kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Menembus Batas

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 07 Agustus 2017 / 18:37 WIB
Menembus Batas

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: hendrika.yunaprita

Ada sebuah eksperimen yang dilakukan terhadap hewan kecil, yakni kutu anjing. Secara alamiah, konon, binatang kecil ini memiliki kemampuan melompat yang cukup dahsyat, yaitu 300 kali tinggi tubuhnya. Namun, apa yang terjadi bila hewan tersebut dimasukkan ke dalam kotak korek api kosong, lalu dibiarkan di sana selama 1 minggu? Ternyata, setelah dikeluarkan, selanjutnya ia hanya sanggup melompat setinggi kotak korek api, yaitu tak lebih dari 1,5 sentimeter (cm). Kemampuan alamiah untuk melompat setinggi 300 kali tinggi tubuhnya seketika lenyap, nyaris tak berbekas.

Tatkala kutu itu dikeluarkan dari kotak korek api, dia sudah membawa pengertian diri yang baru, yang meyakini batas maksimal lompatannya adalah setinggi 1,5 cm. Dia terus merasa bahwa batas kemampuan lompatnya hanyalah setinggi kotak korek api, dan hidup dengan batasan itu hingga akhir hayatnya. Kemampuan naluriahnya tak tampak lagi, karena pikirannya telah dibatasi oleh lingkungan yang bernama kotak korek api.

Acapkali, pengalaman yang diberikan oleh lingkungan menciptakan kotak korek api di dalam pikiran kita. Pola asuh yang otoriter dari orangtua bisa menciptakan pengertian pada pikiran anak bahwa dirinya adalah pribadi yang tak berdaya, tak punya otoritas diri, dan sekadar menerima kenyataan apa adanya.

Sama halnya, gaya kepemimpinan yang sangat direktif dari atasan, dapat membuat karyawan memahami dirinya sebagai sosok yang tak kreatif, memiliki intelegensi terbatas dan cukup disuapi saja. Demikian pula, teman kerja yang serba medioker bisa membuat seseorang menjadi pribadi yang merasa tak pantas untuk bercita-cita tinggi, sekaligus tak kuat untuk berjuang keras. Ringkas kata, lingkungan yang tak disikapi secara kritis, bisa sangat menentukan perkembangan seseorang. Tidaklah mengherankan, jika ada pepatah tua yang mengatakan, masuk ke gudang arang, hitam jadinya; masuk ke gudang tepung, putih akibatnya.

Alkisah, ada cerita tentang seekor katak kecil. Suatu saat, digelar lomba lari untuk segerombolan katak kecil. Sasarannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang menjulang tinggi. Para penonton berkumpul mengitari menara untuk menyaksikan perlombaan, tentunya sambil menyoraki para peserta. Ternyata, tak satu pun penonton yang percaya bahwa katak-katak kecil tersebut mampu mencapai puncak menara. Ada yang berkomentar, jalannya terlalu sulit, pasti tak akan bisa sampai ke puncak!. Penonton yang lain berteriak, Sudahlah!! Kalian pasti tumbang di tengah jalan karena kecapaian!

Dan..., betul adanya. Satu per satu, katak kecil itu pun berjatuhan, menyerah lelah, dan mengundurkan diri dari arena laga. Hingga akhirnya, tersisa satu katak kecil yang tetap melanjutkan perlombaan, pantang menyerah, terus berjuang hingga akhirnya bisa meraih puncak menara. Melihat peristiwa itu, semua penonton bertanya heran bagaimana sang katak kecil tersebut bisa mempertahankan kekuatannya untuk mencapai tujuan? Selidik punya selidik, katak kecil yang menjadi pemenang itu ternyata tuli.

Ekspektasi dan perilaku

Sosiolog Robert K. Merton (dalam buku klasiknya Social Theory and Social Structure) memperkenalkan konsepsi self-fulfilling prophecy yang menjelaskan hubungan yang tidak disadari antara ramalan/ ekspektasi dan perilaku manusia. Sebuah ramalan (yang dipercayai) dan ekspektasi lingkungan (yang diamini) tanpa disadari akan mempengaruhi perilaku seseorang. Pada akhirnya, ramalan/ ekspektasi itu akan menuntun dia untuk melihat apa yang yang dipercayainya.

Bahasa kerennya, you will get what you expect. Syukurlah seandainya ekspektasi itu positif dan baik adanya, tapi bagaimana kalau ekspektasi itu justru suram belaka seperti yang dialami oleh kutu anjing dan para katak kecil?

Helen Keller, seorang penulis dan aktivis Amerika kelahiran Alabama, tumbuh besar sebagai orang yang buta sekaligus tuli. Mata dan telinga, yang merupakan indera utama manusia untuk menjalani proses pembelajaran dan menempuh pendidikan, tak berfungsi baik dalam diri seorang Helen Keller. Rasanya, lingkungan sekitar Helen pun maklum jika ia tak bisa meraih jenjang pendidikan yang tinggi.

Namun, fakta menunjukkan bahwa Helen berhasil menembus batas kotak korek api yang mengitarinya, dan berhasil menjadi orang tuna rungu sekaligus tuna netra pertama yang lulus dari universitas. Tak tanggung-tanggung, ia lulus dari Radcliffe College, yang saat itu merupakan afiliasi Universitas Harvard khusus untuk siswa wanita. Bahkan, dengan predikat magna cum laude pula.

Helen Keller memberikan contoh bahwa kita perlu kritis terhadap persepsi dan pengkondisian lingkungan, sekaligus juga berani menembus batas untuk menemukan puncak kekuatan kita yang sesungguhnya.



TERBARU

×