kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Masa depan pekerjaan

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Kamis, 03 Agustus 2017 / 15:46 WIB
Masa depan pekerjaan

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Beberapa tahun terakhir, muncul diskursus yang ramai diperbincangkan di kalangan organisasi dan bisnis. Orang mulai mempertanyakan “masa depan pekerjaan” alias the future of work.

Konsep dan definisi kata “kerja” sendiri mulai dipertanyakan, bahkan digugat. Misalnya, apakah kerja adalah sebuah aktivitas yang harus dilakukan di kantor, pabrik atau lokasi yang umumnya disebut sebagai tempat kerja? Bagaimana kalau aktivitas itu dilakukan di rumah, warung kopi atau tempat tetirah?

Demikian pula, apakah bekerja harus diatur dalam kurun waktu tertentu, yang lazim disebut sebagai “waktu kerja”. Katakanlah, itu jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Bagaimana dengan aktivitas yang dilakukan di luar waktu tersebut? Apakah tetap sahih disebut sebagai “bekerja”?

Sama halnya, apakah kata “rapat” melulu berarti hadir secara fisik, duduk, dan bicara di salah satu ruang kantor? Bagaimana dengan kegiatan diskusi bersama via conference call yang dilakukan di lokasi masing-masing? Apakah masih bisa dikatakan rapat juga?

Perkembangan teknologi telah mengubah banyak hal. Urusan yang dulu harus dikerjakan oleh tangan manusia, sekarang sudah bisa digantikan oleh teknologi robot.

Proses berpikir, yang dulu katanya hanya bisa dilakukan oleh otak manusia, kini juga sudah bisa dikerjakan oleh teknologi bernama artificial intelligence.

Ruang fisik yang dulu menjadi tempat orang berinteraksi dan bekerja bersama-sama, saat ini juga bisa dialihkan ke ruang virtual yang bertebaran di layar komputer ataupun gawai pribadi masing-masing orang.

Perubahan ini membawa dampak yang luar biasa terhadap keseluruhan lanskap bisnis. Dahulu, bisnis dijalankan secara tradisional dan bersifat off-line dengan menggunakan fasilitas fisik yang tersedia, seperti pabrik, toko, gudang, konter, ruangan, dan sebagainya, yang dikenal juga sebagai model bisnis brick and mortar.

Saat ini, orang bisa membuka lapak secara virtual lewat situs-situs komersial yang bertebaran di layar digital, dan proses transaksinya dijalankan secara online.

Model bisnis yang juga disebut sebagai brick and click ini, telah melahirkan perusahaan-perusahaan jawara sekelas Amazon, Alibaba, ataupun Ebay.

Perubahan lanskap bisnis, tak pelak, membuat banyak perusahaan harus menyesuaikan strategi usahanya. Jika tidak, mereka harus siap-siap terlempar dari gelanggang persaingan.

Namun, seperti dikatakan oleh Jeffrey Joerres, mantan CEO Manpower Group, perusahaan raksasa penyedia jasa konsultasi dan alih-daya SDM di Amerika, banyak perusahaan yang memikirkan perubahan strategi bisnis (business strategy), namun tak cakap merumuskan strategi pekerja (workforce strategy). Akibatnya, perusahaan gagap menjalankan operasi bisnisnya secara optimal.


 

Perubahan budaya

Sehebat-hebatnya model dan strategi bisnis, aset fisik dan uang, serta sistem dan prosedur sebuah perusahaan, toh pada akhirnya orang atawa pekerja lah yang sanggup menggerakkan roda organisasi melewati lintasan persaingan bisnis.

Lebih jauh, Joerres juga mengatakan banyak “kemapanan” sistemik yang membuat organisasi tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang berjalan secara disruptif.

Suka tidak suka, hingga saat ini, masih banyak regulasi dan aturan main “ketenagakerjaan” yang dirumuskan pada pertengahan abad lalu, yang masih diwarnai era industrial.

Pada saat itu, dunia ketenagakerjaan dipenuhi oleh karyawan-karyawan yang fokus bekerja di lokasi tertentu (semisal pabrik dan kantor) dengan alokasi waktu tertentu pula.

Tidaklah mengherankan, bila banyak sistem ketenagakerjaan yang terlihat “gagap” merespons kenyataan pekerjaan di era baru, yang ditandai juga sebagai era digital; era di mana batasan tentang lokasi kerja, waktu kerja, dan juga cara kerja menjadi begitu fleksibel dan cair, yang memungkinkan individu-individu bekerja dengan derajat kebebasan yang jauh lebih tinggi daripada pendahulunya di zaman industrial.

Di aras organisasi, Joerres juga melihat bahwa banyak perusahaan (utamanya yang berskala besar) yang terjebak kepada sejarah masa lalunya sendiri.

Sesungguhnya mereka berusaha keras untuk bergerak lincah mengarungi pergeseran zaman tersebut, seperti terpantul dari visi dan strategi besar bisnisnya.

Persoalannya, budaya perusahaan dan gaya kepemimpinan yang sudah tertanam kuat selama ini, membuat mereka begitu lamban dan takut untuk bergerak.

Budaya yang terbiasa mengutamakan harmoni dan stabilitas, cenderung tak nyaman dengan tuntutan inovasi dan kreativitas.

Sama halnya, atasan yang terlatih berperan dengan prinsip command and control (perintah dan kendalikan), juga merasa terancam dengan tuntutan inspire and empower (inspirasi dan berdayakan).

Bagaimanapun, jarum jam terus bergerak, dan tak akan bisa diputar balik. Masa depan mempunyai kisah dan jalannya sendiri. Terpaut dengan masa lalu, sama saja dengan membunuh diri sendiri.



TERBARU

×