Reporter: Karim Raslan | Editor: cipta
PERHATIKAN baik-baik dan jangan salah: 2013 akan memperkuat gagasan bahwa bisnis dan ekonomi adalah dua hal yang tak terpisahkan dari politik.
Lihatlah bagaimana Amerika Serikat (AS) menghadapi tebing fiskal di akhir tahun. Kesepakatan yang diambil Senat AS untuk mencegah kenaikan pajak otomatis dan pemotongan belanja tidak memuaskan Partai Demokrat maupun Partai Republik.
AS juga dianggap gagal mengatasi masalah struktural perekonomian jangka panjang, termasuk masalah utang. Kebuntuan dalam mencapai kesepakatan antara kiri dam kanan di Amerika mengancam upaya pemulihan ekonomi negara itu.
Anda mungkin juga berpandangan bahwa hal yang sama bisa terjadi pada Indonesia ke depan. Tantangan utama ekonomi yang paling jelas yang dihadapi oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah apa yang harus dilakukan selama rezim subsidi yang sedang berjalan di Indonesia, khususnya untuk bahan bakar. Dana yang harus disediakan pemerintah untuk mempertahankan BBM murah semakin meningkat dan negara tak mampu lagi menanggungnya.
Pemerintah Indonesia harus mengalokasikan Rp 193.8 triliun untuk kuota subsidi BBM 46 juta kiloliter dari rancangan APBN 2013 yaitu Rp 1.683 triliun. Kuota BBM bersubsidi untuk 2012 adalah 44 juta kiloliter. Tetapi, pada kenyataannya, pemakaian melebihi kuota. Situasi tersebut memaksa pemerintah untuk menambah subsidi sebanyak 1,23 juta kiloliter.
Subsidi BBM di Indonesia pada kenyataannya merupakan batu sandungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dana yang dihabiskan untuk subsidi BBM sesungguhnya dapat dialihkan ke sektor lain, misalnya pendidikan atau bahkan perbaikan infrastruktur. Jika ini diakukan bisa dikatakan pemerintah menawarkan "return" yang lebih baik untuk kegiatan ekonomi dan human capital daripada memberikan subsidi BBM.
Kedua, sebagaimana diperingatkan oleh Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, pada 15 Desember 2012, bahwa harga BBM yang terus merangkak naik dan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dollar AS pada akhirnya menghasilkan pengeluaran yang lebih tinggi untuk subsidi BBM. Pada saat yang sama, kebutuhan memenuhi permintaan BBM domestik telah merampas kesempatan Indonesia untuk bermain di sektor ekspor, yang berarti sektor minyak dan gas Indonesia tak dapat berbuat banyak membantu kondisi rupiah.
Belum lagi masalah di sektor minyak dan gas yang telah terpukul oleh ketidakpastian peraturan, termasukpembubaran BP Migas November lalu. Rezim subsidi juga membuat sektor hilir di Indonesia kurang menarik bagi investor asing, dan bukan sebuah kebetulan bahwa produksi minyak tahun 2012 sebanyak 860.000 barel per hari (bph) lebih rendah dari target awal 930.000 bph.
Ketiga, proliferasi bahan bakar murah ini membuat kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia mencapai level yang mengerikan. Ini merupakan masalah utama yang menimpa ibu kota Jakarta, dengan kondisi lalu lintas yang mengharuskan pengendara menghabiskan waktu 3 jam yang normalnya hanya 1 jam untuk mencapai tempat tujuan.
Pada kenyataannya, masalah yang semakin memburuk ini membuat pemerintah DKI Jakarta mengambil langkah-langkah drastis. Contohnya, keputusan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk menghidupkan kembali proyek monorel yang sempat terhenti dan juga mengambil keputusan yang tidak biasa yaitu pembatasan pelat nomor kendaraan yang berada di jalanan mulai tahun depan.
Memang benar, perlu waktu lama untuk mengurai kemacetan yang terkenal di Jakarta. Tetapi, itu menjadi pertanda bahwa langkah-langkah kecil kepemimpinan telah diambil di Jakarta.
Apakah saya menyebut bahwa politik itu penting? Hambatan utama dari penyelesaian masalah-masalah ekonomi di Indonesia adalah kurangnya kemauan politik. Seperti yang kita tahu, Pemerintahan SBY telah berusaha menaikkan harga BBM pada 2012, tapi itu terhalang oleh protes dari berbagai lapisan masyarakat dengan melakukan demo di jalanan. Protes juga dilakukan di level politik, yaitu dari partai oposisi dan juga termasuk dari dalam partai koalisi pemerintah.
Bukan bermaksud untuk mengkritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tapi hal tersebut menempatkan dirinya pada posisi yang kurang baik jika dibandingkan dengan rekannya Presiden AS, Barack Obama. Kesepakatan mengenai jurang fiskal mungkin dianggap sebagai keputusan bijaksana yang bersifat sementara, tapi keteguhan Obama membuat pemilih lebih cenderung menyalahkan oposisi (Partai Republik) untuk setiap dampak negatif.
Pemerintah Indonesia harus lebih berani. Tahun 2013 bukan hanya menandakan mulainya pertempuran untuk membentuk pemerintahan selanjutnya, tetapi juga tanda untuk meningkatkan pengawasan atas semua aspek perekonomian, termasuk rezim subsidi yang merajalela.
Harusnya SBY bisa menciptakan perasaan atas kepentingan bersama ini, sehingga ia akan dapat beristirahat dan warisan masa jabatannya akan terjamin. Gagal atau tidak, reputasi SBY dalam sejarah dan masa depan republik ini akan sangat jelas dan cerah.