kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Uang dan motif sosial

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 23 Juli 2018 / 17:13 WIB
Uang dan motif sosial

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Pada hari Jumat, 18 Mei 2018, pendiri dan pemilik perusahaan raksasa e-dagang Alibaba, Jack Ma, dianugerahi gelar doktor kehormatan oleh University of Hongkong.

Pidato penerimaan gelar oleh Ma menjadi viral di seluruh dunia, karena begitu sarat dengan inspirasi dan pencerahan.

Paling tidak ada tiga isu utama yang disampaikan Ma dalam pidatonya tersebut, yakni urusan pendidikan, kewirausahaan dan pengelolaan uang.

Saya pribadi tergugah dengan omongan Ma yang terkait dengan uang. Katanya, “Ketika kita mempunyai uang 1 juta dollar, uang itu memang milik kita; ketika kita mempunyai uang 10 juta dollar, problem mungkin bermunculan; ketika kita mempunyai uang 100 juta dollar, rasanya itu bukan uang kita lagi”.

Menurut pengusaha yang juga lulusan pendidikan bahasa Inggris dari Hangzhou Teacher’s Insitute tersebut, uang yang jumlahnya banyak itu adalah kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada pemiliknya.

Masyarakat percaya bahwa sang pemilik akan membelanjakan dan menggunakan uangnya lebih bijaksana.

Ma juga melengkapi pesannya tersebut dengan mengatakan, “Seorang pengusaha sejati mendapatkan uang dengan menyelesaikan persoalan sosial untuk kepentingan masyarakat secara luas”.

Menyimak petuah di atas, pikiran saya melintas balik kepada peristiwa krisis keuangan yang terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu.

Guna mengatasi situasi darurat waktu itu, tiga raksasa otomotif Amerika Serikat (General Motos Corp (GM), Chrysler LLC, dan Ford Motor Co.) yang juga dikenal dengan sebutan The Big Three harus meminta dana talangan kepada kongres Amerika sekitar US$ 40 Miliar.

Alasannya adalah untuk menyelamatkan industri otomotif yang membawa citra Amerika Serikat dari kebangkrutan, sekaligus juga menghindari gelombang pemutusan hubungan kerja.

Penggalan berita tersebut menjadi headline di berbagai media internasional dan lokal pada awal tahun 2009. Mendadak sontak, kabar tersebut menjadi begitu heboh.

Bagaimana mungkin tiga perusahaan otomotif terbesar di Amerika, berumur ratusan tahun, hadir di lebih dari 30 negara, memiliki sekitar 160 pabrik di seluruh dunia, dan produk-produknya merajai jalan-jalan hampir di seluruh dunia, bisa terancam bangkrut.

Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya begitu sukses, tiba-tiba lemas terkulai.

Berita kebangkrutan tersebut ternyata tak berhenti sampai di situ. Berita ini menjadi semakin tragis, ketika publik mengetahui bahwa di tengah krisis keuangan perusahaan, para pemimpin The Big Three masih bisa bersolek necis dan terbang dengan jet pribadi dari Detroit ke Washington untuk ”mengemis” dana talangan tersebut.

Menggunakan kerangka berpikir Jack Ma di atas, saya bertanya di dalam hati, apakah memang demikian cara yang pantas untuk “membayar” kepercayaan masyarakat yang sudah menitipkan uang begitu banyak kepada kita? Sebagai pengusaha, persoalan sosial apa yang hendak diselesaikan, dan demi kepentingan siapa pula?


 

Kepercayaan

Saya teringat pesan bijak seorang teman. Katanya, “Nothing fails like success”. Tak ada kegagalan (yang begitu dahsyat) seperti halnya kesuksesan.

Seringkali, kesuksesan membawa seseorang pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya lagi. Orang menjadi sombong, tinggi hati dan terlatih membusungkan dadanya sendiri.

Saat orang memperoleh kesuksesan, tanpa disadari, orang belajar untuk lebih mencintai prestasi dan diri pribadi. Orang gampang alpa terhadap keperluan orang lain, karena sudah terlanjur sibuk memikirkan dan mematut dirinya sendiri.

Seorang pengusaha sekaligus filantropis senior beberapa kali mengajukan pertanyaan menggelitik ini kepada saya, “Saat melihat seorang anak yang mengetuk kaca jendela mobil kita sambil meminta uang recehan, apakah kita ikut bertanggungjawab?”

Demikian juga, “Saat melihat seorang ibu sederhana yang setiap hari bekerja memotong rumput di pinggir jalan raya, namun tak kunjung bisa memperbaiki kehidupan ekonominya, apakah kita juga perlu mengulurkan tangan?”

Jika kita melihat kehidupan sebagai urusan individual, tentang jawaban atas pertanyaan tersebut di atas adalah “Tidak”.

Sama halnya pula, jika kita melihat uang di kantong dan rekening kita adalah kepemilikan yang bersifat pribadi, maka tak ada keharusan pula untuk memikirkan urusan di atas.

Namun, jika uang yang dimiliki dimaknai sebagai “kepercayaan” yang dititipkan masyarakat kepada kita untuk menyelesaikan persoalan sosial dengan sebaik-baiknya, maka sikap kita terhadap si anak pengemis dan ibu pemotong rumput pun menjadi berbeda.

Benarlah kata sang pengusaha filantropis kepada saya, “Seorang pengusaha sejati tak hanya bekerja di atas motif ekonomi belaka. Namun, juga harus memiliki motif sosial”. ?



TERBARU

×