kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Otak muda

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 04 Desember 2017 / 15:42 WIB
Otak muda

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Ada orang yang membeli mobil sport atau bahkan jet pribadi, dan mengeluarkan uang sampai belasan miliar. Ada orang yang punya puluhan rumah, vila, dan sebagainya. Ada orang yang habiskan biaya ratusan juta hanya untuk perayaan ulang tahun anaknya.

Di sisi lain, ada orang yang berjuang untuk sekadar makan tanpa gizi cukup. Ada orang yang harus berjalan belasan kilometer untuk sekolah.

Pembaca, kalimat-kalimat liris di atas bukanlah kutipan dari larik puisi seorang penyair sosial yang memang terlatih untuk mengguratkan keprihatinannya dalam bentuk tulisan.

Kalimat-kalimat ini adalah paragraf awal dari sambutan seorang pengusaha senior, TP Rachmat, dalam acara penggalangan dana di kampus ITB, Bandung, 14 Oktober 2017.

Dalam kesempatan tersebut, TP Rachmat sejatinya hendak menggugah dan mengajak orang-orang yang “beruntung” untuk membagikan kembali keberuntungannya kepada bangsa dan negeri ini, khususnya lewat jalur pendidikan. Beliau menggunakan istilah give back to the nation.

Orang-orang “beruntung” di sini tentunya ditujukan kepada mereka yang memiliki kekuatan, kekayaan dan kemampuan yang lebih besar –bahkan jauh lebih besar– daripada rata-rata orang pada umumnya.

Kekuatan dan kekayaan tersebut boleh jadi adalah hasil perjuangan dan kerja keras masing-masing pribadi.

Dengan demikian, adalah sah belaka bila setiap orang bebas untuk memilih cara pemanfaatan kekayaannya yang melimpah tersebut.

Entah itu untuk dipergunakan membeli mobil sport, jet pribadi, vila, dan juga untuk merayakan ulang tahun anaknya secara mewah. Toh, itu harta pribadi yang bersangkutan sendiri!

Namun, sebagai makhluk sosial, sesungguhnya kebebasan dalam diri manusia bergandengan erat dengan saudara kembarnya yang bernama tanggungjawab.

Kebebasan tanpa tanggungjawab akan membuat manusia kehilangan nurani dan keadaban; ciri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.

Bahkan, semakin besar kekuatan yang dimiliki, semakin besar pula tanggungjawab yang semestinya dipikul. Kata TP Rachmat, “Greater power comes with greater responsibility.”


 

Menyimak ajakan salah satu orang terkaya di Indonesia tersebut, saya teringat wacana compassion alias welas asih, yang pernah dituliskan dengan komprehensif oleh Karen Armstrong dalam bukunya bertajuk Twelve Steps to a Compassionate Life (2010).

Welas asih bukanlah sekadar rasa kasihan terhadap yang berkekurangan dan mengulurkan santunan altruistik kepada mereka yang membutuhkan.

Lebih dari itu, welas asih adalah bentuk solidaritas aktif kita terhadap kehidupan orang lain, terutama yang berkekurangan. Sebuah tanggung jawab untuk memajukan kemanusiaan secara bersama-sama.

Keserakahan bisnis

Armstrong tak hanya berwacana, namun juga berupaya mewujudkannya secara nyata. Salah satunya, ia menggagas inisiatif besar untuk meratifikasi charter of compassion, sebuah pakta kesepahaman tentang persetujuan atas sikap dan tindakan welas asih.

Sudah banyak komunitas dan organisasi di berbagai belahan dunia yang mengamini pakta tersebut, dan menjadikannya sebagai panduan interaksi antar sesama manusia.

Yang menarik, dalam wawancaranya dengan Harian Kompas 23 Juni 2013 pada saat berkunjung ke Indonesia, Armstrong mengakui bahwa komunitas yang paling aktif sekaligus maju dalam upaya mengadaptasi charter of compassion adalah organisasi bisnis.

Organisasi bisnis yang selama ini dipersepsikan memiliki watak transaksional dan pemburu rente, justru lebih antusias mempromosikan gagasan welas asih dibandingkan dengan organisasi sosial pendidikan yang dari “sono”nya dituntut untuk peduli urusan kemanusiaan.

“Para pengusaha tertarik mengembangkan prinsip welas asih karena keserakahan terbukti tidak bagus untuk bisnis, bahkan bisa merusaknya. Anda berbagi kepada sesama, dan Anda akan memperoleh lebih banyak lagi,” demikian tegas Armstrong. The more you give, the more you will receive.

Praksis bisnis konvensional pada umumnya beroperasi di atas prinsip survival of the fittest. Artinya, kita harus bersaing, dan jika perlu dengan mengorbankan orang lain.

Padahal, teori evolusi modern sudah menunjukkan bahwa untuk bertahan hidup (survival), manusia tak hanya butuh persaingan (competition), namun sebaliknya juga kerjasama (cooperation).

Otak manusia modern pun telah mengalami evolusi, beralih dari otak tua yang dipenuhi dengan sifat haus kekuasaan, kekayaan dan kemenangan, menuju otak muda yang dilingkupi oleh sifat cinta keindahan, empati, dan kebersamaan.

TP Rachmat dan beberapa pengusaha filantropis lainnya boleh saja berusia lebih tua dari kita pada umumnya. Namun, justru mereka memiliki otak yang lebih “muda”.



TERBARU

×