kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Work Life Balance

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 05 Juni 2017 / 18:09 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Robert Reich, menteri tenaga kerja Amerika di era Presiden Bill Clinton, menulis sebuah buku yang sangat menarik. Judulnya, Supercapitalism: The Transformation of Business, Democracy and Everyday Life (2007). Reich menulis buku tersebut seiring dengan kemunculan gejala superkapitalisme, yakni tatkala praksis kapitalisme begitu berjaya, sementara kondisi demokrasi justru melemah.

Pengejaran keuntungan (profit) yang begitu masif dan obsesif, telah membuat para investor memetik banyak imbal hasil, namun sebaliknya warga negara biasa tampak tertinggal di belakang. Distribusi kekayaan menjadi tak merata, dengan resiko ketimpangan yang semakin menganga pula.

Dalam konteks pasar tenagakerja, Reich menyebutkan bahwa hanya ada dua jalur yang bisa ditempuh oleh seorang pekerja, yakni jalur cepat dan jalur lambat. Dan, satu-satunya jalur yang mampu mengantar seseorang ke jenjang jabatan yang lebih tinggi adalah jalur cepat. Ini berarti penempuh jalur tersebut harus bekerja keras sepanjang hari, termasuk rela mengorbankan waktu bagi keluarga dan diri sendiri.

Tak heran, dalam era yang superkapitalistik tersebut, seorang pekerja dapat mengalami gejala toxic workaholic. Istilah ini dipergunakan oleh seorang executive-coach, Debra Condren, untuk menjelaskan kondisi seseorang yang bekerja gila-gilaan sepanjang hari, siang dan malam.

Ada empat tanda yang dapat dikenali dari orang yang terjangkit sindroma toxic workaholic ini, yakni (1) selalu bertengkar dengan pasangan untuk perkara waktu bagi keluarga, (2) anak-anak berhenti mengundangnya menghadiri pesta ulang tahun mereka, (3) karyawan-karyawannya tidak menggubris pekerjaan mereka lagi, karena tuntutan sang atasan tak tertahankan, dan (4) dia tetap bekerja walaupun sedang sakit. Kalau sudah demikian, hilang sudah kebajikan tradisional yang mengingatkan kita untuk memiliki keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Kita mengenalnya dengan istilah work-life balance.

Ahli psikologi Fisher, Smith dan Bulger, dalam studinya bertajuk Beyond Work and Family: A Measure of Work/Non-Work Interference and Enhancement (dalam Journal of Occupational Health Psychology, 2009) menyimpulkan bahwa dalam kesehariannya, kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi saling berinteraksi. Interaksi tersebut bisa menghasilkan manfaat positif, berupa penguatan, yang disebutnya sebagai enhancement. Hal ini terlihat seandainya kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi saling mendatangkan kegembiraan dan kekuatan. Pagi hari berangkat ke kantor dengan penuh gairah, sama halnya pula, sore hari menyongsong aktivitas keluarga dengan penuh sukacita.

Interaksi positif

Sebaliknya, interaksi tersebut juga bisa menciptakan dampak negatif, berupa gangguan, yang disebutnya sebagai interference. Kondisi ini muncul apabila kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi saling menciptakan kemurungan dan kelesuan. Saat mentari terbit, menuju tempat kerja dengan rasa berat hati, dan menjelang senja pulang ke rumah dengan langkah yang tak pasti.

Tak perlu diulas panjang lebar, semua orang pasti berharap adanya interaksi yang positif antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadi, dan ingin menghindari interaksi yang negatif di antara keduanya. Dan, semua itu hanya bisa terjadi di atas landasan keseimbangan antara kedua kehidupan tersebut.

Persoalannya, dalam era superkapitalisme, ternyata itu bukanlah kehendak yang mudah. Ketakutan atas karier yang terhambat, penilaian atasan yang tak baik, hingga juga persepsi lingkungan kerja yang tak menyenangkan, membuat kehidupan pekerjaan jauh lebih dominan. Bahkan, seringkali dengan mengorbankan kehidupan pribadi.

Namun, seperti pepatah bijak, kehendak sulit bukan berarti tak bisa diwujudkan, sama halnya juga keputusan yang sukar tak berarti boleh diabaikan. Sesulit-sulitnya mengambil keputusan, toh harus dilakukan juga. Keterlambatan mengambil keputusan akan mendatangkan risiko yang jauh lebih besar lagi.

Saya teringat dengan tulisan lawas yang mengangkat kisah pengakuan seorang petinggi perusahaan (Confessions of a CEO), yang dimuat dalam majalah Fortune, November 2007. Dominic Orr, pucuk pimpinan Alteon WebSytems, perusahaan data-networking di Silicon Valley, dengan berat hati memutuskan mengundurkan diri dari perusahaannya, dan kemudian mengabdikan diri untuk mencari hikari.

Dalam bahasa Jepang, hikari berarti terang atau pencerahan. Kata itu bergema di dalam lubuk hati Orr yang paling dalam, dan dirasakannya sebagai sesuatu yang hilang dalam dirinya selama ini. Terlalu keras dan cepat memacu diri dalam dunia korporasi, membuatnya meraih posisi dan gengsi jabatan yang tinggi. Namun, dengan risiko yang tak tertanggungkan, yakni kehilangan hikari alias hidup yang tercerahkan

Sedari dulu, filsafat timur sudah mengajarkan kita untuk hidup seimbang. Hanya di atas keseimbangan, seseorang dapat bertahan dan berjalan mantap. Ibarat membawa kendaraan, tak mungkin kita memacu pedal gas terus-menerus, apalagi habis-habisan. Sudah menjadi hukum alam, suatu saat kita harus menurunkan kecepatan, bahkan menginjak pedal rem. Kecuali, kita memang memilih untuk menabrakkan diri.



TERBARU

×