Reporter: Budi Frensidy | Editor: djumyati
Ada dua pengelompokan investor saham di bursa kita. Pertama, investor asing dan investor domestik. Dilihat dari jumlahnya, investor asing sejatinya hanya sekitar 4% dari total investor di BEI. Tapi, dari sisi nilainya, total portofolio investor asing justru lebih besar yaitu 60% berbanding 40%.
Dengan kekuatan pasar sebesar ini, tidak ada yang dapat membantah bahwa peranan penting investor asing dalam menggerakkan harga saham dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI. Banyak investor domestik percaya, naik-turunnya IHSG dipengaruhi aksi investor asing. Jika mereka lebih banyak beli daripada jual atau net buy, IHSG diprediksi naik. Sebaliknya, IHSG akan turun jika investor asing lebih banyak menjual atau terjadi net sell.
Hasil penelitian yang saya lakukan beberapa tahun lalu, dan telah saya presentasikan di Bapepam-LK mendukung pandangan itu. Selain bermodal besar, investor asing di bursa kita juga dipercaya memiliki kemampuan analisis saham yang lebih baik.
Pandangan ini tak sepenuhnya benar karena penelitian Dvorak di BEJ dan telah dipublikasikan dalam Journal of Finance (2005) berkesimpulan sebaliknya. Bahwa investor saham domestik di bursa kita, terutama yang menjadi nasabah perusahaan sekuritas asing memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada investor asing karena lebih unggul dalam informasi.
Pengelompokan kedua, investor saham dibagi menjadi investor institusi dan individu. Per awal tahun ini, jumlah investor institusi hanya 9.300 badan, terdiri 60% asing dan 40% domestik. Berbeda dengan nilai portofolio investor saham individu yang rata-rata hanya ratusan juta rupiah, investor institusi mengelola miliaran hingga triliunan rupiah.
Jika ditotal, dana investor institusi yang tercatat d KSEI ini besarnya hampir 11 kali lipat nilai portofolio investor individu, atau sekitar 92% dari total. Termasuk dalam investor institusi adalah perusahaan asuransi, dana pensiun, manajer investasi reksadana, holding company, dan hedge fund asing.
Selain nilai portofolio, investor institusi dan individu berbeda dalam banyak hal lain. Pertama, alokasi saham untuk investor individu tergantung umur, yaitu semakin muda semakin besar proporsi sahamnya. Sementara, untuk investor institusi, persentase dalam saham didasarkan pada tujuan investasi dan toleransi risiko, dan bukan pada umur institusinya. Semakin besar target yield yang ingin diperoleh, dengan konsekuensi risiko yang tentunya lebih tinggi, semakin besar alokasi untuk saham.
Kedua, semua investor institusi perlu mempertanggungjawabkan pengelolaan dananya, minimal tiga bulan sekali. Investor individu tak memiliki kewajiban ini. Ketiga, adanya pertanggungjawaban ini membuat investor institusi sangat menghindari risiko. Mereka khawatir kinerja portofolionya di bawah target yang ditetapkan akibat volatilitas pasar. Sedangkan di mata investor individu, yang ditakutkan umumnya bukan fluktuasi harga tetapi kerugian alias loss averse.
Keempat, karena mengelola dana publik, dana perusahaan atau dana nasabahnya, investor institusi wajib melakukan diversifikasi dalam puluhan saham likuid dari perusahaan bagus yaitu yang mempunyai nilai kapitalisasi pasar besar. Sebaliknya, investor individu lebih mengejar saham bagus.
Saham bagus ini boleh dari perusahaan bagus atau dari perusahaan jelek dan boleh juga tidak likuid. Karenanya, rekomendasi saham untuk investor institusi dan investor individu dapat berbeda.
Berbeda dengan investor institusi, diversifikasi dan membeli saham-saham likuid dan berkapitalisasi pasar besar untuk investor individu adalah pilihan.
Data KSEI menjelaskan kenyataan ini. Median dan mean jumlah saham yang dipegang investor saham individu dalam catatan KSEI per akhir tahun lalu adalah 2 dan 4,3 saham. Ini berarti lebih dari 50% investor individu hanya memegang 1 dan 2 saham dengan rata-rata sekitar 4 saham dalam portofolionya.
Kelima, untuk investasi jangka panjang dengan nilai investasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu, kita mengenal beberapa istilah return untuk mengukur kinerja. Di antaranya, return tertimbang berdasarkan waktu (return aritmatika) dan return tertimbang berdasarkan uang (IRR).
Penggunaan kedua ukuran return itu, return geometrik untuk evaluasi kinerja investor institusi. Sementara IRR untuk evaluasi kinerja investor individu. Ini karena investor institusi sering tak mempunyai kendali atas jumlah dana yang harus diinvestasikannya seperti investor individu.
Keenam, behavioral finance mencatat investor individu percaya pada momentum bahwa saham berkinerja bagus akan mampu melanjutkan prestasinya. Sementara investor institusi berpandangan sebaliknya atau mengalami gamblers’ fallacy bahwa saham yang telah naik tinggi akan turun dan saham yang sangat tertekan akan berbalik arah.
Ada dua pelajaran dari pemahaman pengelompokan investor saham. Pertama, investor individu lebih fleksibel dibandingkan investor institusi. Kedua, yang mengendalikan harga saham dan IHSG di BEI ternyata adalah institusi asing dengan dana triliun rupiah.