kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Krisis dan Pencitraan

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal


Selasa, 10 Juli 2018 / 20:05 WIB
Krisis dan Pencitraan

Reporter: Satrio Utomo | Editor: hendrika.yunaprita

Hari Jumat pekan lalu, Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke Suriah. Melihat bagaimana AS mengobrak-abrik Timur Tengah beberapa dekade terakhir, penyerangan ini tampaknya hal biasa. Tapi, kini orang mulai berbicara perang dunia ketiga, karena Suriah didukung Rusia.

Beberapa minggu sebelumnya, AS melancarkan perang dagang dengan China. Pertengahan Maret, isu ini mulai muncul. Indeks Dow Jones Industrial, kemudian diikuti seluruh indeks bursa global, menurun. Pasca penandatanganan aturan tarif baru oleh AS, DJI terkoreksi 5%-6% dalam beberapa hari. Pada 4 April, China membalas dengan mengenakan tarif pada produk-produk AS. Pada 6 April, DJI terkoreksi lebih dari 500 poin sebagai cermin kecemasan pasar.

Kemudian, Presiden AS mengeluarkan pernyataan lewat Twitter, beliau dan Presiden China adalah teman baik. Setelah itu, market AS kembali rebound. Tapi gara-gara serangan AS, kondisi adem ini langsung hilang tak berbekas.

Kita akan lihat pengaruh serangan ini pada perdagangan Senin. Dari berbagai berita, serangan ini tak berefek pada kemampuan Suriah memproduksi maupun menyerang dengan senjata kimia. Rusia, selaku sekutu Suriah, hingga Minggu sore tak mengeluarkan pernyataan apapun yang bisa mengguncang market. Pengaruh serangan udara sebenarnya tak ada. Tapi karena orang mulai ngomong perang dunia ketiga, semua takut.

Salah satu opini yang saya baca menyatakan penyerangan ini hanya upaya pencitraan Donald Trump yang semakin tak dipercaya publik AS. Dari pencitraan, muncul krisis. Krisis itu sering tidak tampak dalam kehidupan nyata. Akan tetapi, sebuah krisis bakal mempengaruhi banyak hal, terutama bagi mereka yang mengetahuinya. Mereka yang sadar bahwa kita berada dalam krisis ekonomi misalnya, bakal mengurangi minat membeli barang, menunda pembelian, membatalkan keinginan membuka usaha dan masih banyak lagi. Krisis akan membuat orang takut.

Tahun depan, kita akan pilpres. Para calon mulai muncul. Semua yang merasa punya kans berusaha melakukan pencitraan. Persaingan pencitraan ini, pertempuran dari para pendukung mereka, kemudian menyebabkan krisis pencitraan. Masalahnya, semua tak berhenti di sini.

Presiden Jokowi telah melakukan banyak hal beberapa tahun terakhir. Yang paling mencolok adalah mempertahankan pertumbuhan ekonomi di level cukup tinggi (setidaknya masih di atas 5%) dan membangun infrastruktur sangat masif.

Para calon lawan Jokowi kemudian melakukan pencitraan krisis. Mengangkat berbagai isu yang memperlihatkan seolah kita sedang krisis. Mereka mengangkat berbagai isu yang bisa dianggap sebagai hal negatif dari pemerintahan Jokowi, seperti masalah kenaikan utang (meski sebenarnya rasio utang terhadap PDB tetap rendah), rupiah terhadap dollar AS yang masih di atas 13.500.

Apakah ini pekerjaan mudah? Tentu tidak. Kita enggak krisis, kok dibilang krisis? Tetapi, dengan minimnya uang di masyarakat, konsumsi masyarakat masih rendah, bursa global yang memusingkan akibat ulah Trump, dengan semua keberisikan media memberitakan pertentangan akibat Pilkada, tak mudah membuat publik percaya kita tidak krisis.

Saya seorang market analyst yang melihat market lebih dari kacamata seorang analis teknikal. Kadang, saya menebak-nebak alasan. Saya yakin alasan untuk semua pergerakan harga selalu ada di pasar. Berita bagus sebagai alasan untuk harga naik. Begitu pun sebaliknya.

Jokowi Effect misalnya, dulu dikenal sebagai naiknya IHSG terkait elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden di Pilpres 2014. Sekarang, Jokowi Effect mungkin sebaiknya dilekatkan pada kejatuhan IHSG akibat pernyataan anti-market yang dikeluarkan Jokowi dan orang-orang di dalam pemerintahan.

Kejatuhan harga saham sektor semen akibat dari penurunan harga semen yang dilakukan oleh salah seorang menteri di awal 2015. Lalu ada masalah pembatasan NIM bank yang kemudian menghancurkan saham perbankan, dan seterusnya. Yang terakhir, beberapa waktu lalu kebijakan domestic market obligation membuat harga saham batubara berjatuhan di awal tahun ini.

Masalahnya, sekarang saya melihat kemungkinan koreksi berkepanjangan yang akan terjadi beberapa bulan ke depan (meski untuk jangka pendek, saya melihat ada peluang IHSG kembali menguat setidaknya ke 6.4006.600). Tapi ada peluang besar bagi IHSG untuk turun di bawah level psikologis 6.000.

Pertanyaannya, dari mana sentimen negatifnya? Apakah dari Jokowi Effect yang baru? Atau dari sentimen kegilaan Trump yang masih berlanjut?

Apapun alasannya, saya sedikit prihatin dengan masalah berikut: Bursa Efek sedang getol mengkampanyekan Yuk Nabung Saham. Dalam program Yuk Nabung Saham ini, investor pemula diajak menabung saham, menyimpannya dengan strategi Buy and Hold, dengan strategi akumulasi.

Strategi ini, kurang sesuai ketika market konsolidasi berkepanjangan. Apa iya mereka yang ikut Yuk Nabung Saham (terutama yang baru masuk di awal 2018, ketika IHSG di atas 6.500) kemudian bisa terus diam di tengah portofolio yang kemudian memerah? Bagaimana jika koreksi IHSG tak hanya di sekitar 6.000, seperti perkiraan saya sekarang?

Semua memang tergantung pencitraannya. Tapi jika krisis pencitraan (pencitraan dari orang-orang yang ingin menaikkan citra) kemudian membuat pencitraan krisis (pencitraan bahwa kita sekarang krisis padahal tidak) menjadi kenyataan, jelas enggak lucu. Kan enggak ada apa-apa, kok malah bisa jadi krisis? Apa iya kita semua terlalu naif sehingga membiarkan semua itu bisa terjadi?

Happy trading, semoga barokah!!!



TERBARU

×