kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Filantropi dan keberlanjutan

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Rabu, 11 Januari 2017 / 22:08 WIB
Filantropi dan keberlanjutan

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Cukup banyak orang yang setelah merasa kaya harta berniat untuk mengalirkan kembali sebagian kekayaan mereka kepada orang lain yang membutuhkan atau pun masyarakat luas. Beberapa di antara mereka bahkan mengungkapkan hasratnya tersebut dengan istilah yang religius, yakni menjadi saluran berkat atau pun menghadirkan manfaat kepada sesama. Niat mulia seperti ini dalam wacana tekstual disebut pula filantropi.

Kata filantropi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni philantropia, yang secara etimologis berarti cinta akan kemanusiaan (the love of humanity). Entah itu dalam bentuk kepedulian, pemeliharaan, pengembangan atau pun penguatan terhadap hakekat kemanusiaan itu sendiri.

Kamus ternama, Oxford Dictionary, memberikan makna filantropi sebagai hasrat untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain, yang secara umum diungkapkan lewat pemberian donasi uang untuk urusan, perkara atau pun inisiatif yang bertujuan mulia.

Sekalipun filantropi adalah sebuah aksi nan mulia, pada kenyataannya juga mengandung risiko, bahkan beban implementasi. Sebuah film dokumenter bertajuk Poverty Inc., Fighting Poverty is Big Business, yang diedarkan pada akhir 20014, mengungkapkan risiko filantropi konvensional seperti donasi. Produser film, Michael Matheson Miller, secara khusus menyoroti situasi di Haiti dan beberapa negara sub-Sahara di Afrika, yang secara ekonomi tak berkembang baik.

Hasrat filantropis yang mulia, yang diwujudkan dalam bentuk donasi uang atau pun barang, membuat negara-negara tersebut tak bergerak maju secara nyata. Lebih jauh, santunan dari filantropis perorangan, lembaga nirlaba, institusi bisnis atau pun pemerintahan tertentu, telah menciptakan sikap ketergantungan (dependensi) pada negara-negara penerima donasi tersebut.

Saat sebuah negara ketiban hujan rezeki berupa uang, sandang dan makanan dari pihak luar, hampir dapat dipastikan bahwa para petani dan pengusaha lokal (sekalipun sebelumnya terbilang sukses) akan sulit untuk bersaing. Akibatnya, segenap industri domestik akan menguap hilang, dan perlahan-lahan negara tersebut juga akan kehilangan ketahanan hidup dan daya saingnya.

Padahal, rakyat tak bisa mengandalkan hidup semata-mata kepada santunan filantropis, yang pemberiannya tak bisa diharapkan berlangsung konsisten; sangat tergantung kepada kondisi rezeki dan kemurahan hati sang penyantun.

Film Poverty, Inc. tentunya tak bermaksud untuk mengecam para filantropis (entah perorangan atau pun organisasi) yang bermurah hati. Bagaimanapun, aksi amal adalah tindakan yang baik dan mulia. Justru, film tersebut ingin mengingatkan kita dari sisi penerima santunan itu sendiri.

Bantuan yang diterima dengan gratis sementara waktu memang akan mendatangkan kesenangan, namun sama sekali tak menjamin adanya keberlangsungan kesejahteraan. Donasi makanan secara cuma-cuma pasti akan membuat perut kenyang dalam sekejap, namun yang dibutuhkan para penerima bantuan sesungguhnya adalah kemampuan untuk membangun pabrik makanan sendiri.

Ciptakan kesejahteraan

Paul English adalah seorang miliuner teknologi Amerika, yang juga dikenal sebagai seorang filantropis. English dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan unik, bahkan didiagnosa mengidap gangguan psikologis bipolar.

Tanda diduga, garis hidup menuntunnya menjadi seorang miliuner, saat situs perjalanan yang didirikannya Kayak.com terjual dengan harga miliaran US dollar. Jelas ini sebuah pencapaian yang luar biasa, yang bahkan melampaui impian terliar dalam hidupnya. Saat mulai membangun bisnis, ia hanya menginginkan situs perjalanannya berfungsi dengan baik, para penggunanya senang dan nyaman saat berselancar di situs tersebut, serta tim kerja senantiasa riang gembira. Baginya, uang yang dihasilkan hanyalah produk sampingan.

Begitu besarnya uang yang didapat dari penjualan Kayak.com membuat sang pendiri seperti kejatuhan durian runtuh. Atau, meminjam istilah yang pernah diutarakan oleh temannya, English seakan-akan ditubruk oleh sebuah mobil truk yang dipenuhi oleh gunungan uang.

Ungkapan canda sang teman, A Truck Full of Money, di kemudian hari dijadikan judul buku oleh penulis Tracy Kidder untuk mengisahkan pengalaman dan sepak terjang Paul English sebagai seorang ilmuwan, pengusaha dan juga miliuner.

Sebagai filantropis, English tentu telah mendonasikan uangnya untuk berbagai aksi sosial dan kemanusiaan. Namun, selain urusan donasi harta, ia sesungguhnya lebih tertarik untuk membangun usaha-usaha rintisan baru di bidang teknologi (technology startup).

Hal ini dilakukannya bukan untuk tujuan mengumpulkan gunungan uang yang baru, namun sebagai suatu tindakan nyata untuk membangun kesejahteraan masyarakat luas yang lebih berkelanjutan.

Guru saya pernah berkata, salah satu cara terbaik untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan membangun usaha yang berkelanjutan, demi penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya.

Lewat pekerjaan, orang tak akan menggantungkan hidupnya kepada kemurahan hati orang lain, namun bersandar kepada kucuran keringatnya sendiri. Hidup di atas kekuatan diri sendiri, untuk seterusnya ikhlas berbagi kepada orang lain.

Selamat Tahun Baru 2017!



TERBARU

×