kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Ilmu dan imajinasi

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 05 Februari 2018 / 14:18 WIB

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Apakah manajemen itu suatu ilmu pengetahuan (science) atau bukan? Ini pertanyaan klasik yang muncul dalam diskursus bisnis sepanjang masa.

Ada yang percaya bahwa manajemen bukanlah sebuah ilmu, dan oleh karenanya cenderung bersifat subjektif, intuitif, dan tak berpola.

Sebaliknya, ada juga yang meyakini bahwa manajemen adalah suatu ilmu, dan oleh karenanya setiap keputusan bisnis harus dilakukan melalui analisis data (objektif) yang seksama.

Dalam survei yang baru-baru ini dilakukan Ernst & Young (EY), 81% eksekutif mengatakan “data” haruslah menjadi tumpuan dalam segala proses pengambilan keputusan”.

Hasil studi ini meyakini bahwa big-data akan mengurangi ketergantungan kita pada proses pengambilan keputusan yang bersifat subjektif, yang mengandalkan perasaan individual alias gut-feel belaka.

Kesimpulan studi di atas tampak menarik perhatian para penggiat manajemen. Apalagi, sejak awal abad 20, tokoh bernama Frederick Winslow Taylor mengintrodusir wacana manajemen yang disebut sebagai scientific management alias ilmu manajemen ilmiah.

Dalam enam dekade terakhir, pendidikan bisnis di Amerika berusaha keras menjadikan manajemen sebagai ilmu “keras” (hard-science) yang ketat secara metodologis dan analisis.

Upaya ini muncul sebagai respons terhadap laporan tak sedap tentang kondisi pendidikan bisnis di Amerika, yang dikeluarkan oleh Ford and Carnegie Foundation pada tahun 1959.

Menurut laporan tersebut, pendidikan bisnis yang ada dinilai tidak cukup ilmiah. Sebagai bagian dari pemulihan keadaan itu, Ford Foundation mendorong sekaligus memfasilitasi kemunculan jurnal akademik dalam pendidikan bisnis.

Dalam tulisannya bertajuk Management Is Much More Than A Science (HBR, September – October 2017), Roger L Martin dan Tony Gosby Smith mengungkapkan bahwa praksis manajemen tak cukup untuk didekati, ditelaah, dan dipraktikkan secara ilmiah.

Hal-hal tertentu, utamanya terkait dengan inovasi, tak tepat untuk dipikirkan seperti itu.


 

Padukan hal berbeda

Martin dan Smith bukannya tak mengakui kontribusi pendekatan ilmiah dalam suatu praksis bisnis, namun jelas itu tak mencukupi.

Metodologi keilmuan yang ilmiah diperkenalkan oleh Aristoteles untuk memahami fenomena alam yang muncul secara natural dan tak dapat diintervensi oleh apapun.

Matahari yang selalu terbit di ufuk timur setiap pagi, gerhana bulan yang selalu muncul pada waktunya, dan benda yang selalu jatuh dari atas ke bawah, adalah beberapa fenomena alamiah tersebut.

Peristiwa itu terjadi di luar kendali manusia, dan ilmu pengetahuan ilmiah sebetulnya adalah studi untuk menemukan jawaban mengapa hal-hal tersebut terjadi.

Namun, Aristoteles juga tak pernah mengatakan bahwa semua peristiwa kehidupan muncul begitu saja secara alamiah.

Ia percaya bahwa manusia memiliki daya pribadi dan kehendak bebas yang memungkinkan dirinya melahirkan suatu peristiwa dan keadaan baru.

Dengan kata lain, di luar peristiwa alamiah, termasuk perkara bisnis, manusia memiliki peluang yang sangat terbuka untuk menciptakan dan membentuk keadaan.

Jika Steve Jobs dan para pionir lainnya tak menciptakan perangkat bernama “komputer”, manusia akan bertahan dengan cara kerja dan interaksi baheula yang serba manual dan lamban.

Sama halnya juga, bila telepon tak ditemukan, manusia akan bertahan dengan cara berkomunikasi yang mengandalkan kiriman surat.

Para inovator acapkali memasukkan perhitungan dan analisa ilmiah dalam proses penciptaan (kreasi). Namun, kejeniusan mereka yang sesungguhnya terletak pada kemampuan untuk membayangkan hal atawa produk yang sebelumnya tak pernah ada.

Produk bernama “mobil” pertama-tama muncul bukan melalui perhitungan yang ilmiah, namun karena ada yang membayangkan alat angkut yang tak perlu dihela oleh hewan kuda (horseless carriage).

Kendaraan bernama “sepeda motor” muncul karena ada pikiran imajinatif yang hendak menyatukan “sepeda” dan mesin “motor”.

Kreativitas semakin menemukan puncak pencapaiannya, jika manusia mampu membayangkan perpaduan hal yang bukan hanya berbeda, namun seolah tampak berlawanan.

Bahkan, bapak ilmu pengetahuan modern, Albert Einstein pun mengakui pentingnya imajinasi. Katanya, “Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and understand, while imagination embraces the entire world, and all there ever will be to know and understand.”



TERBARU

×