kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Salah kaprah memandang kartu kredit

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Keuangan dan Staf Pengajar FEB-UI


Selasa, 07 Februari 2017 / 19:29 WIB
Salah kaprah memandang kartu kredit

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

 Ausubel, dalam artikelnya The Failure of Competition in the Credit Card Market (1991), mengelompokkan pengguna kartu kredit dalam tiga kelompok besar. Pengguna kartu kredit dibagi dalam kelompok hampir tidak berisiko, berisiko kecil dan berisiko besar.

Berbeda dengan Ausubel, berdasarkan observasi saya, ada lima persepsi berbeda di masyarakat kita terhadap kartu kredit. Karena kekurangpahaman mengenai produk perbankan ini dan minimnya self control, tidak jarang persepsi salah yang justru berkembang.

Berikut lima pengelompokan persepsi terhadap kartu kredit versi saya, yaitu naif, kapok, kelompok yang memandang kartu kredit sebagai alat bayar, yang melihatnya sebagai alat utang, dan yang memperlakukannya sebagai tambahan kas.

Kelompok pertama adalah mereka yang melihat mudarat kartu kredit lebih besar daripada manfaat. Di mata kelompok ini, tidak ada keuntungan nyata memiliki kartu kredit, sementara biaya tahunan tetap harus dibayarkan. Besar biaya yang hanya beberapa ratus ribu rUpiah itu dipandang tidak sesuai dengan manfaat yang diberikan.

Kita dapat memaklumi sepenuhnya jika yang berpendapat seperti ini adalah mereka yang berpenghasilan bulanan sekitar Rp 5 juta atau kurang. Namun, tidak sedikit juga mereka yang bergaji belasan juta rupiah berpikiran seperti ini. Bank tidak menyukai kelompok ini, terutama yang mempunyai penghasilan cukup besar tetapi masih belum dapat diyakinkan akan perlunya kartu kredit dalam kehidUpan ini.

Kelompok kedua adalah mereka yang memahami adanya manfaat dari kartu kredit dan pernah memiliki kartu kredit. Tetapi karena kurang dapat mengendalikan diri (self control) saat memegangnya, mereka punya pengalaman buruk saat berhubungan dengan kartunya. Mereka pernah terlilit utang kartu kredit yang menjerumuskan karena tidak mampu menahan nafsu belanjanya.

Sama seperti kelompok pertama, persepsi mereka terhadap kartu kredit juga negatif. Kartu kredit itu bagaikan ranjau yang menjebak, atau bahkan racun yang mematikan. Persepsi seperti ini memang sangat disayangkan. Tetapi terhadap orang yang tidak mempunyai self control, kita tidak mempunyai alternatif terbaik selain menganjurkan berhenti menggunakan kartu kredit, daripada selalu diuber penagih utang kartu kredit.

Kelompok ketiga adalah yang menilai kartu kredit sangat bermanfaat karena mempermudah manajemen kas dan belanja barang yang dibutuhkan. Kartu kredit sangat diperlukan saat kita memesan kamar di hotel berbintang dan tiket pesawat secara online, menjamu rekan bisnis bersantap di restoran berkelas, atau menunggu saat keberangkatan di bandara.

Kelompok ini akan menggunakan kartu kredit untuk menikmati semua kemudahan di atas. Saat tagihan jatuh tempo sekitar 2-6 minggu kemudian, mereka akan melunasi seluruh tagihannya. Inilah kelompok convenience users.

WalaUpun berisiko sangat rendah, kelompok ini bukan yang paling disukai bank. Dari convenience users ini, bank hanya memperoleh iuran tahunan yang tidak seberapa nilainya, bahkan sering gratis, selain merchants fee tentunya. Inilah persepsi yang benar dalam memandang kartu kredit, yakni sebagai alat bayar dan dilakukan mereka yang bijak dalam finansial.

Kelompok keempat adalah yang memandang kartu kredit sebagai peningkatan batas belanja bulanan. Karena menganggap kartu kredit sebagai alat utang, mereka tidak segan untuk membeli tidak saja barang yang dibutuhkan, tetapi juga yang diinginkan. Saat tagihan datang, kelompok ini sebenarnya mempunyai kemampuan melunasinya karena mempunyai akumulasi dana dan kekayaan yang cukup. Tapi mereka tidak melakukannya. Mereka lebih suka mengangsur tagihan minimum yang hanya sebesar 10% itu karena terasa sangat meringankan di mata mereka.

Inilah kelompok berisiko rendah menurut Ausubel dan yang paling disukai bank. Kelompok inilah yang diincar dan diperebutkan bank penerbit kartu kredit. Bank tidak ragu untuk menggratiskan iuran keanggotaan dan memberikan limit kredit hingga puluhan juta rupiah untuk kelompok ini.

Kelompok kelima adalah mereka yang cenderung high profile. Tidak hanya sebagai peningkatan kapasitas belanja, kartu kredit juga dipandang sebagai tambahan kas atau uang tunai di dompetnya. Jika diperlukan, kadang hanya untuk pamer diri, kelompok ini tidak ragu menggunakan kartu kreditnya untuk menarik ATM tunai. Ketika tagihan datang, kelompok ini umumnya masih mampu untuk melunasi angsuran minimum.

Namun, beberapa orang dari kelompok ini besar pasak daripada tiang karena mempunyai begitu banyak keinginan tanpa menyadari kemampuan finansialnya yang terbatas. Mereka tidak mampu membatasi diri saat berbelanja. Akibatnya, tagihan bulanannya terus meningkat, sehingga tagihan minimum sekalipun yang bisa dibayar. Sampai bank mengutus debt collector untuk mengejarnya.

Inilah kelompok pengguna kartu kredit yang berisiko tinggi, yang paling tidak disukai dan sangat dihindari bank. Bukannya mendatangkan keuntungan, bank justru menderita kerugian menghadapi kelompok ini.

Agar tidak terperangkap masuk kelompok kelima dan akhirnya kapok, pastikan Anda tidak menggesek kartu kredit untuk mendapatkan barang dan jasa yang Anda tidak bersedia beli dengan tunai. Akan lebih bijak lagi jika Anda selalu mengajukan empat pertanyaan berikut sebelum menggesek kartu Anda.

Pertama, apakah saya membutuhkan barang itu? Kedua, apakah harus saat ini? Ketiga, apakah harganya mesti setinggi itu? Keempat, apakah saya akan punya uang untuk melunasi belanja saya itu saat tagihan datang beberapa minggu lagi?



TERBARU

×