kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / ceritalah

Cokelat Indonesia

oleh Karim Raslan - Pengamat Asia Tenggara


Rabu, 28 November 2012 / 10:19 WIB

Reporter: Karim Raslan | Editor: cipta

BULAN lalu, saat berkunjung ke Brussels, saya berjalan-jalan di pusat perbelanjaan distrik Sablon.  Di sana, saya singgah ke beberapa gerai cokelat terbaik dunia. Berbagai jenis cokelat tersedia; mulai dari merek  yang sudah menjadi icon dunia seperti Godiva dan Neuhaus, hingga merek trendi seperti Pierre Marcolini dan Patrick Roger.

Toko-toko cokelat di Belgia tak seperti toko permen, tapi lebih mirip kuil cokelat. Gerai Patrick Roger terlihat sangat menarik dengan patung cokelat berbentuk kuda nil seukuran aslinya yang diletakkan persis di depan toko. Saat memasuki gerai Pierre Marcolini, Anda akan merasakan seolah sedang berada di salah satu klinik kecantikan kelas atas yang ada di Jakarta!

Kedua produsen cokelat tersebut sangat menghargai produk-produknya dengan mencatatkan secara detail persentase kakao dan daerah asal biji cokelatnya, dari Cote d'Ivoire hingga Kolombia, Jawa, dan Bali. Sebatang cokelat bernama the Java Lait Pure Origine yang saya beli di Pierre Marconi dan cokelat Rare Dark dari Patrict Roger masing-masing terbuat dari biji cokelat yang berasal dari Jawa dan Bali.

Inilah yang membuat saya berpikir: ketika Indonesia berusaha untuk mengembangkan  perekonomiannya, dengan mendorong perusahaan lokal berekspansi global, di Belgia justru menjual cokelat dengan bahan baku dari Indonesia. Bukan sembarang cokelat, tapi cokelat terkenal dunia yang dijual dengan harga premium! Dengan bekal itu,  Indonesia bisa muncul sebagai pemain barang mewah dunia seperti cokelat.

Indonesia memang produsen cokelat dan kakao terbesar ketiga dunia. Menurut data Kementerian Perdagangan, Indonesia mengekspor 137.460 ton produk kakao setengah jadi yang bernilai US$518,9 juta pada tahun 2011. Sedangkan menurut Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki perkebunan cokelat yang luasnya sekitar 1,7 juta hektare (ha)  pada tahun 2011.

Menurut serangkaian artikel Reuters pada 15 Oktober 2012, Indonesia memproduksi 435.000 ton kakao pada tahun lalu dan akan memproduksi 435.000-450.000 ton di  tahun 2012 ini. Petani-petani cokelat berskala kecil memiliki 95% dari total luas area perkebunan cokelat yang sebagian besar terletak di Sulawesi dan Sumatra.

Indonesia juga merupakan tuan rumah bagi produsen kakao terbesar di dunia seperti Cargill di Makassar. Namun, konsumsi cokelat masyarakat Indonesia hanya 0,2 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang mengkonsumsi sekitar 0,6 kg per orang per tahun. Artinya, ada potensi pertumbuhan konsumsi cokelat masyarakat Indonesia masih bisa lebih tinggi.

Reuters juga menyebutkan dengan jelas mengenai tantangan-tantangan bagi Indonesia dalam industri kakao. Pada tahun 2009, pemerintah mencanangkan program senilai US$ 350 juta untuk meningkatkan produksi kakao dengan memberikan bibit kakao unggul tahan penyakit pada petani-petani kecil. Namun, program itu gagal karena kurangnya instruksi yang jelas bagi para petani untuk menanam bibit tersebut serta musim kemarau panjang.

Meningkatkan industri cokelat di Indonesia jauh lebih penting. Apalagi, permintaan cokelat terus bertumbuh. Penjualan cokelat di China senilai US$ 1,2 miliar di 2011. Sedangkan penjualan di India, berdasarkan penelitian pasar Mintel, senilai US$ 633 juta Desember 2011.

Saat sama, predikat Eropa sebagai pusat produksi cokelat terbesar dunia mulai memudar. Hal ini ditandai dengan penurunan produksi cokelat di Eropa sebesar 16% year-on-year  pada kuartal III tahun ini. (Financial Times, 29 Oktober 2012).
 
Mengutip laporan KPMG, industri ritel makan manis berbahan cokelat mengalami pertumbuhan 55% di tahun 2011 di BRIC. Dengan begitu, ada kesempatan emas bagi Indonesia untuk masuk pasar ini. Pemerintah Indonesia ada baiknya segera  menemukan cara meningkatkan output produksi industri kakao dan cokelat.
 
Indonesia juga harus memperkuat sektor hilir dan mendorong produsen lokal untuk menciptakan produk-produk cokelat berstandar tinggi. Sangat mungkin masyarakat Indonesia memproduksi produk-produk kelas dunia. Bukankah demikan?

Kesampingkan rasa nasionalisme. Upaya itu sangat beralasan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan tumbuhnya ketergantungan global terhadap produk makanan yang diproduksi secara masal, pasar akan menuntut brand yang otentik dan menonjol dalam industri.
 
Indonesia membutuhkan lebih banyak pabrik cokelat seperti Monggo Chocolate yang didirikan tahun 2005 oleh orang Belgia Thierry Detournay di Yogyakarta. Monggo Chocolate memproduksi cokelat unik, termasuk  cokelat rasa jahe. Dengan dukungan dan inovasi, tidak ada hambatan bagi Indonesia untuk mewujudkan ini.

Para penggemar cokelat dunia pun tentu tidak keberatan dengan hal ini.



TERBARU

×