kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / siasatbisnis

Whitney Wolfe, dari Tinder ke Bumble

oleh Jennie M. Xue - Kolumnis internasional serial entrepreneur dan pengajar, bisnis, berbasis di California


Jumat, 19 Januari 2018 / 08:05 WIB
Whitney Wolfe, dari Tinder ke Bumble

Reporter: Jennie M. Xue | Editor: hendrika.yunaprita

Whitney Wolfe membantu pendirian startup online dating Tinder sebagai salah satu co-founder. Namun ia meninggalkannya di usia 24 tahun, untuk mendirikan Bumble. Bumble mirip Tinder, tapi female friendly, jauh lebih lembut dan sesuai harapan pengguna perempuan.

Lulusan Southern Methodist University di Dallas ini merasakan male and cyber bullying selama bekerja di Tinder yang tidak dapat diungkapkan ke publik. Ini menginspirasinya mendirikan startup yang tidak hanya female-friendly bagi konsumen, tapi juga bagi para eksekutif dan pekerja yang menjalankan bisnis berbasis aplikasi tersebut.

Konsep aplikasi online dating Bumble yang ramah perempuan ini sederhana: komunikasi yang diizinkan hanya berbentuk pujian. Ini bentuk konkret antitesis pengalaman pribadi Wolfe di Tinder dan dunia maya yang penuh bullying.

Wolfe menamakan konsep ini Mercy alias belas kasih. Media sosial tidak membatasi bentuk komunikasi apa saja, termasuk kritik pedas tanpa dasar, pembunuhan karakter, bullying, mencaci maki dan sebagainya.

Awalnya, Mercy tidak diarahkan untuk dijadikan dating app. Namun setelah mendengarkan saran dari partner bisnisnya Andrey Andreev, founder aplikasi Badoo, jadilah Mercy diubah namanya menjadi Bumble dan difokuskan menjadi online dating app yang ramah perempuan.

Konsep online dating dan hubungan personal online sendiri sebenarnya kurang sempurna, mengingat demikian banyak bentuk bullying dan hoax yang terjadi. Bahkan tidak jarang bermuara kepada kematian baik bunuh diri karena bullying maupun dibunuh oleh online date alias partner kencan online.

Cara kerja Bumble yang ramah perempuan itu bagaimana? Selain hanya boleh menuliskan pesan-pesan positif dan pujian, hanya perempuan yang diizinkan mengirimkan pesan pertama kepada "calon" partner kencan. Jika tidak dilakukan, match akan di-delete secara otomatis. Dalam konteks pasangan homoseksual, siapapun boleh mengirimkan pesan pertama.

Ini merupakan salah satu bentuk reprogramming kebiasaan sosial. Perempuan bukan lagi pasif sebagai penunggu yang tidak jarang menjadi korban. Namun, posisi laki-laki dan perempuan diputarbalikkan.

Dengan laki-laki yang menunggu, sedikit banyak proses ini membantu membiasakan mereka rendah hati dan tidak agresif dalam memulai hubungan. Sebaliknya, perempuan dilatih berani memulai dan menggunakan kacamata batin dan psikis untuk menilai laki-laki yang pantas untuk dikontak.

Jadi, dua gender ini belajar untuk melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan umum, agar skill yang selama ini tidak diasah, dapat digunakan. Bumble memberi kesempatan untuk melakukan hal yang berbeda dalam memulai hubungan kencan pertama.

Dalam konteks tradisional, yakni laki-laki memulai dan perempuan menunggu, kedua gender ini sebenarnya terpaksa melakukan aksi yang bisa saja tidak sesuai dengan hati nurani. They set you up for failure.

Laki-laki jadi dipacu menjadi agresif, padahal kepribadian seseorang berbeda-beda. Bisa saja seorang laki-laki tidak nyaman menjadi pihak yang agresif. Sebaliknya, perempuan bisa saja tidak nyaman menunggu, karena kepasifan sering kali tidak berbuah apa-apa.

Dalam aplikasi online dating konvensional, setiap foto profil turut berperan sebagai "topeng", sehingga bentuk-bentuk agresi terjadi dengan mudah. Wolfe mengklaim, Bumble memberi kesempatan bagi perempuan berperan aktif dengan memuji. Dan ini memberi rasa nyaman bagi laki-laki.

Foto profil di Bumble terbagi beberapa kategori. Foto yang menonjolkan kepribadian, foto pose unyu, pose berani (bukan telanjang atau mesum), foto dengan keluarga (ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, binatang piaraan, dan sebagainya), foto hobi, dan foto dengan pakaian resmi (full dress). Jadi, unsur kepribadian menarik dan kekeluargaan sangat diutamakan.

Bagaimana Bumble memperoleh para pengguna pertama? Wolfe menggunakan skill yang didapat ketika bekerja di Tinder, yaitu berbicara dari hati ke hati di muka para mahasiswa atau mahasiswi. Dan tampaknya para mahasiswi pernah merasakan male bullying via aplikasi dating online.

Ia juga menarik hati para mahasiswa dengan memberikan piza gratis dengan boks yang berstiker Bumble.com di universitas. Kue kering (cookies) juga dibagikan dengan bungkus bertulisan Bumble. Membidik captive market di kampus, jenius.

Bumble bukan hook-up app seperti Tinder, tapi pemecah hening dimulainya hubungan pribadi baru dengan perempuan sebagai penggerak awal. Lingkungan zero toleransi terhadap kekerasan verbal dan fisik, menjadikan aplikasi female-friendly ini sangat digemari. Konsep bisnis genial yang patut menjadi studi kasus best practice.



TERBARU

×