kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Ekonomi Perilaku

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 18 Desember 2017 / 18:14 WIB
Ekonomi Perilaku

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Saya pernah “terjebak” pada sebuah kegiatan travel-fair yang diselenggarakan di pusat kota Jakarta.

Ternyata, itu sebuah pengalaman yang “luar biasa”! Saya katakan “terjebak”, karena berkunjung ke sana tanpa sengaja dan hanya sekadar mengantar anak yang mempunyai keperluan lain di luar urusan pelesir.

Saya juga katakan “luar biasa”, karena begitu ramai, riuh laksana kerumunan manusia yang sedang menyaksikan konser band.

Pengalaman tersebut membuat orang seperti saya yang lahir sebagai Generasi X (1960-an-1980) merasa perlu meredefinisi ragam kebutuhan manusia.

Bagi Generasi X dan sebelumnya, jalan-jalan, berwisata jelas bukanlah kebutuhan utama. Berwisata adalah kebutuhan tersier, maksimal sekunder, yang tak akan diuber dengan cara berdesak-desakan.

Sekaligus juga hanya dilakukan apabila ada surplus uang kas rumah-tangga dan dengan penjadwalan per tahun, atau maksimal per semester.

Tak terbayangkan orang generasi terdahulu untuk berwisata dengan uang pinjaman (sekalipun bisa dibayar dengan cara mencicil), dan melakukannya sewaktu-waktu dengan model masa kini yang disebut sebagai private-trip.

Boleh jadi, apabila masih hidup, Abraham Maslow, akan merevisi teori hierarki kebutuhan manusianya yang legendaris.

Wacana-wacana baru, seperti wisata, smartphone, internet dan “teman-temannya” semisal wi-fi, media sosial, boleh jadi akan masuk ke dalam kategori kebutuhan dasar manusia; melengkapi kebutuhan elementer klasik berupa kebutuhan fisiologis, seks, pangan, sandang, dan papan.

Generasi Y atawa milenial telah hadir menjadi satu generasi baru, dengan orientasi berpikir, sikap perilaku dan tindak tanduk yang relatif baru.

Beberapa kali saya diundang untuk berbagi pandangan dan pengalaman tentang generasi milenial (yang lahir 1980 ke atas), yang menjadi trending generation saat ini.

Dalam forum diskusi, sudah menjadi hal alamiah bahwa generasi terbaru selalu dianggap berbeda dan unik, bahkan diadili sebagai “generasi aneh” oleh para generasi pendahulunya.

Saya sendiri lebih mengamini kata “berbeda” bagi generasi baru ini, dibandingkan kata unik, apalagi aneh. Catatannya, generasi Y bukan hanya sekadar “berbeda”, namun “berbeda secara signifikan” dari generasi sebelumnya.


 

Dinamika perilaku

Signifikansi perbedaan tersebut didorong oleh beberapa hal, yakni kemapanan ekonomi, stabilitas sosial politik, dan terutama kemajuan teknologi, yang tidak dinikmati pendahulunya.

Kombinasi ketiga hal tersebut melahirkan generasi masa kini yang fasih bergelut dengan teknologi (technology-savvy), pergaulan maya (virtual interaction), sekaligus gaya hidup berorientasi leisure.

Penghargaan Nobel ekonomi tahun 2017 diberikan kepada Richard Thaler, seorang profesor di Booth School of Business, University of Chicago.

Thaler adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam bidang ekonomi perilaku (behavioral economics), yang berusaha menjelaskan relasi antara perilaku manusia (sebagai individu dan kelompok) dengan praksis dan kinerja ekonomi secara makro.

Thaler mempopulerkan ide nudge, yang bermakna upaya mendorong individu-individu (dalam masyarakat) untuk mengambil keputusan ekonomi yang lebih baik demi kesejahteraan, kesehatan, dan kebahagiaan masyarakat luas.

Penganugerah Nobel, Royal Swedish Academy of Science, menilai Thaler berhasil menjembatani analisis ekonomi dan uraian psikologi dalam menelaah perilaku manusia sebagai “agen ekonomi” sehari-hari yang nyata.

Secara berkelakar, dalam konferensi pers di Chicago setelah penganugerahan hadiah Nobel kepadanya, Thaler mengatakan, “Pada dasarnya saya berkarier dengan mencuri sejumlah ide dari para psikolog.”

Belakangan ini negeri kita diliputi oleh “kebingungan” untuk menjelaskan fenomena ekonomi nasional.

Di saat pertumbuhan ekonomi bisa bercokol pada angka sekitar 5%, publik dihadapkan pada kenyataan sepinya pengunjung di pusat komersial, seperti Roxy dan Glodok, yang berujung pada penutupan beberapa gerai usaha seperti 7-Eleven, Lotus, dan Debenhams.

Banyak pakar menganggapnya sebagai perkara yang aneh, bahkan ada yang menyebutnya misteri.

Atau... jangan-jangan, ini menjadi pertanda bahwa di negeri ini belum banyak ahli seperti Tahler, yang mampu memadukan pisau analisa ekonomi dan uraian psikologi untuk membedah fenomena ekonomi secara makro.

Belum lagi, kita harus menerima kenyataan bahwa dinamika perilaku manusia masa kini semakin kompleks. Sangat berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.



TERBARU

×