknologi.

Ada beberapa poin penting yang kita pelajari dari kasus Adidas. Pertama, perubahan bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Perubahan seringkali merupakan katalis menuju sesuatu yang lebih baik. Semakin besar perjuangan menuju gol yang tinggi, semakin besar inovasi yang perlu dilakukan.

Kedua, mengganti pimpinan teratas dengan promosi eksternal terkadang diperlukan pada saat genting. Promosi internal belum tentu sesuai, mengingat perpetuasi nilai-nilai lama seringkali malah mengganggu proses menuju perubahan.

Ketiga, perubahan strategi perlu dilakukan secara berkala, bahkan sebelum terjadinya penurunan penjualan. Lakukan revisi strategi sebagai antisipasi berbagai hal eksternal, seperti perubahan perilaku konsumen dan perubahan permintaan pasar.

Akhir kata, merek yang telah bertahan puluhan tahun membutuhkan peremajaan strategi dan kultur organisasi. Peta ekonomi dan kebutuhan dunia selalu berubah. Dengan begitu, adaptasi bisnis up-bottom dan berbagai strategi perlu fleksibel dan adaptable.



TERBARU

×