kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
KOLOM /

Mari Bernostalgia, Mengingat Gonjang-Ganjing Tahun 2011


Rabu, 30 Oktober 2019 / 14:12 WIB
Mari Bernostalgia, Mengingat Gonjang-Ganjing Tahun 2011
ILUSTRASI. Lukas Setia Atmadja. KONTAN/Baihaki (12/5/2015)


Reporter: Hasbi Maulana | Editor: Hasbi Maulana

KONTAN.CO.ID - Cut loss jika asumsi beli saham sudah tak berlaku dan harga ketinggian.Seorang investor mengeluh pada saya, sejak Donald Trump baku hantam dengan Xi Jinping dalam perang dagang, nilai portofolio sahamnya sangat fluktuatif. Belum lagi ada ancaman terbaru bernama hantu resesi di Amerika Serikat. "Susah amat, sih, jadi investor saham. Apa yang terjadi di Amerika Serikat sangat berpengaruh ke harga saham Indonesia," demikian keluhnya kepada saya.

Saya jadi teringat tahun 2011. Saat itu ada kekhawatiran bahwa dunia akan mengalami krisis keuangan akibat potensi gagal bayar utang negara-negara di Eropa seperti Yunani, Portugal, Spanyol, dan Italia, ditambah kemungkinan resesi di Amerika Serikat.

Di tahun 2011 itu, harga saham di bursa Amerika Serikat, dan pasti diikuti harga saham di bursa belahan bumi lain, gonjang ganjing mengikuti rasa khawatir dan optimis yang datang silih berganti.

Pernah terjadi, indeks Dow Jones dalam sehari turun sebesar 5%, kemudian naik 5% pada esok harinya. Lusanya, turun lagi 5%. Artinya, pasar sedang galau berat.

Dampak ke Indonesia lebih dahsyat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengayun keras bak pendulum. IHSG pada 22 September 2011 pernah turun 8,9% dalam sehari.

Mari kita evaluasi kembali apa yang terjadi di 2011. Di buka di 3.704 awal Januari, IHSG langsung turun selama Januari karena kekhawatiran investor asing atas inflasi tinggi di Indonesia. Ketika hal ini tak terbukti, perlahan tapi pasti IHSG rebound kembali ke level semula.

Di akhir April, IHSG sudah kembali ke level 3.700. Lalu, indeks melesat hingga 4.195 di awal Agustus. Imbal hasil yang diperoleh sekitar 14% selama 4 bulan atau sekitar 40% setahun. Not bad.

Makanya mayoritas investor asing melakukan profit taking atau ambil untung sebelum kegalauan krisis utang Eropa dan resesi AS merebak.

Baru di minggu ketiga September hingga awal Oktober, badai menerpa dan IHSG anjlok tajam dari 3.800 ke 3.256, rekor terendah tahun 2011. Di titik ini investor yang memegang saham dihadapkan pilihan sulit: cut loss atau membiarkan uangnya nyangkut?

Sebuah email masuk ke mailbox saya seperti ini: "Saya ingin bertanya apakah IHSG bisa pulih kembali dalam waktu dekat? Mengingat krisis di Eropa dan Amerika yang cukup serius. Saya investor di Bursa Efek Indonesia dengan posisi nyangkut dan tidak melakukan cut loss".

Saya selalu menyarankan agar investor tidak mengambil keputusan secara panik. Cut loss atau do nothing (dibiarkan) saja?

Jika kita adalah trader, jawabnya lebih mudah karena trader harus disiplin dalam cut loss maupun profit taking. Misalnya, saat saham sudah turun atau naik 10%, segera jual. Dengan demikian, trader tidak mengalami kerugian lebih parah.

Bagi investor, keputusan cut loss sebaiknya dilandasi pada pertimbangan apakah asumsi saat kita membeli saham masih berlaku? Jika asumsi membeli sudah tidak berlaku, dan merasa yakin harga saham overpriced, maka cut loss bisa menjadi keputusan bijak.

Ambil contoh, pada Oktober 2008, saham PT Astra International (ASII) sempat jatuh 60% dari Rp 17.000 ke Rp 7.100 dalam waktu 3 minggu. Sepanjang 2007, rentang harga ASII adalah Rp 14.000–Rp 27.000.

Misalkan investor, saat membeli saham ASII pada Rp 17.000, dia yakin harga tersebut adalah underpriced. Pada harga Rp 7.100, jika dia masih meyakini saham ASII tersebut underpriced, mengapa harus menjual pada harga berdiskon sebesar 60%? Apakah nilai saham ASII turun begitu tajam sehingga harganya pantas untuk turun 60%?

Jika dia yakin nilai saham ASII masih di atas Rp 7.100, mengapa harus menjual ASII? Jika ia tidak panik, tujuh bulan kemudian harga ASII sudah kembali Rp 17.000. Tiga tahun kemudian harganya sudah menjadi sembilan kali lipat.

Nasib yang berbeda dialami investor yang membeli saham Bumi Resources (BUMI) saat harga teramat tinggi. Saham BUMI dihargai sekitar Rp 700 pada Oktober 2007. Seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia dan batubara, saham ini sempat menyentuh Rp 8.750 di 10 Juni 2008.

Saat krisis 2008, harga saham BUMI turun mengikuti jejak harga minyak dunia dan batubara. Berbeda dengan ASII yang terdiskon 60% dalam tiga minggu, saham BUMI turun 94% dari Rp 8.750 ke Rp 500 dalam waktu tujuh bulan.

Artinya banyak waktu bagi investor untuk berpikir apakah asumsi waktu beli masih berlaku atau tidak, dan melakukan cut loss. Misalnya, apakah harga minyak akan bertahan di atas USD 100 per barrel? Jika tidak, kemungkinan harga saham BUMI sudah overpriced, dan cut loss bisa menghindarkan dia dari membership "The Nyangkutters".

Bagi saya, investasi saham adalah, pertama, beli saham yang Anda kenali. Kedua, ketahui nilai saham yang akan dibeli. Ketiga, belilah saham tersebut pada harga yang sekian persen di bawah nilai saham yang diyakini (selisihnya disebut margin of safety atau MOS).

Lalu, keempat, juallah saham tersebut setelah harganya mencapai target keuntungan, atau saat harganya sekian persen lebih tinggi dari nilai saham yang diyakini. Terakhir, kelima, carilah saham lain yang prospektif dan harganya murah (underpriced).

Jika langkah pertama sampai ketiga dilakukan dengan baik, kita tidak akan mudah panik. Ingat pepatah saya ini, "Harga saham boleh melorot, tetapi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) kita tidak boleh ikut melorot!"

Penulis: Lukas Setia Admaja
www.hungrystock.com
IG: lukas_setiaatmaja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×