kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Lo Kheng Hong dan Saham Ayam

oleh Lukas Setia Atmaja - Financial Expert Prasetya Mulya Business School


Selasa, 21 November 2017 / 09:00 WIB
Lo Kheng Hong dan Saham Ayam

Reporter: Lukas Setia Atmaja | Editor: hendrika.yunaprita

Syahdan, ada seorang investor saham bernama Lo Kheng Hong (LKH). Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Tahun 1989, saat berusia 30 tahun, ia mulai berinvestasi saham sembari bekerja di sebuah bank. Tujuh tahun kemudian ia berhenti bekerja dan fokus berinvestasi saham. Kini ia telah sukses dan dijuluki Warren Buffett of Indonesia. Mari kita belajar sejurus dua jurus dari "pendekar saham" yang rendah hati ini. Ciaaaaat!

Pembaca tentu masih ingat dengan kisah bagaimana LKH berhasil meraup cuan "gila-gilaan" yang nilainya mencapai 12.500% dalam waktu enam tahun, dan sukses meraup cuan total senilai Rp 194 miliar, dari membeli saham yang berhubungan dengan ayam, yakni PT Multibreeder Adirama Indonesia, Tbk (MBAI).

Saat itu peluang terbuka lebar karena ada kasus flu burung yang membuat panik para investor dan melongsorkan harga saham perusahaan yang terkait dengan ayam. MBAI adalah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang usaha pembibitan ayam, dengan hasil produk utamanya day old chicks (DOC) alias anak ayam yang baru menetas. Mayoritas saham MBAI, yakni sekitar 73% saham, dimiliki oleh PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA).

Nah, ternyata pada tahun 2007, LKH juga membeli saham JPFA. Jumlah saham yang dibeli sebanyak 40 juta saham, pada harga pembelian sekitar Rp 370 per saham.

JPFA merupakan perusahaan yang bergerak di bidang usaha pakan ayam, pembibitan ayam dan peternakan ayam. Selain itu, perusahaan ini juga memproduksi pakan ikan dan pakan udang.

LKH tertarik pada saham JPFA karena termasuk saham yang harganya salah alias underpriced. Berdasarkan informasi di laporan keuangan JPFA pada akhir 2006 silam, earnings per share (EPS) alias laba bersih per saham JPFA sebesar Rp 160 per saham. Sedangkan harga sahamnya saat itu hanya sebesar Rp 370 per saham.

Dengan demikian, price earnings ratio (PER) atawa rasio harga saham terhadap laba bersih saham ini hanya sebesar 2,3 kali. Perlu diingat, LKH sebagai value investor biasanya hanya melirik saham-saham yang PER-nya di bawah 5 kali.

Biasanya LKH juga mempertimbangkan rasio harga saham dibagi nilai buku ekuitas atau price to book value (PBV). Saat itu, total kapitalisasi pasar JPFA, yang dihitung dari harga dikali jumlah saham beredar, yakni seharga Rp 370 dikali 1,489 miliar saham beredar, mencapai sebesar Rp 550 miliar. Sedangkan nilai buku ekuitas JPFA saat itu cuma sebesar Rp 596 miliar.

Dengan demikian, PBV saham yang masuk dalam sektor poultry ini saat itu hanya sebesar 0,92 kali. Namun saat membeli saham Japfa, LKH tidak terlalu memperhitungkan PBV-nya. Ia hanya mempertimbangkan PER dan penjualannya yang besar. "Dengan penjualan yang besar, kalau perusahaan dapat meningkatkan profit marginnya, maka laba bersihnya juga akan meningkat banyak," tutur LKH mengingat investasinya.

Sekadar informasi saja, pada tahun 2006 silam, laba bersih JPFA adalah sebesar Rp 238 miliar. Sedangkan penjualannya mencapai Rp 6,4 triliun. "Kalau JPFA dapat meningkatkan profit margin-nya 10% saja, laba bersihnya akan meningkat mencapai Rp 640 miliar," hitung LKH saat itu.

Profit margin adalah rasio laba bersih dibagi dengan penjualan. "Banyak perusahaan lain yang PER-nya rendah, tapi saya tidak membelinya," LKH menjelaskan. "Saya memilih JPFA karena penjualannya besar dan PER-nya rendah sekali," tutur dia saat itu. Jadi, menurut perhitungan LKH, jelas sekali bahwa saham JPFA termasuk dalam saham yang salah harga alias kemurahan.

LKH kemudian menyimpan saham JPFA selama tiga tahun. Ternyata perhitungan LKH benar. Dalam kurun waktu tiga tahun tersebut, JPFA berhasil meningkatkan profit margin dari cuma sebesar 3,7% pada tahun 2006 menjadi 5,6% pada tahun 2009.

Selain itu, penjualan JPFA juga meroket dari cuma sebesar Rp 6,4 triliun pada 2006 menjadi sebesar Rp 14,3 triliun pada tahun 2009. Alhasil, laba bersih JPFA juga meningkat hingga 242%, dari sebelumnya sebesar Rp 238 miliar pada tahun 2006, menjadi sebesar Rp 814 miliar pada tahun 2009.

Karena laba bersihnya meningkat, tentu saja harga sahamnya juga meningkat. Kala itu, harga saham JPFA meningkat sekitar 980% menjadi seharga Rp 4.000 pada tahun 2010. LKH menjual saham JPFA yang ia miliki karena merasa harganya sudah tidak salah lagi.

Setelah LKH menjual sahamnya, ternyata penjualan dan laba bersih JPFA masih terus meningkat. Alhasil, saat itu harga saham JPFA sempat meningkat hingga mencapai level Rp 10.000 per saham. Namun, seperti biasa, LKH tetap bersyukur karena sudah menikmati cuan besar dari bisnis yang terkait dengan ayam ini.

Nah, ada kisah menarik saat LKH memegang saham ayam ini. Saat itu ada seorang pendeta tua yang sederhana serta sudah pensiun.

Sang pendeta ikut membeli saham JPFA senilai Rp 25 juta di harga Rp 370 per saham. Dia berpesan kepada LKH agar tidak menceritakan ihwal pembelian saham tersebut kepada orang lain. Alasan si pendeta, sebagian orang di gereja tidak mengerti tentang investasi saham. "Mereka menganggap membeli saham itu judi," tutur LKH.

Lalu, bagaimana kisah dari investasi si pendeta tersebut di JPFA? Akhirnya, pendeta tersebut ikut menjual saham JPFA yang ia miliki di harga Rp 4.000 per saham. Dengan demikian, uang yang ia investasikan saat itu tumbuh dari sekitar Rp 25 juta menjadi sekitar Rp 270 juta. "Lumayan, dapat berkat dari Tuhan," ujar LKH sembari tersenyum.

Nah, Anda tertarik untuk mengikuti strategi LKH menjaring keuntungan dari berinvestasi di pasar saham?



TERBARU

×