kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Tidak asal cepat

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 09 Juli 2018 / 15:40 WIB
Tidak asal cepat

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Sekelompok orang muda sedang asyik berdiskusi tentang perkembangan dunia usaha masa kini. Ada yang menyebutnya sebagai era digital, disrupsi ataupun revolusi industri 4.0.

Tiba-tiba semua menjadi begitu fasih mendiskusikan persoalan teknologi, mulai dari urusan artificial intelligence, data-analytics, internet of things, dan sebagainya.

Sebagai orang yang lebih tua, saya menikmati perbincangan tersebut dengan mengambil posisi sebagai seorang pendengar yang baik. Cukup mengamati, mendengarkan dan memikirkannya di dalam benak sendiri.

Di akhir diskusi, mereka menyepakati bahwa di zaman yang penuh VUCA (volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity), semua orang harus bertindak “cepat, cepat dan cepat”.

Kecepatanlah (bahasa kerennya “speed”) yang akan menentukan menang kalahnya seseorang atawa institusi dalam dinamika persaingan.

Dengan lantang mereka berujar “yang cepat, yang menang. Semakin cepat, semakin baik!” Sangat mirip dengan ucapan para pejabat kita saat berbicara tentang kompetisi global.

Dalam hati, saya setuju saja dengan kesimpulan itu, namun tetap dengan catatan. Catatannya adalah “selain cepat, juga harus benar”. Buat apa juga bertindak cepat, namun ternyata salah?

Saya teringat dengan cerita sederhana berikut ini. Alkisah, seorang pengusaha muda baru saja membeli mobil mewah yang mengkilap. Ia pun menjajal mobil barunya dengan menuruni jalan di lereng yang sepi.

Jalanan yang mulus dan cuaca cerah, membuatnya memacu kendaraan dalam kecepatan tinggi. Beberapa pejalan kaki dilewatinya, tanpa sempat diperhatikan barang sedetik pun. Maklumlah, ia sangat menikmati perjalanan dengan mobil barunya.

Hingga, tiba-tiba badan mobil berbunyi keras dan menghentak pendengarannya. Seketika juga ia menghentikan kendaraan, dan turun memeriksa keadaan.

Astaga, ada bagian mobil yang luka cukup dalam tersabet lemparan batu.

Sambil menanggung amarah, matanya pun menatap tajam sekitar tempat kejadian mencari sang pelempar batu.

Tampak seorang bocah kecil membungkuk ketakutan, sambil meminta maaf dan mengakui perbuatannya.

Saat mulut sang pemuda hendak membentak mengumbar amarah, si bocah pun menunjuk jari ke bawah lereng. Ternyata, kakak sang anak terpeleset ke bawah bersama dengan kursi rodanya.

Ya, ternyata si anak berusaha mencari bantuan seseorang untuk mengangkat kakaknya yang lumpuh dan terjatuh ke bawah. Badannya yang kecil tak memungkinkannya mengangkat sang kakak bersama kursi roda.

Sang bocah ternyata sudah beberapa kali menjulurkan tangan sambil berteriak meminta pertolongan kepada para pengendara mobil yang lewat. Namun, mereka berlalu begitu saja dan mengabaikan dirinya.

Akhirnya, ia memberanikan diri melempar batu untuk “memaksa” pengendara yang lewat memberhentikan kendaraannya.

Sang anak tahu bahwa itu bukannya tanpa risiko, namun jika tak dilakukannya, kakaknya tak akan bisa tertolong.

Saat mengetahui alasan sang anak, amarah sang pemuda pun surut seketika. Tanpa menghabiskan waktu berlama-lama, segera ia turun ke bawah lereng untuk membantu mengangkat kakak si bocah.


 

Perlambat Langkah

Sambil menunggu sang bocah berjalan kembali menuntun kakaknya di atas kursi roda, sang pemuda hanya bisa menatap dalam sobekan di badan mobil barunya.

Alih-alih kesal terhadap sobekan tersebut, ia justru berjanji untuk tak memperbaikinya. Ia menjadikan sobekan itu sebagai pengingat untuk tidak melaju terlalu cepat.

Seperti kata pepatah bijak, “Janganlah melaju terlalu cepat dalam hidupmu, karena seseorang akan melemparkan batu untuk menarik perhatianmu”.

Dalam bukunya berjudul Thank You for Being Late : An Optimist’s Guide to Thriving in the Age of Accelarations (2016), Thomas L. Friedman menyadarkan kita akan era baru yang bergerak begitu cepat; sebuah era di mana perkembangan teknologi, gerak globalisasi, perubahan iklim mengalami akselerasi secara bersamaan, dan menciptakan keadaan peradaban yang memusingkan (dizzying).

Kita tetap bisa mengatasi kerumitan persoalan-persoalan tersebut, jika kita berani dan mau mengendurkan langkah (being late) untuk memikirkan dengan seksama kehidupan kita, entah itu kehidupan pekerjaan, politik dan sosial komunitas.

Dengan kata lain, kecepatan pergerakan lingkungan sekitar mesti disikapi dengan kecermatan pikiran di dalam diri.

Dalam wawancaranya dengan majalah Harvard Business Review (edisi May–June 2018), guru kehidupan Deepak Chopra mengingatkan pentingnya “meditasi” dalam kehidupan masa kini yang serba sibuk.

Bagi mereka yang merasa tak sempat melakukan meditasi sekali dalam sehari, Deepak justru menasehati untuk melakukannya dua kali dalam sehari. Bergerak cepat ... harus! Namun sebelumnya, ... berpikir cermat. ?



TERBARU

×