kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

2017: Tahun Keemasan Analisis Teknikal

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal


Rabu, 11 Januari 2017 / 21:45 WIB
2017: Tahun Keemasan Analisis Teknikal

Reporter: Satrio Utomo | Editor: hendrika.yunaprita

Dua minggu sebelum akhir tahun, saya sempat dibuat pusing kepala. IHSG bikin titik terendah baru (new low) di bawah support penting 5.091.

Karena support tembus, prediksi IHSG 5.800-6.300 yang saya perkirakan sebagai puncak dari IHSG di 2017, terancam harus saya hitung ulang. Saya yang kelewat optimistis menghadapi 2017, sampai-sampai bilang 2017 adalah tahun mulainya zaman keemasan Jokowi, seakan disuruh bangun dari mimpi indah.

Sebelum koreksi minggu ketiga Desember lalu saya sangat optimistis menghadapi 2017. Dalam kondisi terbaiknya, IHSG saya perkirakan berpotensi melewati level psikologis 6.000 di tahun ini. Tepatnya, prediksi level tertinggi IHSG di tahun 2017 ini bakal berada pada kisaran 5.800-6.300. Dengan kata lain: IHSG bisa mencapai 6.000 tahun ini, meski jangan dianggap sebagai sebuah kepastian.

Kalau Anda bertanya apa alasan IHSG 6.000? Sudah pasti saya menjawab, "Itu alasan-alasan teknikal".

Hitungan teknikal IHSG memang sedang dalam tren naik, dengan potensi kenaikan hingga kisaran 5.800-6.300. Tapi, dengan potensi kenaikan 9,5%-18,9% di 2017 ini, rasa-rasanya tidak akan sulit mencari alasan-alasan fundamental yang kira-kira menjadi dasar dari kenaikan IHSG setinggi itu.

Alasan pertama, karena harga komoditas saya perkirakan masih tetap tinggi tahun ini. Episode harga minyak murah yang terjadi tahun 2015 hingga awal 2016 silam, sepertinya memang sudah berakhir.

Kenaikan harga minyak WTI dalam 4-5 bulan terakhir, terlihat sudah mulai memperlihatkan potensi kenaikan teknikal hingga kisaran US$ 70-US$ 80 per barel pada semester pertama 2017 ini. Kondisi ini membuat harga batubara dan CPO setidaknya masih akan bertahan pada kisaran tinggi pada periode yang sama.

Tingginya harga komoditas ini, boleh dikatakan adalah faktor surprise dalam perekonomian Indonesia tahun ini. Ketika APBN 2017 dibuat pada kuartal III hingga IV 2016, harga batubara masih berada di kisaran US$ 40-US$ 50 per ton. Dengan ongkos produksi penambangan batubara Indonesia yang berada pada kisaran US$ 55-US$ 60 per ton, sektor batubara tadinya belum menarik.

Tapi kenaikan harga batubara yang terjadi di September-November lalu, hingga sempat mencapai level tertinggi di atas US$ 110 per ton dan bertahan di atas US$ 90 per ton hingga akhir tahun, memberikan sinyal sektor ini ke depan sepertinya bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi hingga di atas perkiraan.

Meski, kita juga masih harus tetap waspada karena tingginya harga batubara Newcastle yang menjadi acuan dari harga batubara di Indonesia, lebih karena pengurangan produksi yang dilakukan China. Jika aturan ini kemudian dicabut, bisa saja semuanya berubah 180 derajat.

Di sisi lain, pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, masih terus konservatif menetapkan asumsi pertumbuhan ekonominya. Dalam presentasi November lalu, pemerintah hanya memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5,1%.

Asumsi pertumbuhan ekonomi ini di bawah asumsi pertumbuhan Bank Indonesia, Bank Dunia, bahkan IMF yang biasanya cenderung lebih konservatif daripada pemerintah. Dengan asumsi konservatif ini, Indonesia bisa saja lebih mudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari perkiraan.

Wow factor ini, diperkirakan bisa membuat IHSG tumbuh lebih tinggi ke depan. Mau berapa pertumbuhan ekonominya? Apakah hanya 5,3% seperti mimpi Ketua Bappenas yang biasanya tidak realistis itu? Ah, saya enggak akan mempersoalkan. Yang penting, pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi dari perkiraan pemerintah. Itu wow factor bagi pertumbuhan IHSG.

Tapi, pertumbuhan ekonomi tinggi harus didukung kondisi politik yang kondusif. Belakangan kondisi politik menjadi ilusif akibat berbagai perpecahan yang terjadi pada Pilkada, terutama Pilkada DKI 2017. Kemarin, saya sampai ikut Aksi Damai 212 karena kepingin mengetahui jawaban dari pertanyaan, "Apakah aksi-aksi yang dilakukan umat Islam cenderung akan merusak stabilitas?"

Saya bukan pakar politik, bukan pula pakar psikologi massa. Tapi, saya masih ingat betul kejadian ini. Ketika Aksi 212 berakhir, massa membubarkan diri, di bundaran yang ada di depan Bank Indonesia, ada sebuah mobil di mana oratornya mengajak melakukan demo lanjutan di Bunderan Hotel Indonesia dan kemudian berlanjut ke Gedung DPR Senayan.

Mau tahu reaksi massanya? Massa malah menertawakan orator itu. Aksi 212 pun tidak berlanjut. Menurut saya, ini pertanda aksi massa umat Islam tidak berbahaya selama tidak ada pihak-pihak yang berusaha memperkeruh suasana.

Sejauh ini, reaksi dari TNI sudah tepat. Masalah stabilitas keamanan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan oleh pasar modal. Toh, kalau mau dilihat ke belakang, IHSG lebih sering naik setelah aksi-aksi tersebut.

Bagaimana dengan Donald Trump dan The Fed? Wah, kalau dua hal ini, sepertinya harus kita lihat dulu hingga akhir Januari nanti. Tapi, kenaikan Indeks Dow Jones Industrial pasca terpilihnya Donald Trump jadi Presiden, sepertinya merUpakan pertanda bahwa Donald Trump bukan sesuatu yang horor seperti pidato kampanyenya.

Langkah The Fed menaikkan suku bunga lebih sering jadi ancaman. Terutama karena hasil FOMC pertama tahun ini baru akan diketahui tanggal 1 Februari. Bisa saja market tetap tegang dan dana asing terus keluar. Tapi, dengan posisi asing yang sudah mulai minim, kita tidak perlu khawatir. Selama fund lokal masih menjaga market seperti minggu terakhir Desember kemarin, kita tidak perlu khawatir.

Jadi, apakah 2017 bakal menjadi awal dari masa keemasan Jokowi? Sejauh ini, belum terlihat. Tapi saya masih berharap pertumbuhan ekonomi di 2017 bisa di atas perkiraan.

Di sisi lain, saya malah melihat 2017 ini bisa menjadi tahun keemasan bagi analisis teknikal sebagai alat prediksi pergerakan harga. Maklum saja, panasnya dunia medsos dan berita internet sebagai akibat dari Pilkada, sepertinya membuat orang sulit mencerna kebenaran.

Dari sini orang kemudian akan mencoba mencari alternatif: menggunakan alat prediksi, yang tidak terlalu mengandalkan berita, tidak perlu mengandalkan informasi. Pilihannya ada pada analisis teknikal.

Benarkah? Tunggu saja! Happy trading. Semoga barokah.



TERBARU

×