kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Bearish Market Lagi? Jangan Kali, Ye?

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal


Jumat, 24 Februari 2017 / 22:50 WIB
Bearish Market Lagi? Jangan Kali, Ye?

Reporter: Satrio Utomo | Editor: hendrika.yunaprita

Seminggu lalu, market kita agak aneh. Berita-berita relatif positif. Angka pertumbuhan ekonomi 2016 sesuai ekspektasi. Kinerja BBNI dan BBRI juga lebih bagus dari harapan. Bursa regional bagus, Dow Jones Industrial terus mengukir rekor baru di atas level psikologis 20.000. Dana asing juga mulai mengalir masuk di pasar reguler.

Tapi, IHSG jalan di tempat. Sejak Kamis kemarin, IHSG selalu ditutUp di titik terendah dalam pergerakan harian. IHSG akhirnya ditutUp mendekati titik terendah harian (intraday low) sebagai akibat aksi jual yang muncul ketika sesi penutUpan. Ada apa?

Sebagian pemodal mengkambinghitamkan mekanisme preclosing yang saat ini berlaku di Bursa Efek Indonesia (BEI). Argumen yang dibangun adalah, kejatuhan harga saham ketika sesi penutUpan membuat harga saham menjadi gonjang-ganjing, sangat volatil, penuh risiko. Ujung-ujungnya, BEI sepertinya bakal mengubah aturan penentuan harga penutUpan yang dilakukan pada sesi penutUpan (closing session) yang saat ini diterapkan.

BEI, kabarnya, ke depan akan memberikan sebuah sistem penentuan harga penutUpan yang lebih terbuka, seperti yang terdapat di bursa-bursa lain di kawasan regional. Akan tetapi, apakah hanya karena itu?

Kambing hitam yang paling mudah ditampilkan adalah likuiditas di bursa kelas menengah seperti BEI, minim. Karena likuiditas minim, harga bisa bergerak sangat volatil ketika perdagangan berada dalam ketidakpastian, seperti ketika sesi penutUpan. Pemodal masih bisa memasukkan order, tapi berapa besar order beli dan order jual yang masuk tidak bisa dipantau secara transparan. Pemodal hanya bisa terkaget-kaget menerima harga penutUpan yang merUpakan hasil akhir dari proses tersebut.

Di tengah ketidaktahuan yang terjadi pada sesi penutUpan - tidak tahu besarnya order beli atau order jual yang masuk- pemodal dipaksa menerima hasil akhir. Kalau yang menang yang beli, berarti harga akan bergerak naik tinggi. Kalau yang menang yang jual, harga akan bergerak turun tajam. Apakah proses ini merugikan? Bagi saya yang seorang trader kecil, proses ini malah lebih sering menghasilkan keuntungan.

Jika bisa dapat posisi beli pada harga great sale sore hari, di hari berikutnya, ketika harga kembali normal, saat itu keuntungan bisa diperoleh. Posisi beli yang dilakukan sore hari sebelumnya bisa memberikan profit ketika dijual di pagi hari berikutnya. Besarnya cukUp lumayan, kadang bisa sekitar 1%-2%. Tapi yang sering, biasanya bisa sekitar 3%-8% untuk satu posisi. Ambil contoh posisi yang dimiliki sebesar Rp 100 juta, keuntungan 1%-2% atau 3%-8% cukUp besar!

Tapi, kondisi ini bisa jadi malapetaka bagi fund manager. Penurunan harga saham BBCA 4% ditambah dengan INTP yang turun 5,47% pada closing session Jumat kemarin, bisa berarti kinerja underperform, lebih buruk daripada kinerja reksadana lain yang tidak memiliki BBCA dan INTP. Kalau kinerja lebih buruk, kepercayaan nasabah bisa berkurang, klien menarik dana, dan seterusnya.

Proses preclosing yang ada saat ini, sepertinya bagus untuk trader, jelek untuk fund manager. Haruskah ini diubah?

Market yang sempit dengan likuiditas minim sebenarnya adalah keseharian kita. Dalam market yang sempit ini, pemodal dengan ukuran yang agak lebih besar sedikit dari biasanya sering membuat harga bisa bergerak liar. Pergerakan liar ini sering terjadi ketika pelaku pasar sedang dalam mode bearish, mode berhati-hati.

Ada beberapa hal yang membuat investor berhati-hati. Pertama, kondisi perekonomian memang belum stabil. Pertumbuhan ekonomi memang sudah stabil di atas 5%. Tapi, apakah ke depan masih bisa lebih baik lagi? Kapan ekonomi bisa tumbuh di atas 7% seperti harapan kita ketika memilih Jokowi? Itu semua masih berada dalam tanda tanya sangat besar.

Pemerintah belum bisa menghilangkan kebiasaan membuat kebijakan yang berubah-ubah, dengan komunikasi buruk. Ini membuat pasar berhati-hati dan transaksi menjadi minim.

Kedua, kita harus mengakui kondisi politik yang memanas menjelang Pilkada DKI Jakarta menjadikan orang lebih hati-hati. Harap maklum, Jakarta pusat ekonomi nasional. Lebih dari 50% kegiatan ekonomi Indonesia terpusat di Jakarta. Mulut petahana yang sering kelewat tajam, sampai disebut seorang aktivis liberal sebagai anti keberagaman, sering membuat gesekan yang seharusnya tidak perlu.

Pasar modal sering kelihatan tegang, transaksi berkurang, dan harga cenderung bergerak turun, ketika harus menghadapi aksi-aksi seperti Demo 411, Doa Bersama 212, atau Aksi Damai 112. Menjelang aksi-aksi seperti itu, pasar selalu terlihat bersiap menghadapi benturan yang besar, sehingga harga kemudian turun. Harga kemudian naik setelah tidak terjadi apa-apa pada aksi tersebut.

Pertanyaannya sekarang, haruskah kita hidUp dalam ketegangan seperti ini secara terus menerus? Haruskah kita memperpanjang kondisi pasar modal yang serasa bearish seperti beberapa bulan terakhir? Jangan kali, ye?

Pasar modal, dan juga ekonomi, hanya butuh ketenangan untuk berusaha dan menjalankan bisnis. Semoga semua ketegangan yang terjadi bisa berakhir dengan berakhirnya Pilkada 2017 ini.

Happy trading, semoga barokah!




×