kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Efektivitas Rapat

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 23 Oktober 2017 / 14:06 WIB
Efektivitas Rapat

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Kita pasti pernah mendengar atau bahkan mengalami sendiri, keluhan terkait urusan rapat alias meeting. “Wah, saking banyaknya jadwal rapat pada minggu ini, sekadar bernafas pun rasanya susah!”

Lainnya lagi, “Seharian kaki saya tertancap di ruang rapat, mendengar orang berbicara dan melihat slide-slide presentasi. Capek!” Khusus yang tinggal di daerah Jakarta, tak jarang muncul celotehan, “Gua mondar-mandir ke tempat rapat habisin waktu 4 jam, eh... meeting-nya cuma 15 menit. Nggak cucok!!”

Suka tidak suka, rapat merupakan agenda kerja rutin yang harus dijalani oleh para eksekutif dan profesional. Berbagai penelitian perilaku organisasi bahkan menunjukkan bahwa rapat merupakan aktivitas keseharian yang paling banyak menyita waktu.

Porsinya dapat mencapai angka 50%-80% dari total waktu kerja, tergantung derajat jabatan dan sektor pekerjaan yang ditekuni.

Sepanjang 50 tahun terakhir, ada kecenderungan peningkatan “volume” rapat, baik dari sisi frekuensi ataupun durasi.

Saat ini, seorang eksekutif rata-rata menghabiskan waktu untuk rapat sekitar 23 jam per minggu, jauh lebih tinggi dari era tahun 1960-an yang angkanya tak lebih dari 10 jam per minggu.

Volume kegiatan rapat yang semakin besar tentulah menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi jika tatalaksana rapatnya tak diatur rapi.

Dan, itu kerap kali terjadi! Entah isi agenda rapat yang tak fokus dan bertele-tele, atau jadwal rapat yang berubah-ubah tak karuan, atau juga kalendar rapat yang bertumpuk dan saling bertabrakan.

Kalau sudah demikian, rapat yang semestinya merupakan sarana untuk mengambil keputusan, menjalin tali komunikasi dan meningkatkan produktivitas, justru menjadi beban dan hambatan organisasi.

Studi yang dilakukan oleh Leslie A. Perlow dkk. terhadap 182 orang senior managers lintas industri, yang dituangkan dalam artikel bertajuk "Stop the Meeting Madness" (HBR, July – August 2017), menunjukkan bahwa 65% mengatakan bahwa rapat mengakibatkan tak bisa menuntaskan pekerjaan pribadi dengan baik, 71% mengatakan bahwa rapat dilakukan dengan cara yang tidak produktif dan in-efisien, 62% mengatakan bahwa rapat gagal membangun tim yang lebih solid dan dekat satu sama lainnya.
Singkat kata, rapat mulai menunjukkan indikasi yang tak sehat.

Alih-alih meningkatkan produktivitas, justru membuat pekerjaan tak terselesaikan baik. Alih-alih menjadi sarana komunikasi antar-anggota tim, justru malah memperlemah kedekatan dan kebersamaan.


 

Rapat eksesif

Tak bisa dipungkiri, rapat merupakan perkara yang tak terhindarkan (bahkan esensial) dalam praksis organisasi.

Dengan demikian, walaupun dibayangi gejala-gejala negatif di atas, jangan pernah bermimpi untuk bekerja tanpa adanya agenda rapat.

Tak ada rapat, sama artinya juga tak ada kolaborasi, pertukaran informasi dan juga inovasi. Yang justru perlu dipertanyakan adalah sikap banyak orang yang cenderung “diam”, bahkan “defensif” terhadap kegiatan rapat yang berlangsung eksesif tersebut. Sekalipun, seperti ditunjukkan hasil studi, mereka sangat tidak menyukai eksesivitas!

Leslie dkk. menyimpulkan “sikap diam” tersebut muncul karena para eksekutif dan profesional ingin menjadi seorang “prajurit yang baik” (good soldier).

Citra “prajurit yang baik” - yang berjuang demi kebaikan organisasi – itu muncul tatkala mereka rela mengorbankan waktu dan kenyamanan pribadi demi menghadiri rapat.

Lagi pula, rapat yang eksesif dianggap tak mendatangkan biaya tambahan yang signifikan bagi organisasi.

Mereka cenderung mengabaikan “biaya-biaya tak kelihatan” (intangible cost) yang muncul semisal : penggerusan produktivitas, kehilangan fokus dan konsentrasi, serta penurunan motivasi dan engagement kerja.

Bagaimanapun, setiap orang hanya memiliki waktu 24 jam dalam sehari, terlepas dari apapun pangkat, jabatan, dan pekerjaannya.

Dari presiden direktur hingga office-boy, dari tenaga administrasi hingga pekerja lapangan, semuanya memiliki jumlah waktu yang sama.

Tiada beda! Dengan demikian, setiap menit yang kita boroskan dalam agenda rapat bersama, secara otomatis akan “memakan” waktu kerja pribadi, yang sesungguhnya sama pentingnya bagi produktivitas organisasi. Itu baru sisi kuantitas waktu untuk bekerja.

Bagaimana dari sisi kualitas kerjanya? Studi juga menunjukkan bahwa jadwal kerja yang dipenuhi banyak rapat akan menurunkan kualitas deep work seseorang.

Cal Newport, profesor ilmu komputer dari Georgetown University, menggunakan istilah deep work untuk menunjukkan kemampuan seseorang bekerja secara fokus dan penuh konsentrasi.

Padahal, seperti kata Daniel Goleman (penggagas konsep emotional intelligence), prestasi yang unggul hanya mungkin diraih lewat sikap kerja yang terfokus.



TERBARU

×