kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Lidah tak bertulang

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 18 September 2017 / 16:07 WIB
Lidah tak bertulang

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Minggu lalu, saya mengawali tulisan refleksi dengan pertanyaan seorang teman yang sedang galau, yakni: “Pikiran itu memang jahat ya?!!”

Kali ini, dari teman lain yang sedang jengkel, muncul kembali pertanyaan terkait dengan urusan “pikiran”. Bunyinya: “Pikiran itu memang enggak jujur ya?!”

Nah loh, apa yang sebenarnya terjadi, sehingga muncul kesimpulan yang “sangat berani” seperti itu?

Usut punya usut, ternyata sang teman jengkel bukan kepalang menyimak berita politik mutakhir yang lalu-lalang melewati saluran televisi, radio, ataupun media sosial.

Untuk perkara yang sama, elite politik bisa mengambil kesimpulan dan sikap yang berbeda. Terhadap pejabat A dan B yang sama-sama melakukan tindak pelanggaran yang setara, seorang elite politik bisa mengambil sikap dan rekomendasi yang berbeda.

Padahal, kasusnya benar-benar serupa. Hanya saja kebetulan kedua oknum tersebut dari lingkup partai yang berbeda.

Lebih lucu lagi, terkadang dengan urusan dan pelaku yang sama, kesimpulan dan tafsirnya juga bisa berbeda!

Terhadap pejabat C, yang “kebetulan” dua kali melakukan tindak pelanggaran yang serupa, elite politik bisa mengambil posisi dan rekomendasi yang berbeda. Kok bisa? Faktanya ya..., seperti itu.

Hanya karena rentang waktu yang berbeda, sikap orang menjadi berbeda. Seorang teman politikus pernah memberikan nasehat kepada saya.

Katanya, jangan pernah bicara tentang konsistensi dalam dunia politik. Mengapa? Karena politik adalah “seni” yang tak berpola dan bergerak mengikuti naluri. Yakni, naluri kepentingan dan kekuasaan.

Demikian pula, jangan bicara komitmen dalam kancah politik. Mengapa juga? Karena politik adalah “negosiasi”, yang sangat situasional dan bisa dikompromikan seturut keadaan.

Persisnya, keadaan yang saling menguntungkan pihak-pihak yang berunding, bukan pihak lain, apalagi rakyat banyak.

Atas nasehat sang teman politikus di atas, saya sempat tertegun dan berpikir keras. Seolah-olah tak ada tempat bagi wacana “integritas” dalam praktik perpolitikan.

Bukankah elemen “konsistensi” dan “komitmen” –yang dianggap tak relevan bagi dunia politik– adalah dua kandungan utama dari “integritas”.


 

Integritas yang utama
Tak sulit untuk menemukan definisi yang merumuskan integritas sebagai “konsistensi antara kata dan tindakan”, ataupun “komitmen untuk mewujudkan pikiran dalam perbuatan”.

Dan, sejak zaman nenek moyang, kita juga sudah diajarkan bahwa integrity is the parent of all virtues.

Di antara begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang mulia, seperti kejujuran, kebersamaan, pelayananan dsb, integritas selalu dianggap sebagai “orangtua” sekaligus fondasi bagi keutamaan-keutamaan hidup di atas.

Orang kaya dan investor gaek, Warren Buffett mensyaratkan dua elemen ketika merekrut seorang calon karyawan, yakni integrity dan intelligence. Ia meletakkan integrity di urutan pertama, bukannya intelligence.

Demikian juga Jack Welch, legenda manajemen mantan pimpinan perusahaan raksasa General Electric, mensyaratkan dua hal dalam urusan pengembangan dan promosi karyawannya, yakni living the values dan delivering results.

Dan, jika harus memilih salah-satu di antara keduanya, Jack Welch tetap akan memilih living the values sebagai dasar utama keputusan pengembangan dan promosi karyawannya.

Kembali kepada pertanyaan sang teman di atas: “apakah pikiran itu memang tidak jujur?”

Perkenankan saya untuk sedikit menyunting petuah John Milton dalam buku klasiknya "Paradise Lost" (yang sudah saya kutip dalam tulisan minggu lalu), the mind is its own place, and in itself...can keep an integrity out of intrigue, or an intrigue out of integrity.

Pikiran manusia tak bersifat jujur, juga tak manipulatif. Pikiran manusia memiliki dunianya sendiri; dan pikiran tersebut bisa tetap menjaga integritas di tengah kondisi penuh intrik, atau sebaliknya dipenuhi intrik di tengah kondisi yang menuntut integritas.

Persoalannya, memang tak mudah membaca pikiran seseorang untuk mengukur kualitas integritas yang bersangkutan.

Saya teringat dengan pesan guru spiritual Ajahn Bram (dalam bukunya "Hello Happiness", 2016), bahwa a self need not be defined by some philosophical ideas, but simply by what it does and what it owns.

Singkat kata, jika ingin mengetahui kualitas diri seseorang, jangan melihat omongan dan gagasan yang bersangkutan tentang dirinya sendiri.

Cukup lihat saja apa yang dia lakukan dan dia miliki. “Tindakan” dan “kepemilikan” tak akan berbohong, sementara “omongan” dengan mudah dipelintir, dibelokkan, dan bahkan juga dimanipulasi. Maklumlah, lidah memang tak bertulang.



TERBARU

×