kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Visi, Misi atau Kompetensi?

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Rabu, 23 November 2016 / 18:42 WIB
Visi, Misi atau Kompetensi?

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan diselenggarakan pada Februari 2017, salah satu kosakata yang paling lazim terdengar adalah visi misi. Khususnya dalam konteks Pilkada DKI yang begitu heboh, kita sering mendengar seruan, Pilkada semestinya menjadi kompetisi visi misi, bukannya hal-hal yang terkait SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

Para pengamat juga acapkali mengajak publik untuk memilih pemimpin berdasarkan visi misi yang ditawarkan, bukan unsur-unsur lainnya. Media juga memberikan ruang yang sangat besar bagi para kandidat untuk mengomunikasikan butir-butir visi misi mereka, yang umumnya dirangkai dalam untaian kalimat indah nan inspiratif.

Pertanyaannya, apakah tepat menjadikan rumusan visi misi menjadi acuan utama dalam menentukan sosok calon pemimpin-pemimpin daerah kita?

Praksis rekrutmen dan seleksi pegawai mengalami evolusi dari masa ke masa. Hingga pada awal 1970-an, para pelaku organisasi dan manajer SDM umumnya memilih calon karyawan berdasarkan kemampuan-kemampuan umum yang dapat dilihat secara jelas, semisal keterampilan komunikasi dan sikap inisiatif. Sepanjang mata bisa melihat kualitas-kualitas seperti itu dalam diri seseorang, seketika itu juga benak kita akan menyimpulkan yang bersangkutan sebagai pekerja andal.

Dengan berjalannya waktu, alat-alat uji (tes) untuk membantu mendeteksi kualifikasi seseorang pun dikembangkan. Namun sayang, beberapa riset (antara lain yang dilakukan Ghiselli-1966 dan Mischel-1968) ternyata menunjukkan bahwa sifat-sifat kepribadian yang didapatkan dari tes yang ada pada saat itu tak menunjukkan korelasi signifikan dengan tingkat kinerja yang ditunjukkan. Artinya, tak ada bukti nyata bahwa hasil tes kepribadian yang positif dari seseorang serta merta akan menjamin kinerja yang tinggi juga darinya.

Sama halnya, banyak penelitian lain yang juga menunjukkan bahwa alat uji semisal tes potensi akademis dan tes pengetahuan tradisional, ternyata juga tak dapat meramalkan derajat kinerja seseorang. Bahkan, nilai ijazah dan peringkat di sekolah juga tak menunjukkan daya prediktif yang signifikan terhadap keberhasilan karier dan pencapaian kerja seseorang di masa mendatang.

Kegalauan-kegalauan tersebut mendorong ahli psikologi David McClelland dkk. untuk melakukan riset yang lebih mendalam tentang variabel yang dapat memprediksi kinerja seseorang secara lebih sahih dan jitu. Ia menamai variabel tersebut sebagai kompetensi.

Dalam buku bertajuk Competence At Work (Spencer & Spencer, 1993), kompetensi diartikan sebagai karakteristik yang dimiliki seseorang, yang membuatnya sanggup menunjukkan kinerja yang lebih hebat (superior) daripada rata-rata orang pada umumnya.

Kompetensi sendiri dibangun oleh berbagai elemen, yakni keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), peran sosial (social-role), citra diri (self-image), sifat (trait), dan keinginan dasar (motive). Ibarat gunung es, keterampilan dan pengetahuan adalah bagian puncak yang bisa terlihat dari permukaan laut. Maknanya, keterampilan dan pengetahuan adalah dua elemen kompetensi yang dapat dilihat jelas dan kasat mata. Kita dengan cepat bisa membedakan mana yang terampil dan mana yang tidak. Kita pun bisa dengan seketika mengenali mana yang berpengetahuan luas dan mana yang tidak.

Kenali dasar gunung es

Sebaliknya, ada bagian gunung es yang tak dapat dilihat dari permukaan dan menyimpan banyak misteri. Semakin dalam, semakin penuh tanya, namun justru semakin penting. Mengapa? Karena bagian di bawah permukaan inilah, terutama bagian dasar, yang menentukan kekuatan dari gunung es tersebut.

Hal yang sama juga berlaku dalam teori kompetensi. Walaupun peran sosial, citra diri, sifat, dan keinginan dasar seseorang tak dapat dikenali secara cepat dan lugas, justru elemen-elemen inilah yang memberikan kontribusi lebih lebih besar pada kesuksesan kinerja seseorang. Tak heran, orangtua kita sering memberikan nasihat, Orang yang rajin akan lebih sukses daripada orang pintar. Rajin adalah sifat, sedangkan pintar merupakan cerminan pengetahuan dan keterampilan seseorang.

Yang menarik, McClelland dkk menempatkan motive (keinginan dasar) sebagai elemen fondasi dari bangunan kompetensi. Secara teoretis, ini berarti motive adalah elemen yang paling sulit untuk dikenali, namun sekaligus juga paling penting dan penuh pengaruh terhadap tindak tanduk dan sepak terjang seseorang.

Karena pentas kehidupan laksana panggung sandiwara, kita seringkali sulit membedakan mana pejabat yang mempunyai motive mengabdi kepada kepentingan diri sendiri atau melayani keperluan sesama. Rumusan visi misi bisa saja terpampang nyata, namun isi hati tak ada yang bisa memastikan. Isi visi misi bisa saja melambung ke langit, namun kebersihan hati dan hasrat melayani yang kita butuhkan di muka bumi.



TERBARU

×