kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Yang tak tergantikan

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 09 Januari 2017 / 21:58 WIB
Yang tak tergantikan

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Seorang rekan membagikan pengalamannya kepada para yunior di perusahaan tentang cara menjadi profesional yang andal dan sukses. Katanya, seorang karyawan harus membangun keterampilan dan keunggulan sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang mampu menyaingi dirinya.

Buatlah situasi sebegitu rupa, hingga hanya diri sendirilah yang bisa melakukan suatu pekerjaan dengan baik. Semaksimal mungkin, ciptakanlah keadaan seakan-akan kehadiran Anda menjadi penentu segala kesuksesan organisasi. Kalau sudah seperti itu, kita akan menjadi sosok yang penting (bahkan terpenting), dan menjadi tempat organisasi menggantungkan dirinya. Kata anak muda sekarang, Nggak ada elo, nggak jalan, nih, organisasi!

Di dalam bahasa Inggris, sosok seperti ini juga disebut sebagai the indispensable one alias orang yang tak tergantikan. Karena perannya begitu penting, maka pasti akan dibutuhkan. Juga, karena amat dibutuhkan, pun niscaya tak tergantikan. Nah, kalau sudah tak tergantikan, Anda akan menjadi orang yang paling eksis di perusahaan. Anda juga akan mempunyai bargaining power alias daya tawar yang tinggi terhadap perusahaan, dan ini menjadi tiket penting untuk meningkatkan karier profesional (berikut gaji tentunya) di masa yang akan datang, tutur sang teman mengakhiri nasihatnya.

Saat memikirkan nasihat sang teman yang penuh motivasi tersebut, di benak saya justru muncul hikmat kepemimpinan yang pernah disampaikan oleh pencerah bernama Lao Tzu. Katanya, Seorang pemimpin bisa dibilang paling baik bila pengikutnya hampir tidak menyadari kehadirannya. Pemimpin bisa kita anggap tak cukup baik kalau para pengikutnya patuh, kagum dan memujanya. Adapun pemimpin bisa kita anggap buruk jika para pengikutnya justru membenci atau bahkan mengecamnya.

Jika sang teman menasihati agar seseorang harus memiliki eksistensi yang menonjol (bahkan paling menonjol) demi menjadi seorang profesional yang andal, Lao Tzu justru sebaliknya. Pemimpin paling baik alias hebat harus menghindari keinginan untuk eksis agar pengikutnya hampir tak menyadari kehadirannya. Sebuah paradoks yang menarik, namun bukan berarti tak terjelaskan.

Pendelegasian tugas

Mantan CEO perusahaan raksasa General Electric yang sangat legendaris, Jack Welch, pernah berujar, Before you are a leader, success is all about growing yourself. When you become a leader, success is all about growing others.

Saat masih jadi staf atau pekerja individual, seseorang akan melulu memikirkan tentang keberhasilan dirinya. Yang penting adalah eksistensi, kompetensi dan karier dirinya sendiri. Namun, ketika mendapat amanah untuk mengelola organisasi dan tim kerja, pemimpin yang baik haruslah beranjak memikirkan orang-orang lain di sekelilingnya. Yang penting bukan lagi eksistensi dirinya, namun justru kontribusinya kepada pertumbuhan organisasi dan tim yang dikelolanya.

Memang, individu profesional yang andal dan pemimpin yang hebat adalah dua hal yang berbeda, yang tak hanya membutuhkan kompetensi dan keterampilan yang berbeda, namun juga cara pandang dan sikap mental berbeda pula.

Guru saya berpesan, salah satu sikap mental terpenting yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah berbagi untuk mengembangkan orang lain (sharing for developing others). Banyak pula yang menyebut sikap mental seperti ini dengan istilah delegating (delegasi). Sikap mental ini mendorong seorang pimpinan untuk berbagi peran dan tugas pekerjaan pada bawahan, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan bawahan yang bersangkutan. Membagi peran dan tugas dengan maksud menghindarkan diri dari tanggung jawab, jelas bukan tindakan delegating yang dimaksud di atas.

Apa yang terjadi jika seorang pemimpin memiliki sikap mental delegating? Ia akan melahirkan kader-kader pemimpin yang cakap, yang siap untuk mengambil alih tugas tanggung jawab dirinya pada suatu saat. Dan, bukankah ini berarti sebuah landasan yang baik bagi sang pemimpin itu sendiri, untuk meraih jenjang karier yang lebih tinggi lagi?

Tentu sulit bagi sebuah organisasi untuk mempromosikan seseorang ke jenjang yang lebih tinggi, bila yang bersangkutan sendiri belum menyiapkan kader yang siap menggantikan dirinya. Sebaliknya, apa yang terjadi pula jika seorang pemimpin tak mempunyai sikap mental delegating? Ia tak akan pernah mendapatkan kader yang cakap dan siap untuk menggantikan dirinya, dan menempatkan dirinya pada posisi indispensable. Ia memang tak tergantikan, namun langkah kariernya bisa jadi juga tak akan bergerak ke mana-mana. Karena indispensable, ia disandera oleh posisi pekerjaan dan kariernya pada saat ini.

Jadi, mau menjadi seorang yang tak tergantikan atau pemimpin, pilihan ada di tangan kita masing-masing. Yang jelas, kedua peran ini mensyaratkan cara pandang dan sikap mental yang berbeda.



TERBARU

×