kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Pemerintah yang Hadir Ketika Rakyat Berinvestasi

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal


Senin, 13 November 2017 / 17:44 WIB
Pemerintah yang Hadir Ketika Rakyat Berinvestasi

Reporter: Satrio Utomo | Editor: hendrika.yunaprita

Kontan adalah sumber informasi bagi mereka yang melakukan bisnis dan investasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bisnis sebagai usaha komersial dalam dunia perdagangan; bidang usaha; usaha dagang. Usaha yang berorientasi profit, itu kira-kira definisi dari bisnis.

Untuk investasi, saya mencoba menggunakan definisi dari Bodie, Kane, Markus dalam bukunya Investment, yang hingga saat ini tetap jadi acuan bagi mereka yang mengambil ujian standar profesi pasar modal, baik itu WPPE, WPEE, maupun WMI. Menurut buku itu, definisi investasi adalah sebuah komitmen uang (atau sumber daya lain) yang dilakukan pada saat ini, untuk mendapatkan manfaat di masa yang akan datang.

Jadi bagan investasi kurang lebih seperti ini: komitmen uang saat ini proses investasi manfaat di masa datang.

Manfaat di masa datang ini tentu saja harapannya bersifat positif. Biasanya kita sebut profit. Tapi, apakah profit pasti didapat? Tentu saja tidak.

Namanya juga 'masa yang akan datang, tentu saja tidak ada yang 100% pasti. Berhadapan dengan masa datang berarti berhadapan dengan risiko, termasuk risiko keadaan masa yang akan datang tidak sesuai dengan harapan. Kalau manfaat di masa datang tersebut ternyata negatif, investor dikatakan mengalami kerugian.

Jadi, dalam berinvestasi, investor melakukan komitmen terhadap uang yang saat ini dalam kekuasaannya, ke dalam sebuah proses, guna memperoleh manfaat positif (profit) yang bisa diperoleh di masa datang.

Saat berinvestasi, investor tentu menginginkan profit sebesar-besarnya. Tapi kenyataannya, ada yang dinamakan tingkat keuntungan yang wajar. Dari pengalaman yang sudah-sudah, tingkat keuntungan di atas 3% per bulan, atau setara 36% per tahun, sulit diwujudkan. Setidaknya, tidak semua orang bisa untung 3% per bulan secara konsisten.

Batas 3% ini sebaiknya selalu jadi batas bagi kita semua. Mengapa? Karena ketika ada tawaran investasi dengan tingkat keuntungan lebih dari 3% per bulan, seorang investor atau pemilik dana harus curiga: bener enggak ini investasinya? Bagaimana cara pengelola investasi ini bisa memperoleh return setinggi itu? Jangan-jangan investasi bodong?

Ketika kita mendapat tawaran investasi dengan prospek yang too good to be true, proses penelitian yang kita lakukan terhadap produk investasi tersebut harus lebih ekstra keras lagi. Kalau enggak ngerti, tanya orang yang ngerti dan kita percaya. Kalau tetap tidak ngerti, ya sudah, mendingan tidak usah melakukan investasi di situ. Gunakan aturan 3% profit per bulan' untuk menghindarkan diri dari investasi bodong.

Ketika saya sedang melaksanakan ibadah haji, ada berita tidak mengenakkan yang muncul dari tanah air: umrah murah dari First Travel, ternyata gagal diberangkatkan. Saya enggak tahu apakah ini sudah menjadi wanprestasi atau bagaimana. Kasusnya memang masih terus berjalan.

Saya ingin menawarkan sudut pandang seperti berikut: First Travel menjanjikan jemaah bisa berangkat umrah dengan hanya membayar Rp 8 juta, dengan waktu tunggu keberangkatan sekitar 1 tahun. Mau tahu berapa harga wajar dari sebuah paket umrah? Saya sempat berminat untuk menjadi penyelenggara umrah, jadi sempat membuat sebuah penelitian kecil.

Dengan semua biaya tiket pesawat, visa, akomoditasi, konsumsi dan transportasi selama di Mekah-Madinah, sebuah paket umrah 9 hari harga pokoknya sekitar 4.000 riyal. Kalau dirupiahkan, sekitar Rp 14 juta-Rp 16 juta.

Jadi ada barang dengan harga pokok Rp 14 juta dijual di harga Rp 8 juta dengan waktu tunggu selama 1 tahun? Buat saya, itu sudah seperti sebuah model investasi. Dengan model investasi standar, paket umrah First Travel ini seperti investasi Rp 8 juta, di mana dalam 1 tahun harus memberikan manfaat sebesar Rp 6 juta atau 75% per tahun.

Apakah manfaat sebesar ini wajar? Tentu saja tidak. Seperti saya bilang tadi, jika manfaat yang dijanjikan di atas 3% per bulan atau 36% per tahun, siap-siap saja bahwa pengelola dana kemudian wanprestasi. Mengapa? Karena tingkat keuntungan seperti itu, memang terlalu tinggi. Kalau ternyata pengelola dana wanprestasi, ya wajar saja, karena sejak awal expected return yang diharapkan sudah ketinggian.

Bagi Anda yang menjadi korban, saya hanya bisa berharap bisa mendapat solusi terbaik. Tapi, jika hasilnya tidak sesuai harapan, mau diapakan lagi? Namanya juga ibadah. Semoga Allah SWT mencatatkan niat itu sebagai amal kebajikan.

Kasus kedua adalah soal Meikarta. Ada sebuah pengembang properti, belum memiliki izin, sudah menjual produk. Pemerintah daerah sudah berada dalam posisi belum memberi izin. Menteri Dalam Negeri bahkan sampai menekan Gubernur untuk bisa memberi izin. Mau tahu sudut pandang saya?

Saya tidak berkata jangan beli produk ini. Kalau terlalu menarik untuk dilewatkan, kenapa tidak dibeli? Toh, itu uang Anda. Akan tetapi, kalau ternyata penjual produk investasi itu wanprestasi, ya, Anda tidak boleh menyesal. Namanya juga beli produk yang berlawanan dengan konsep wajar atau di luar konsep wajar berinvetasi. Kalau ternyata penjualnya wanprestasi, jangan salahkan pemerintah. Investornya yang harus siap.

Fungsi dari pemerintah adalah membuat regulasi. Ketika warga negaranya ingin investasi, apapun produknya, Pemerintah harusnya memfasilitasi. Paling tidak, jaga agar warga negara tidak berantem! Tegaknya hukum adalah tanda bahwa pemerintah ada. Pemerintah juga perlu hadir ketika rakyat berinvestasi.

Di Bursa Efek? Ada OJK. Di Bursa Berjangka? Ada Bapepti. Saya tetap saja heran: ini sama-sama produk investasi tapi kenapa pengawasannya harus terpisah? Jadi ingat kasus GTIS. Sejauh ini, pemerintah tidak proaktif. Hanya menunggu laporan masyarakat yang jadi korban. Saya pernah tanya OJK soal ini. Jawabannya, "Kita kekurangan orang, Pak!"



TERBARU

×