kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Pikiran yang berkarat

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 09 Januari 2017 / 16:56 WIB
Pikiran yang berkarat

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Saya mendengar istilah pikiran yang berkarat dari seorang rekan pengamat politik. Istilah ini digunakannya untuk menggambarkan orang-orang yang berpikiran dogmatis, keukeuh, dan tak terbuka dengan informasi atau pun pengetahuan baru. Sebenar dan senyata apa pun perkembangan situasi, keadaan yang terbaru, isi pikirannya tetap bergeming. Untuk orang-orang seperti ini, beberapa jargon yang seringkali meluncur dari mulutnya adalah: pokoknya!, buat saya..!, atau pun ...titik!. Singkat cerita, keras kepala, orientasi ke dalam diri sendiri (inward-looking) dan menutup peluang diskusi adalah ciri-ciri yang terlihat jelas dari orang-orang seperti ini.

Dalam bukunya yang fenomenal, Mindset: The New Psychology of Success (2006), psikolog ternama dari Stanford University Carol Dweck memperkenalkan konsepsi growth-mindset (pola pikir tumbuh) dan fixed-mindset (pola pikir buntu). Orang dengan growth-mindset memahami pola pikir sebagai sesuatu yang bertumbuh kembang. Mereka selalu ingin maju, terbuka dengan tantangan, situasi dan keadaan baru, serta berteguh hati menjalani proses pembelajaran. Mereka tetap belajar, bahkan di tengah kegagalan sekalipun! Setiap usaha pembelajaran dimaknai sebagai bagian dari proses pengembangan diri. Mereka tak ragu untuk belajar dari kritik dan perbedaan pandangan, juga tak sungkan untuk memetik inspirasi dari keberhasilan orang lain.

Sebaliknya, orang dengan fixed-mindset mengartikan pola pikir sebagai sesuatu yang statis alias menetap. Karena ingin terlihat pintar, mereka cenderung menghindari tantangan dan cepat mutung. Mereka tak suka untuk menjalani proses pembelajaran karena berpikir bahwa segenap usaha sia-sia belaka. Pun, mereka menjadi pribadi yang gampang menutup telinga terhadap feedback (utamanya feedback negatif), sekalipun mengandung kebenaran dan mendatangkan manfaat. Keberhasilan orang lain, alih-alih menjadi inspirasi, justru dianggap ancaman bagi dirinya.

Pembaca pasti sudah tahu, di antara kedua tipe mindset di atas, kepada kelompok manakah orang yang pikirannya berkarat akan menambatkan dirinya.

Lebih jauh, Dweck berpendapat bahwa mindset bukanlah sebuah takdir yang hanya bisa diterima begitu saja. Mindset adalah sebuah pilihan, yang bisa dipelajari, dilatih dan dikembangkan. Memang tidak mudah, karena secara naluriah, manusia lebih suka dengan rasa aman (daripada tantangan), menyenangi kelembaman (daripada pembelajaran), mengharapkan pujian (daripada kritik). Kita senang dengan sesuatu yang sesuai dengan selera dan harapan kita, sekalipun itu adalah hal yang keliru dan tak berdasar.

Terkait dengan kemenangan Donald Trump dalam pemilu Presiden Amerika 2016 yang masih menyisakan kebingungan pada banyak orang, ada sebuah analisis yang cukup menarik. Walaupun sudah dibantah oleh sang juragan Mark Zuckerberg, Facebook - lewat algoritmanya - dituding ikut mempengaruhi keputusan para pemilih. Dalam menampilkan berbagai berita dan informasi, algoritma Facebook diduga membuat penggunanya kesulitan membedakan antara fakta dan fiksi.

Algoritma lazimnya dipakai untuk memprediksi sesuatu yang disukai oleh pengguna, baik pada Facebook, Google Search ataupun platform media sosial lainnya. Hal yang patut disayangkan adalah bahwa algoritma bisa menciptakan efek buruk pada lini masa yang menampilkan informasi, berita atau pun opini.

Peran algoritma

Mari kita bayangkan hal berikut. Ada seseorang yang membagikan informasi atau berita tentang tokoh publik tertentu. Kebetulan, cerita dan informasi tersebut cocok dengan pandangan dan selera pribadi kita, walaupun kisah dimaksud sesungguhnya tak berdasarkan fakta. Di kemudian hari, kita melihat dan membacanya lagi di lini masa media sosial, seperti Facebook atau pun Google.

Algoritma lalu menganggap kita menyukai cerita tersebut, dan akibatnya secara otomatis akan membuat lini masa media sosial kita menampilkan berbagai berita/opini yang sesuai dengan cerita kesukaan itu.

Sekalipun, lagi-lagi, berita atau opini itu tidak berdasarkan fakta. Pada saat yang bersamaan, lini masa akan dengan sendirinya menghalau cerita/berita yang berlawanan dengan selera kita, sekalipun itu adalah fakta. Akibatnya, kita tak akan pernah melihat sanggahan terhadap cerita yang kita sukai mengenai sang tokoh publik tersebut.

Seandainya algoritma media sosial beroperasi dengan cara demikian, maka tanpa disadari kita akan digiring untuk memiliki pola pikir yang buntu, yang tak terbuka dengan pandangan alternatif dan pada akhirnya merasa benar sendiri. Itu setali tiga uang dengan pikiran yang berkarat.

Benarlah nasihat dari guru saya, agar membiasakan diri melihat sebuah peristiwa atau pun persoalan dengan kacamata yang bening. Dengan mengenakan kacamata berwarna merah, semua peristiwa akan tampak berwarna darah.

Sama halnya pula, mengenakan kacamata berwarna hijau, hamparan gurun pun akan terlihat seperti padang rumput. Pakailah selalu kacamata yang bening, yang melihat putih sebagai putih, dan hitam sebagai hitam. Itulah pikiran yang jernih. Yang tidak berkarat.



TERBARU

×