kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Behavioral Finance dan Nobel Ekonomi

oleh Budi Frensidy - Penulis Buku Gesit & Taktis di Pasar Modal Berbekal Behavioral Finance


Kamis, 08 Maret 2018 / 21:56 WIB
Behavioral Finance dan Nobel Ekonomi

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

 Jika dua dekade lalu behavioral finance masih dipandang remeh oleh aliran pasar efisien, kini sudah tiga tokoh behavioral finance yang mendapat anugerah nobel ekonomi. Siapa saja mereka dan apa saja kontribusinya?

 - Daniel Kahneman

 Tahun 2002 adalah tahun pengakuan behavioral finance sebagai ilmu yang bermanfaat, dengan pemberian hadiah nobel ekonomi kepada Daniel Kahneman di tahun tersebut.

Kahneman menjadi psikolog pertama dan satu-satunya peraih nobel ekonomi karena berjasa memasukkan pemikiran psikologi dalam ilmu ekonomi dan keuangan. Khususnya, mengenai pengambilan keputusan dalam ketidakpastian.

Selain Kahneman, hingga kini belum ada psikolog yang masuk nominasi sekalipun untuk hadiah nobel ekonomi. Sebelumnya, ilmu ekonomi percaya sepenuhnya bahwa pasar efisien yang berlandasan asumsi manusia selalu rasional, mempunyai informasi sempurna ,dan untuk satu motif utama. Yaitu, kepentingan pribadi sepenuhnya (perfect self-interest).

Melalui serangkaian eksperimen dan artikelnya di jurnal terkemuka mulai 1979, Kahneman (bersama Tversky yang meninggal 1996) membalikkan pandangan ini, bahwa manusia seringnya justru menggunakan rules of thumb atau heuristik daripada analisis rasional, terutama untuk masalah kompleks. Artikelnya di salah satu jurnal paling prestisius yaitu Ecometrica mendapat sitasi terbanyak sepanjang sejarah jurnal itu.

Mereka juga menemukan pentingnya framing atau pembingkaian. Rumahsakit yang mengatakan 80% pasien operasi jantungnya bisa diselamatkan lebih disukai calon pasien dibanding rumahsakit yang menyebutkan tingkat kegagalan operasi jantung 20%. Investor tak merasa sakit hati jika diminta "transfer your asset" atau "rebalance your portfolio" dibandingkan dengan "cut your loss".

Kahneman juga terkenal dengan teori prospeknya yang mengoreksi pandangan bahwa investor itu risk averse. Menurut dia, tak seperti investor institusi, investor ritel atau investor individu sebenarnya loss averse, bukan risk averse. Di daerah kerugian, investor malah cenderung menjadi risk taker.

 

- Robert Shiller

 Sebelas tahun kemudian, tokoh behavioral finance lainnya yaitu Robert Shiller juga berhasil meraih nobel ekonomi tahun 2013. Shiller memulai kritiknya terhadap Teori Pasar Efisien (TPE) melalui artikelnya Do Stock Prices Move Too Much to be Justified by Subsequent Changes in Dividends? (1981). Artikel ini menyorot fenomena volatilitas saham yang jauh lebih besar ketimbang volatilitas dividen atau earning-nya.

Selain artikel serangannya yang sangat melemahkan kedigdayaan TPE ini, Shiller dikenal sebagai penulis buku Irrational Exuberance (2000) yang dipuji banyak profesional keuangan karena mampu memprediksi dotcom bubble di Amerika pada 2001. Meletusnya dotcom bubble dan ambruknya pasar modal di seluruh bursa dunia pada 2008 melemahkan TPE dan mematahkan asumsi utama teori ini yang menyatakan investor adalah rasional. Kenyataannya, hampir semua investor ritel tak rasional, sehingga harga saham bisa menjadi begitu tingginya untuk kemudian jatuh sedemikian rendahnya.

Dalam menjawab banyak fenomena keuangan yang tak bisa dijelaskan dengan TPE, para pendukung teori ini selalu bertahan dan berlindung di bawah jargon "anomali". Segala sesuatu yang tidak sesuai atau tidak bisa dijelaskan oleh TPE dikatakan sebagai suatu anomali, seperti efek Januari dan efek perusahaan kecil di AS. Pembelaan ini tentu tidak memuaskan para penyerang dan penentangnya sehingga berkembanglah ilmu baru untuk menandingi TPE: behavioral finance.

 

- Richard Thaler

Perjalanan Thaler hingga meraih nobel ekonomi 2017 dimulai dengan artikel pertamanya pada 1980 tentang behavioral finance yang melanjutkan teori prospeknya Kahneman dan Tversky (1979). Yaitu, Toward a Positive Theory of Consumer Choice.

Pada 1980, dia memperkenalkan istilah efek endowment yaitu tendensi seseorang untuk lebih menghargai barang-barang yang dimilikinya. Efek endowment adalah sebuah bias emosional yang tidak sesuai dengan teori ekonomi atau keuangan standar yang mengatakan, harga willing to sell (WTS) adalah sama dengan harga willing to pay (WTP). Bias endowment menyebabkan investor bertahan dengan aset atau saham yang dia dapat dari warisan atau yang dia beli sendiri dengan sadar.

Dalam artikel lainnya pada 1985 dan 1999, dia juga mencetuskan bias mental accounting, yakni bias kognitif seseorang ketika mengelompokkan aset dalam akun-akun yang berbeda. Uang dari sumber berbeda akan dicatat dalam akun berbeda. Padahal mestinya, akun yang sama karena uang bersifat fungible. Contohnya, investor tidak ragu untuk membelanjakan dividen yang diterimanya tetapi tidak untuk capital gain. Ada juga orang yang bersedia mengambil kredit mobil berbunga 12% setahun. Padahal, dia mempunyai deposito di bank yang hanya memberikan bunga 5%.

Thaler juga berkontribusi dalam menjelaskan bias self control yang membuat banyak orang sulit mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Bias emosional ini menyebabkan sebagian besar pekerja tidak mempunyai dana pensiun yang cukup, karena sulitnya menurunkan konsumsi dan gaya hidupnya ketika masih produktif bekerja.

Thaler pun mengritik asumsi self interest dalam teori keuangan standar. Menurut dia, banyak tindakan yang dilakukan manusia bukan untuk kepentingan dirinya tetapi untuk menegakkan keadilan dan alasan kemanusiaan.

Kesimpulannya, ketiga tokoh behavioral finance di atas telah memperkaya ilmu ekonomi dan keuangan dengan memberikan pandangan baru terhadap proses pengambilan keputusan manusia. Akibatnya, para praktisi dan akademisi keuangan sekarang terbagi dua kelompok. Yaitu, pengikut aliran behavioral finance dan yang masih setia dengan teori pasar efisien. Ada juga yang belum bisa menentukan sikap. Nah, Anda masuk kelompok yang mana?



TERBARU

×