kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Rasa syukur

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 11 September 2017 / 16:08 WIB
Rasa syukur

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

“Pikiran itu memang jahat ya?!!” tanya seorang teman yang sedang hidup dalam kegelisahan dan kejengkelan yang luar biasa.

Ia merasa isi pikirannya yang jumud dan dipenuhi “negativitas” telah membuat hidupnya tak sehat, bukan hanya secara jasmani, namun juga rohani.

Perawakannya menjadi kurus, mukanya tirus, layaknya badan yang tak terurus. Rona muka dan isi ceritanya dipenuhi nuansa ketidakbahagiaan. Itulah sebabnya, kalimat: pikiran itu memang jahat terlontar berkali-kali dari mulutnya yang tampak kelu.

Benarkah pikiran itu memang jahat adanya? John Milton, dalam buku klasiknya yang ternama Paradise Lost menyebutkan bahwa the mind is its own place, and in itself... can make a heaven out of hell or a hell out of heaven.

Pikiran manusia tak bersifat jahat, juga tak bersifat baik pula. Pikiran manusia memiliki dunianya sendiri dan kondisi di dalamnya bisa membuat neraka terasa surga, juga sebaliknya surga terasa neraka.

Bila pikiran kita dipenuhi dengan kecemasan dan amarah, makanan senikmat apa pun akan terasa pahit di lidah. Sama halnya, jika pikiran dipenuhi kegembiraan dan rasa syukur, rumah ukuran sepetak pun seolah istana raja.

Yang jelas, banyak studi yang sudah menunjukkan bahwa urusan kebahagiaan hati tak ada hubungannya dengan kekayaan materi dan tumpukan kekuasaan.

Guru Cheng Yen, rahib Buddha pendiri komunitas kemanusiaan Tsu Chi, dalam buku Still Thoughts (2009), mengatakan bahwa semua kelompok mempunyai masalah.

Mereka yang kaya dan berkuasa takut kehilangan apa yang mereka punyai, sementara mereka yang miskin dan lemah pusing setengah mati, memikirkan cara memperoleh apa yang mereka tak punyai.

Banyak pejabat tinggi dan konglomerat kaya raya yang hidupnya penuh was-was dan tak bisa tidur nyenyak.

Sementara itu, tak sedikit pula orang kecil bersahaja yang selalu ceria dan penuh suka cita, seperti cerita berikut yang saya dapatkan dari seorang rekan.


 

Belajar positif
Suatu pagi, sang teman memasuki mobil sedan miliknya, sembari bertanya kepada supir pribadinya. “Bagaimana kira-kira cuaca pada hari ini?” Dengan ceria, sang supir menjawab, “Cuaca hari ini adalah yang saya sukai”

Penasaran dengan jawaban tersebut, sang teman bertanya kembali, “Bagaimana kamu bisa begitu yakin dengan ramalanmu?”

Supirnya pun menjawab, “Begini, Pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai. Dengan demikian, lebih baik saya belajar menyukai apapun yang saya dapatkan.”

Menutup ceritanya, sang teman berkata, “Saya memang memberikan penghasilan kepada supir. Tapi, dia memberikan pembelajaran kebahagiaan pada saya. Bukan lewat kecakapan dan kehebatan diri, namun melalui rasa syukur yang ada dalam hatinya.”

Mungkin terasa klise saat kita mendengar kata “rasa syukur” atawa sense of gratitude. Rasa syukur menghindarkan kita dari sikap saling membandingkan yang menjadi kegemaran alamiah manusia.

Sikap ini pada akhirnya selalu melahirkan kekecewaan, kejengkelan dan negativitas lain, seperti tersirat dalam pepatah tua “rumput tetangga senantiasa lebih hijau daripada rumput sendiri”.

Alkisah, ada cerita menarik tentang dua pasien rumah sakit jiwa. Pasien pertama sedang duduk termenung bengong sambil bergumam lirih, “Nana, Nana..”. Seorang tamu pengunjung keheranan, dan menanyakan kepada dokter penjaga tentang masalah yang dihadapi pasien tersebut.

Dokter menuturkan bahwa pasien tersebut menjadi gila, setelah cintanya ditolak oleh seorang wanita bernama Nana. Si pengunjung pun mengangguk-anggukkan kepala, bisa memahami apa yang terjadi.

Namun, beberapa saat kemudian, saat melewati sel kamar lain, ia terkejut melihat penghuninya membentur-benturkan kepala ke tembok sambil berteriak keras: “Nana, Nana!!”

Kembali si pengunjung bertanya penuh heran kepada dokter, “Apakah orang ini juga mempunyai masalah dengan wanita bernama Nana?” Dokternya menjawab ringkas, “Ya, dialah yang akhirnya menikah dengan Nana.”

Jika sikap membandingkan menciptakan banyak negativitas, rasa syukur justru membangkitkan kemampuan belajar secara positif. Kata orang bule, every dark cloud has a silver lining; behind every problem lies an opportunity.

Bersyukur dalam segala situasi yang dialami –juga dalam kondisi yang tak kita sukai– memampukan kita untuk menyambut gembira setiap kesempatan pembelajaran akan hal-hal baru.



TERBARU

×