kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Warisan Terbaik untuk Generasi Ketiga

oleh Yohanis Hans Kwee - Direktur Investa Saran Mandiri


Selasa, 14 November 2017 / 09:00 WIB
Warisan Terbaik untuk Generasi Ketiga

Reporter: Yohanis Hans Kwee | Editor: hendrika.yunaprita

Ada banyak cerita sedih tentang runtuhnya perusahaan di generasi ketiga. Banyak perusahaan yang sudah berumur puluhan bahkan ratusan tahun terpaksa mengakhiri perjalanan bisnis setelah generasi ketiga masuk. Apakah ini hanya kebetulan?

Biasanya generasi kesatu memulai bisnis keluarga dengan berjuang sendiri. Generasi kesatu mendirikan perusahaan dan menjalankan bisnis tersebut sendiri atau bersama istri. Lalu anak-anak sebagai generasi kedua datang dan bergabung mengembangkan bisnis. Biasanya generasi kedua masih ikut merasakan bagaimana perjuangan menjalankan perusahaan keluarga.

Generasi kedua ini kerap berhasil membesarkan perusahaan sehingga kehidupan keluarga meningkat. Pada generasi kedua perusahaan dikelola oleh saudara kandung yang dari kecil tumbuh dan berkembang bersama, sehingga saling pengertian terjaga dengan kuat.

Setelah generasi kedua, ada generasi ketiga atau cucu dari pendiri. Bila di generasi kedua perusahaan dijalankan ayah dan paman mereka yang masih saudara kandung, maka pada generasi ketiga terjadi pertemuan antarsepupu. Ikatan pada tingkat ini berkurang, karena antarsepupu sering tidak tinggal dan besar bersama. Mereka punya latar belakang keluarga, pendidikan dan pertemanan yang berbeda. Hal inilah yang membuat potensi konflik kepentingan menjadi besar.

Selain itu, ada juga kenyataan biasanya generasi ketiga lahir ketika bisnis keluarga tersebut sudah maju. Hal ini membuat generasi ketiga tidak benar-benar merasakan bagaimana berjuang memperbesarkan sebuah perusahaan atau bisnis. Hidup berkecukupan membuat ego menjadi lebih tinggi.

Pada teori perusahaan klasik perusahaan dikelola dan dimiliki orang yang sama, sehingga perusahaan punya tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan pemegang saham. Karena pengelola juga pemilik perusahaan, maka pengelola bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri.

Tetapi teori perusahaan klasik ini ditentang oleh Fama, Jensen and Meckling, di mana terdapat pemisahaan antara pemilik perusahaan dan pengelola. Teori perusahaan modern lebih menekankan bahwa perusahaan punya banyak pihak, di mana kepentingan bisa berbeda-beda.

Akibat pemisahaan antara pemilik dan pengelola dan perbedaan kepentingan, maka timbullah masalah agency di dalam perusahaan. Tidak semua agen dalam perusahaan punya tujuan sama dalam mengelola dan menjalankan perusahaan. Konflik ini perlu dikelola dan harus diawasi agar tujuan perusahaan bisa tercapai.

Masuknya generasi ketiga dalam bisnis keluarga ternyata membawa banyak potensi perbedaan, termasuk dalam pencapaian tujuan. Kadang ada yang merasa sudah bekerja lebih banyak sehingga berhak mendapatkan lebih banyak dari perusahaan. Di sisi lain ada yang merasa tidak cocok dengan bisnis perusahaan karena passion yang berbeda. Berbagai hal ini menimbulkan potensi konflik ketika generasi ketiga masuk.

Penulis beberapa kali bertemu dengan generasi kedua sebvah perusahaan. Rata-rata, mereka khawatir melihat generasi ketiga. Ada yang khawatir karena tidak ada anak yang mau melanjutkan bisnis keluarga. Ada yang khawatir dengan kecocokan antara si anak dan sepupunya dalam berbisnis.

Ada satu solusi yang sebenarnya sangat bagus bila dilakukan dan dipersiapkan oleh generasi kedua sebelum generasi ketiga bergabung. Sebaiknya generasi kedua berpikir dan mengubah perusahaan menjadi perusahaan publik. Dengan men-go public-an perusahaan, generasi kedua sudah mempersiapkan warisan terbaik untuk generasi ketiga. Perusahaan menunjuk profesional untuk mengisi posisi penting di perusahaan. Para profesional diharapkan bekerja untuk memajukan perusahaan tersebut. Sedangkan anak-anak generasi kedua menjadi pemegang saham perusahaan.

Bila generasi ketiga kelak ingin bergabung dengan perusahaan, alangkah baiknya bila diminta memulai dari bawah, sehingga mengetahui bagaimana bisnis tersebut beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Perusahaan tetap dipimpin dan dikelola para profesional. Hadirnya profesional mendorong berkurangnya potensi konflik kepentingan di antara generasi ketiga sebagai penerus.

Bila generasi ketiga tidak ingin melanjutkan bisnis tersebut, orangtua tidak khawatir karena perusahaan sudah dikelola oleh para profesional. Selain itu, generasi ketiga yang tidak ingin menjalankan bisnis tersebut bisa menjual sahamnya di bursa. Mekanisme transaksi di bursa memungkinkan terjadinya perpindahan kepemilikan dengan cepat dan efisien.

Selain hal tersebut, sebuah perusahaan yang go public juga harus mengikuti serangkaian aturan dan regulasi yang ada. Misal, membuat keterbukaan informasi atau mengelola perusahaan secara good corporate government (GCG). Mengikuti aturan yang ada cenderung membuat perusahaan lebih baik. Selain itu, pengawasan yang dilakukan oleh otoritas dan pemegang saham publik mendorong kenaikan kinerja perusahaan.

Melihat hal tersebut, tentu sebuah solusi yang sangat baik sekali bila generasi kedua berpikir men-go public-an perusahaan keluarga sebelum generasi ketiga bergabung. Selain itu, potensi dana yang bisa diambil dari pasar modal dapat mendorong perusahaan melakukan ekspansi bisnis dan menjadikan perusahaan lebih besar.

Memang tidak semua perusahaan hancur di generasi ketiga dan tidak selalu terjadi konflik kepentingan di generasi ketiga. Tetapi untuk berjaga-jaga tentu pilihan go public bisa dipertimbangkan. Jadi kenapa tidak berpikir untuk go public dan memberikan warisan terbaik berupa saham kepada generasi ketiga? Setelah go public, generasi kedua bisa lebih tenang menatap masa depan perusahaan.

Salam go public!



TERBARU

×