kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Membangun Resiliensi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Jumat, 16 Juni 2017 / 22:14 WIB
Membangun Resiliensi

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Siapa tak kenal Sheryl Sandberg, COO perusahaan besar Facebook dan penulis buku best-seller Lean-in: Women, Work and the Will to Lead (2013). Kehebatan dan kebahagiaan Sandberg tampak begitu lengkap dengan kehadiran keluarga yang luar biasa. Hingga, pada musim semi 2015, suaminya yang juga seorang pemimpin perusahaan survei ternama SurveyMonkey, Dave Goldberg, meninggal dunia akibat serangan jantung, pada saat pasangan tersebut menjalani liburan di Meksiko.

Dalam sekejap, selubung hidup Sandberg tampak begitu kelabu, dan mendadak sontak menyandang status baru. Ia tak hanya sekadar pemimpin perusahaan ternama, penulis buku yang hebat, pemilik keluarga yang cemerlang, namun juga seorang janda yang berduka.

Hari-hari menjadi begitu panjang bagi Sandberg, tatkala menjalani masa-masa awal tanpa kehadiran sang suami. Dengan bakat menulisnya, ia mengungkapkan pengalaman duka dan perasaan kesendirian dalam sebuah essai yang panjang di laman Facebook miliknya. Awalnya ia ragu untuk mem-posting tulisan tersebut. Namun dengan keyakinan bahwa tulisannya bukanlah suatu posting yang berpotensi membahayakan dan merugikan orang-orang tertentu, ia pun memberanikan diri untuk menekan tombol post. Seketika juga, tulisannya menyebar ke seluruh penjuru dunia, dan menjadi bahan perbincangan netizen seluruh dunia.

Maklumlah, sebagai COO, akun Facebook Sandberg memiliki hampir 2 juta pengikut. Tulisannya tak hanya mengundang simpati terhadap apa yang dialaminya, namun juga menjadi diskusi tentang bagaimana seseorang berhasil mengatasi dan melewati tragedi kehidupan yang dialaminya. Bahasa kerennya, bagaimana seseorang membangun resiliensi atawa daya tahan terhadap kesulitan dan penderitaan hidup.

Dalam wawancaranya bersama Adi Ignatius, pemimpin redaksi Harvard Business Review, bertajuk Above All, Acknowledge the Pain (HBR, May-June 2017), Sandberg menjelaskan bahwa resiliensi bukanlah kemampuan yang sudah ditakarkan kepada setiap orang dari sononya. Sebaliknya, resiliensi sangat bisa dilatih, dibangun dan dikembangkan. Bukan hanya dalam diri seseorang, namun juga organisasi, dan bahkan komunitas. Setiap makhluk atawa organisme mempunyai peluang untuk membangun resiliensinya sendiri-sendiri.

Dengan mengombinasikan pengalaman diri sendiri dan hasil studi dari profesor Adam Grant, seorang ahli psikologi dari Wharton School, University of Pennsylvania, Sandberg bahkan berhasil mempublikasikan buku barunya bertajuk Option B: Facing Adversity, Building Resilience and Finding Joy (2017).

Pengakuan diri

Dalam buku tersebut, Sandberg dan Grant memberikan pencerahan kepada pembaca bagaimana membantu seseorang melewati krisis hidup, membangun rasa welas-asih kepada diri sendiri, mengembangkan anak-anak menjadi pribadi yang kuat, dan juga menciptakan keluarga, komunitas dan juga perusahaan yang berdaya tahan.

Bagi Sandberg, pengalaman kedukaan adalah pengalaman yang sangat personal. Setiap orang bisa saja melewati jalan yang berbeda, juga dengan kurun waktu yang berlainan pula. Ada yang murung di kamar begitu lama, karena dibayangi oleh kekhawatiran yang akan menimpa dirinya di masa mendatang. Namun, ada pula yang tak butuh waktu lama untuk mengurung diri di rumah.

Dalam buku tersebut, bahkan dikisahkan ada seorang ibu yang segera bekerja kembali di kantor, sehari setelah suaminya meninggal. Alih-alih mendapatkan dukungan dan simpati, sang ibu justru merasa diadili oleh teman-teman sekantornya.

Mereka merasa sang ibu sepertinya tak bersedih hati dengan kematian sang suami. Padahal, yang terjadi adalah, ia merasa tak sanggup menahan kenelangsaan di rumahnya sendiri, dan oleh karenanya butuh sebuah tempat untuk melarikan diri. Semua orang perlu memahami bahwa pengalaman kedukaan begitu bersifat pribadi, dan menaruh rasa hormat terhadap perasaan masing-masing orang tersebut.

Namun, di balik semua proses pemulihan rasa duka dan pengembangan resiliensi di dalam diri seseorang, yang pertama-tama harus dilakukan adalah memberanikan diri untuk mengakui.

Mengakui bahwa pengalaman duka derita itu memang benar adanya, memang sungguh-sungguh terjadi, dan bagian dari perjalanan hidup yang nyata. Rasa sakit yang muncul dari proses pengakuan, akan menjadi modal awal untuk membangun kesadaran bahwa kita perlu bangkit untuk bertahan hidup. Bahkan, bukan hanya bertahan, namun juga menemukan kekuatan dan kegembiraan di dalamnya.

Guru saya pernah mengingatkan, dalam segala perkara hidup, kita musti expect for the best, plan for the worst, and dont be easily surprised.

Hidup ini seperti roda yang berputar, ada saatnya bersuka-ria, juga waktunya berduka-cita. Dan, bila yang terakhir terjadi, tetaplah berjalan. Sekalipun, pada awalnya mungkin tak mudah.



TERBARU

×