kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Naif dan impulsif

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 16 Oktober 2017 / 16:55 WIB
Naif dan impulsif

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Saracen menjadi salah satu topik terhangat yang diperbincangkan oleh publik Indonesia belakangan ini. Aparat kepolisian akhirnya berhasil mengungkap sindikat yang diduga menyebarkan ujaran kebencian di media sosial, sekaligus menangkap beberapa aktor utama yang mengoperasikannya.

Sindikat ini memperdagangkan isu-isu terkait suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang merupakan wacana paling sensitif di Republik ini, namun sekaligus juga saleable di tengah hiruk-pikuk perhelatan persaingan politik nasional.

Tak tanggung-tanggung, mereka berhasil mengaktivasi ribuan akun yang beroperasi sesuai dengan pesanan pihak-pihak tertentu.

Entah untuk mempromosikan pihak tertentu, menyudutkan pihak lainnya, menciptakan benturan antar kelompok yang semua dilakukan dengan mengaduk-aduk sentimen primordial dan naluri kompetisi segenap anak bangsa.

Begitu hebatnya strategi kerja (dalam penentuan topik ujaran sesuai pangsa pasar) dan pola manajemen (dalam pengendalian follower virtual secara militan), perwira Analis Kebijakan Madya Bidang Penmas Divhumas Polri, Kombes Sulistyo Pudjo Hartono, bahkan menyebut para aktor tersebut sebagai orang-orang dengan kecerdasan di atas rata-rata.

Jelas, ini sebuah aksi high-level crime yang sangat mengkhawatirkan kita sebagai sebuah bangsa.

Pernah ada penelitian yang dilakukan terhadap perilaku konsumen di restoran makanan Jepang, yakni : sushi.

Di restoran sushi, biasanya ada dua cara pemesanan makanan yang bisa dilakukan, yaitu:

(1) memesan dari buku menu, dan kemudian menyajikannya di atas meja makan yang sudah kita tempati, dan
(2) duduk di depan “ban berjalan” (conveyer belt) yang berisi aneka ragam sushi siap santap yang lalu lalang melewati mata kita.

Secara rata-rata, hasil observasi menunjukkan bahwa ternyata cara yang kedua – yakni duduk di depan conveyer belt – membuat orang cenderung menikmati sushi dalam jumlah yang lebih banyak daripada cara pertama.

Studi sederhana ini menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat impulsif, yakni dengan seketika bersikap reaktif terhadap apa yang dihadapinya.

Ketika kita diserang secara fisik, secara refleks kita akan menangkis atau memukul balik; sama halnya juga saat badan kita digelitik oleh teman, dengan sekejap ia akan menggetarkan dirinya sendiri.

Impulsivitas bisa membuat perilaku manusia menjadi tak rasional, karena yang diutamakan adalah “kesegeraan” (immediateness).


 

Perilaku dan cerdas

Impulsivitas seolah menemukan momentum terbaiknya pada masa kini, yakni saat media sosial menjadi sarana pergaulan keseharian manusia. Di dunia media sosial, “kesegeraan” adalah prioritas nomor satu dan perkara paling penting.

Apakah informasi tersebut akurat atau tidak, berisikan berita positif atau negatif, punya tujuan baik atau jahat, menjadi urusan yang kesekian.

Orang merasa bangga, jika menjadi orang-orang pertama yang mendapatkan sebuah informasi, sekaligus juga menjadi orang-orang yang paling awal menyebarluaskannya kepada orang lain.

“Di situlah orang merasa dirinya makhluk millennial yang well-informed, updated, dan gaul!” demikian seloroh seorang teman menyebut pengguna media sosial yang impulsif.

Kembali kepada uraian tentang Saracen, sesungguhnya para pelakunya tak hanya memiliki kecerdasan di atas rata-rata, namun juga berhasil memanfaatkan sifat psikologis massa yang cenderung “naif” dan “impulsif”.

Bisa dibayangkan, apa jadinya jika perilaku jahat orang-orang yang cerdas “bertemu” dengan sifat impulsif massa yang naif?

Sebuah destruksi yang massif dan sangat mungkin akan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sangatlah beralasan jika Presiden Joko Widodo menilai sindikat semacam Saracen adalah kelompok yang mengerikan.

Lebih jauh, orang nomor satu di Republik ini juga memerintahkan Kapolri untuk mengusut tuntas mereka.

Bukan hanya operator sindikat tersebut saja, namun juga pihak-pihak yang memesan dan membayar aksi provokasi yang mereka lakukan.

Namun, memberangus kelompok penyebar berita palsu dan ujaran kebencian ini tak akan mendatangkan manfaat yang maksimal, bilamana khalayak pengguna media sosial tetap bersifat naif dan impulsif.

Kita percaya, sesungguhnya teknologi (media sosial) yang saat ini berkembang sedemikian maju dan canggih, awalnya diciptakan dengan nawaitu yang mulia.

Sebagai sebuah sarana peradaban, teknologi diniatkan untuk mempermudah kehidupan manusia, memfasilitasi pergaulan sosial, dan memperluas akses informasi bagi segenap manusia di seluruh penjuru dunia.

Namun, seperti kata adagium klasik, pada akhirnya yang paling menentukan adalah the man behind the gun.

Di tangan orang yang jahat, teknologi menjadi sarana yang mengancam peradaban manusia dan keutuhan bangsa.

Di tangan orang yang naif, teknologi menjadi alat untuk mengumbar impulsivitas yang tak mendatangkan manfaat apa-apa, bahkan ikut menciptakan kemudaratan.

Di tangan orang bijak, teknologi bisa menuai manfaat sejatinya, meningkatkan kemaslahatan hidup bersama. Saatnya berhenti menjadi makhluk sosial yang naif dan gampang tergoda impulsif.



TERBARU

×