kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Indahnya Perbedaan

oleh Budi Frensidy - Pengamat Pasar Keuangan dan Staf Pengajar FEB-UI


Senin, 07 Agustus 2017 / 18:25 WIB
Indahnya Perbedaan

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Dalam salah satu artikel di kolom ini saya pernah menuliskan bahwa investasi itu sejatinya adalah membandingkan nilai dan harga. Tidak berbeda dengan investasi, ketika ingin membeli barang dan jasa, kita juga menimbang antara nilai dan harga. Kita bersedia membeli sesuatu jika nilainya lebih besar daripada harganya atau mempunyai value for money yang tinggi, dan menghindari barang yang nilainya di bawah harganya.

Menariknya, nilai suatu barang dan jasa untuk seseorang adalah relatif, tergantung daya beli, hobi dan gaya hidup. Makan di restoran mewah atau di hotel bintang lima yang tiap hidangannya berharga ratusan ribu rupiah bernilai sesuai untuk sebagian orang, tetapi tidak untuk saya. Namun, pengeluaran untuk pendidikan anak di sekolah internasional dan bepergian ke luar negeri bersama keluarga memberikan nilai yang memadai untuk uang saya, walaupun biayanya tidak sedikit. Tetapi, saya tidak mendapatkan value for money yang sesuai dari tiket pesawat kelas eksekutif atau sebuah mobil mewah.

Di sisi lain, harga yang ditetapkan perusahaan atau penjual tidak selalu mencerminkan nilai atau biaya produksinya. Untuk barang-barang generik dengan banyak produk substitusi, sangat mungkin harga ditetapkan berdasarkan biaya produksi plus 20%-30% marjin keuntungan. Untuk produk-produk ini, perusahaan yang efisien dan bisa menekan biaya produksi yang akan mempunyai keunggulan.

Namun, ada sekelompok barang dan jasa yang harganya ditetapkan mengikuti demand. Produk yang masuk kelompok ini adalah produk yang memiliki diferensiasi dengan sedikit atau bahkan tidak ada substitusinya. Contoh, biaya sekolah internasional bermutu di Jakarta yang ratusan juta rupiah per tahun dan harus dibayar di muka serta ongkos jalan tol.

Jika di luar negeri biaya tol tidak pernah naik atau malah diturunkan, di sini ongkos tol justru dinaikkan. Ini karena pengelola tol bersama pemerintah menghitung harga atas dasar demand. Untuk menarik investor baru dan karena tingginya permintaan, biaya tol naik setiap dua tahun mengikuti inflasi.

Di ekstrem lain, ada juga produk yang harganya beberapa kali lipat biaya produksinya. Produk teknologi tinggi dan obat baru yang belum ada saingannya masuk kategori ini.

Contoh lain adalah produk branded. Jika Anda membeli tas Louis Vuitton, jam tangan Rolex atau mobil Jaguar, harga yang Anda bayarkan sebagian besar untuk membeli gengsi. Produk ini sengaja dihargai tinggi di atas biaya produksi agar hanya terjangkau segelintir konsumen saja. Jika dihargai rendah, produk premium ini akan kehilangan daya tarik di kalangan atas. Sementara kelas menengah dan bawah sejak awal merasa tidak mampu memilikinya.

Jika ekonomi Anda belum masuk kelompok atas, mestinya Anda setuju dengan pendapat saya soal nilai produk super mahal. Tapi kita harus berterima kasih kepada kelompok atas yang bersedia membeli produk-produk itu. Karena merekalah, mal-mal kelas atas dapat tetap berdiri. Tanpa adanya orang-orang kaya, mal-mal mewah sangat mungkin harus degradasi.

Perekonomian memerlukan orang-orang kaya yang royal dalam membelanjakan uang untuk meningkatkan perputaran uang dan menciptakan banyak pekerjaan baru. Jika masyarakat yang mampu jarang makan di luar, jarang rekreasi dan hanya sesekali berbelanja di mal, ekonomi akan mengalir lambat.

Itulah indahnya ilmu ekonomi. Yang tidak kalah indahnya adalah perbedaan dalam kehidupan ini. Yang kaya harus berterima kasih kepada yang miskin dan yang bernasib kurang beruntung. Karena sangat banyak orang berpenghasilan rendah, mereka yang berpenghasilan dua puluhan juta rupiah per bulan di sini dapat julukan kaya dan mampu mempekerjakan asisten rumah tangga (ART) dan sopir. Bayangkan apa yang terjadi jika hampir semua orang di negeri ini kaya seperti di negara maju. Sangat mungkin gaji ART pun naik hingga lima juta rupiah per bulan.

Senada dengan ini, orang yang pintar dan berpendidikan tidak boleh sombong kepada yang bodoh atau kurang berpendidikan. Karena banyak yang kurang pintar, mereka disebut pandai atau berpendidikan, sehingga layak memperoleh posisi terhormat di perusahaan dengan gaji besar.

Demikian juga dengan mereka yang dikaruniai wajah yang tampan dan cantik. Mereka mesti menghargai orang yang parasnya kurang menarik atau biasa-biasa saja. Karena kebanyakan dari kita berwajah pas-pasan, mereka dapat disebut ganteng dan cakep.

Jadi yang mayoritas sebaiknya tidak memandang rendah minoritas. Karena ada minoritas, kelompok mayoritas mempunyai kepercayaan diri dan bargaining power lebih besar.

Terakhir, dalam hubungannya dengan investasi saham, investor fundamentalis yang jumlahnya sekitar 20% dan umumnya pasif perlu berterima kasih kepada investor teknikalis. Tanpa dominasi para teknikalis yang umumnya trader dan spekulan, transaksi saham tidak akan seramai sekarang dan volume perdagangan harian sulit tembus Rp 7 triliun. Tanpa mereka, volatilitas saham juga tidak akan sebesar saat ini.

Yang paling penting, tidak akan tercipta banyak pekerjaan baru dengan gaji memuaskan dan peluang besar di pasar saham tanpa kehadiran trader, spekulan, dan arbitrager. Jika investor saham buy and hold, bursa akan sepi sehingga harga dan indeks saham bergerak datar dan stabil. Kesimpulannya, hidup ini sangat indah karena banyaknya perbedaan di antara kita. Tanpa adanya perbedaan, tidak ada yang dapat menyebut dirinya kaya, pandai, cantik dan mayoritas.

Terakhir masih dalam suasana Lebaran, perkenankan saya mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1438 H kepada semua pembaca setia kolom ini. Mohon maaf lahir dan batin.



TERBARU

×