kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Tiga kontribusi pemenang Nobel Ketiga Behavioral Finance

oleh Budi Frensidy - Penulis Buku Gesit & Taktis di Pasar Modal Berbekal Behavioral Finance


Kamis, 18 Januari 2018 / 08:15 WIB
Tiga kontribusi pemenang Nobel Ketiga Behavioral Finance

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Behavioral finance semakin naik pamor. Seorang perintis ilmu ini kembali dinobatkan sebagai pemenang nobel ekonomi untuk tahun ini. Richard Thaler menjadi ilmuwan behavioral ketiga yang menerima hadiah paling bergengsi dalam bidang ilmu ekonomi ini, setelah Daniel Kahneman (2002) dan Robert Shiller (2013). Kahneman bahkan akan terus dikenang sebagai psikolog pertama dan satu-satunya yang meraih nobel ekonomi, karena berjasa mengembangkan ilmu behavioral finance.

Thaler dinilai mampu mengintegrasikan ekonomi dan psikologi serta memperkaya alat analitis dan eksperimental ekonomi untuk memahami dan memprediksi tingkah laku manusia. Perjalanan Thaler melibatkan psikologi dalam analisis ekonomi dimulai dari artikel pertamanya tentang topik ini di tahun 1980, melanjutkan teori prospek Kahneman dan Tversky (1979), yaitu Toward a Positive Theory of Consumer Choice.

Sudah sejak lama para ekonom berusaha mengembangkan model untuk tingkah laku manusia dan interaksinya di pasar. Untuk tujuan itu, mereka membuat asumsi-asumsi penyederhanaan, seperti rasionalitas manusia, self-interest dan tersedianya informasi yang lengkap.

Asumsi lainnya yang juga sering digunakan adalah bahwa manusia risk-averse (Neumann dan Morgenstern, 1944) yang dikoreksi menjadi manusia loss-averse oleh Kahneman dan Tversky (1979) dan bounded rationality dari Herbert Simon (1955). Kenyataannya, ekonom dan psikolog menemukan sejumlah penyimpangan dari asumsi-asumsi dalam ekonomi standar neoklasikal ini.

Dalam seri anomalinya yang dimuat dalam Journal of Economic Perspectives, Thaler menguraikan bagaimana keputusan ekonomi dipengaruhi oleh tiga aspek psikologi manusia, yaitu pengendalian diri, preferensi sosial dan keterbatasan kognitif, yang memperbaiki teori bounded rationality.

Komite Nobel Ekonomi sepakat dengan pandangan ini dan menyatakan ada tiga kontribusi utama dari Thaler. Pertama, dia pelopor dalam menjelaskan bagaimana keputusan ekonomi banyak dibentuk dari tingkah laku yang jauh dari rasional. Pada 1980, dia memperkenalkan istilah efek endowment, yaitu tendensi seseorang lebih menghargai barang-barang milik. Dalam artikel lainnya di 1985 dan 1999, dia juga mencetuskan bias mental accounting, yang sering dialami manusia dalam mengatur dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan ekonominya.

Efek endowment adalah bias emosional yang tidak sesuai dengan teori ekonomi atau keuangan standar, yang mengatakan harga willing to sell (WTS) adalah sama dengan harga willing to pay (WTP). Kenyataannya, harga jual minimum yang bersedia diterima seseorang (WTS) cenderung lebih tinggi dari harga beli maksimum yang bersedia dia bayar (WTP) untuk barang yang sama.

Bias endowment menyebabkan investor bertahan dengan aset atau saham yang dia dapat dari warisan atau yang dia beli, karena dia tidak dapat menerima kenyataan WTS lebih kecil dari WTP. Apalagi ada biaya transaksi yang harus dibayar.

Sementara, mental accounting adalah bias kognitif ketika mengelompokkan aset dalam akun-akun yang berbeda. Uang dari sumber berbeda akan dicatat dalam akun berbeda dan tidak akan diperlakukan sama, padahal mestinya sama karena bersifat fungible. Contoh, investor tidak ragu membelanjakan dividen yang diterima, tetapi tidak untuk capital gain.

Jika Anda ingin menonton konser dan sudah membeli tiket seharga Rp 500.000, lalu tiket itu hilang, Anda hampir pasti tidak akan bersedia membeli lagi. Sebab uang yang dikeluarkan masuk dalam akun yang sama. Keputusan akan berbeda jika yang hilang bukan tiketnya, tetapi uang sebesar Rp 500.000, sehari sebelum membeli tiket. Sebab akun untuk ini berbeda.

Contoh bias mental accounting yang paling saya suka adalah ketika seseorang bersedia mengambil kredit mobil berbunga 12% p.a. Padahal dia punya deposito dua tahun di bank yang hanya memberikan bunga 5% bersih p.a.

Kontribusi kedua berhubungan dengan bias self control yang membuat banyak orang sulit mencapai tujuan yang ditetapkan. Bias emosional ini menyebabkan sebagian besar pekerja tidak mempunyai dana pensiun yang cukup, karena tidak bersedia menurunkan gaya hidupnya ketika masih produktif.

Mahasiswa yang ingin memperoleh nilai ujian bagus sering gagal karena tidak dapat menahan diri untuk menghilangkan kebiasaan bermalas-malasan dan menunda belajar. Banyak wanita kerap belanja barang yang tidak dibutuhkan karena tergiur tawaran big sale dan beli tanpa langsung bayar (dengan kartu kredit).

Sulitnya self control dalam konsumsi makanan juga menghinggapi mereka yang kelebihan berat badan dan obesitas. Terakhir, jika Anda terpengaruh dengan iklan di media atau ingin dipandang eksis sehingga mengganti mobil setiap 2-3 tahun, telepon genggam setahun sekali, atau mengoleksi belasan kartu kredit, Anda positif mengalami bias ini.

Kontribusi ketiga Thaler adalah koreksinya terhadap asumsi self interest dalam teori keuangan standar. Menurut dia, banyak tindakan yang dilakukan manusia bukan untuk kepentingan dirinya, tetapi untuk menegakkan keadilan dan alasan kemanusiaan. Kita sering membaca orang menyumbang untuk dana sosial secara anonim (tanpa menyebutkan nama) atau bersedia membayar atau merugi untuk menghukum orang-orang yang telah berlaku tidak adil, atau membela yang teraniaya.

Ada juga orang yang berusaha menyelamatkan orang lain dari gedung yang terbakar, walaupun berisiko tinggi untuk dirinya sendiri. Preferensi sosial ini juga yang menjelaskan mengapa di dunia ini ada banyak yayasan yang benar-benar menjalankan misi sosial.

Kesimpulannya, Thaler telah menunjukkan bahwa pandangan dan pemahaman behavioral finance sangat membantu banyak orang mengambil keputusan keuangan yang lebih baik.



TERBARU

×