kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Teror Bom Surabaya dan Pergerakan IHSG

oleh Satrio Utomo - Pengamat Pasar Modal


Senin, 23 Juli 2018 / 20:00 WIB
Teror Bom Surabaya dan Pergerakan IHSG

Reporter: Satrio Utomo | Editor: hendrika.yunaprita

Minggu pagi kemarin, Surabaya diguncang aksi terorisme berupa bom bunuh diri di beberapa gereja. Saya mengucapkan turut bela sungkawa bagi teman dan saudara kita yang menjadi korban peristiwa ini. Sebagai orang yang lebih dari 15 tahun hidup di Surabaya, bom tersebut mengusik rasa persatuan dan kebersamaan kita. Semoga pelakunya segera diungkap, ditangkap dan keadilan bisa ditegakkan.

Bagaimana pengaruh teror bom Surabaya ke pasar modal kita? Kejadian seperti ini sudah lama tak berpengaruh ke IHSG. Pasar saham kita tak lagi takut terhadap aksi teror. Kalaupun ada koreksi, itu hanya pergerakan intraday (pergerakan harga dalam satu hari perdagangan). IHSG malah lebih sering naik pasca aksi teror. Bukan berarti IHSG gembira pasca teror.

IHSG di akhir minggu lalu rebound cukup besar. Setelah lebih dari dua minggu terkoreksi akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, IHSG akhirnya rebound. IHSG yang pada pertengahan April lalu masih di 6.300–6.350, turun dari 6.300-an hingga ke titik terendah di 5.716,65 pada Rabu pagi, 11 Mei 2018, sebelum bangkit mulai Rabu siang hingga Jumat dan mendekati level psikologis 6.000.

Yang paling menarik dari koreksi kemarin: posisi rupiah terhadap dollar AS yang digadang-gadang sebagai faktor utama pelemahan IHSG, sebenarnya hanya sempat di atas level psikologis Rp 14.000 selama dua-tiga hari, pasca pengumuman pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I-2018 di bawah ekspektasi, sebelum kembali ditutup di bawah Rp 14.000 pada Jumat.

Ketakutan akan pelemahan rupiah yang digembar-gemborkan sebagian besar orang dan membuat IHSG terkoreksi ternyata hanya sempat melemah di atas Rp 14.000 selama tiga hari. Bank Indonesia berhasil menjaga nilai tukar hingga ditutup di bawah Rp 14.000 di akhir minggu.

Apakah bom Surabaya kemudian terkait pelemahan rupiah dan kejatuhan IHSG sebelumnya? Tentu tidak. Kalau kita mau flash back pada tulisan saya tiga minggu lalu, dimana ada pihak tengah membuat krisis pencitraan dan pencitraan krisis, sepertinya saya belum ingin menutup pintu ke arah itu. Memang, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018 sedikit di bawah ekspektasi konsensus. Ini memberikan pembenaran akan tren turun IHSG. Namun, ada beberapa pertanyaan yang kemudian menggelitik: apakah setelah data ekonomi yang buruk itu, IHSG masih akan turun? Apakah IHSG masih menuju level 5.4005.600 seperti kata para komentator yang kelewat bearish ketika IHSG jatuh di dua minggu terakhir?

Terkait kemungkinan kelanjutan koreksi IHSG, saya kemarin melihat ada sebuah fakta menarik. Rupiah, yang katanya menjadi penekan IHSG, ternyata di akhir minggu kemarin ditutup di bawah Rp 14.000. Padahal, ketakutan di berbagai kalangan mengenai pelemahan rupiah dipicu hasil stress test yang mungkin seharusnya (setidaknya menurut Bank Indonesia), tidak dipublikasikan. BI yang memiliki tugas menjaga nilai tukar, dibuat sport jantung akibat pernyataan kurang tepat, yang dilontarkan pihak lain. Langkah BI menjaga rupiah tetap di bawah level psikologis Rp 14.000 memang patut diacungi jempol.

Bursa regional sebenarnya bullish, terutama Indeks Dow Jones Industrial. Setelah The Fed menahan bunga acuan di awal Mei ini, indeks Dow Jones secara teknikal dalam tren naik cukup kuat, dengan potensi kembali menguji resisten di level psikologis 25.000. Sentimen perang dagang mereda. Sentimen kenaikan suku bunga juga sudah hilang. Ini yang membuat, pada dua minggu terakhir, ketika IHSG turun dari 6.300-an ke 5.700-an, saya sulit untuk bearish. Regional bagus, kok IHSG turun? Ketika data pertumbuhan ekonomi yang ternyata jelek itu keluar, saya sempat berkata: oh, ternyata ini penyebabnya. Tapi, apa iya buruknya data ekonomi tetap menjadi penyebab dari pelemahan IHSG hingga ke level 5.400–5.600?

Satu-satunya berita negatif yang timbul, kemungkinan berasal dari harga minyak. Harga minyak WTI yang menjadi benchmark saya dalam memantau harga minyak dunia, akhirnya ke level psikologis US$ 70 per barel di awal Mei ini. Kondisi dimana Pemerintah semakin tidak jujur mengatur harga BBM, bisa jadi akan menimbulkan masalah di masa mendatang. Krisis di Pertamina, yang terjadi tepat di saat BI dalam masa transisi kepemimpinan, memang bukan berita bagus. Ke depan, harga minyak terus naik ke US$ 75–US$ 76 seperti perkiraan saya beberapa bulan lalu, bisa saja tetap menjadi tekanan terhadap nilai tukar.

Faktor terakhir yang saya perhatikan adalah aliran dana asing di pasar reguler. Asing memang masih tetap melakukan posisi jual. Akan tetapi, besarannya sudah tak seperti di bulan-bulan lalu. Aksi jual asing di pasar reguler, belakangan sudah lebih sering di bawah Rp 500 miliar per hari. Melihat pengalaman ketika market konsolidasi di tahun 2012-2016, net sell Rp 500 miliar itu sebenarnya sudah bisa diatasi oleh pemodal lokal yang besar, seperti BJPS Ketenagakerjaan atau Asabri. Net sell di bawah Rp 500 miliar per hari, itu net sell yang kecil. Market kita sebenarnya turun hanya karena kepanikan investor lokal, bukan karena tekanan pemodal asing.

Tidak adanya berita buruk itulah yang membuat saya tertarik dengan skenario Krisis Pencitraan, Pencitraan Krisis. Regional bagus, ekonomi kita juga tak jelek, rupiah masih ketat dalam penjagaan BI, tekanan harga minyak sudah tidak terlalu besar, tekanan pemodal asing sudah minim. Ini yang membuat koreksi yang terjadi, sebenarnya lebih karena ketakutan kita pada diri sendiri. Koreksi lebih karena komentar-komentar yang miring. Sayangnya, kondisi fundamental juga tidak terlalu mendukung. Itu yang membuat komentar miring itu jadi seakan-akan realita.

Harga saham naik turun sejalan sentimen di pasar modal. Istilah kerennya: fear and greed adalah membuat harga saham bergerak. Rasa takut (fear) akan ketidakpastian membuat orang melakukan posisi jual, yang akhirnya harga turun. Rasa optimis akan pertumbuhan di masa datang, biasanya membangkitkan keinginan pelaku pasar untuk beli. Posisi beli yang kalau kebablasan, kemudian dibumbui rasa serakah (greed) biasanya membuat harga naik. Kadang kenaikan terlalu tinggi sehingga market terasa kepanasan. Kenaikan IHSG ke atas 6.600, memang kurang begitu didukung kondisi fundamental ekonomi dan emiten. Akan tetapi, apakah kemudian IHSG bisa turun 20% tanpa henti, sepertinya juga bukan karena kita dalam kondisi krisis. Setidaknya untuk saat ini.

Bom mengguncang Surabaya. Apakah IHSG kemudian bergerak turun? Apakah pasar modal kita terganggu? Biasanya sih tidak. Akan tetapi, dengan kondisi market kita sedang dalam kondisi yang kurang begitu bagus, tentu saja tidak ada yang bisa memberikan jaminan. Secara teknikal, IHSG sebenarnya dalam fase usaha terakhir untuk bertahan di atas 6.000. Memang ada peluang sedikit koreksi, tapi hingga satu-dua minggu ke depan, IHSG berada dalam mode technical rebound. Yang perlu diwaspadai adalah pergerakan IHSG di Kuartal III-2018. Dengan kondisi ekonomi dan fundamental emiten yang kurang begitu bagus, IHSG sepertinya tetap sulit mencetak rekor baru. Akan tetapi, seberapa buruk jika IHSG turun? Ah, itu kita pikirkan setelah lebaran saja. Yang jelas, mari kita sambut permulaan Ramadan ini dengan kondisi market yang sedikit lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Marhaban yaa Ramadan. Selamat datang Ramadan. Semoga Alloh SWT memberkahi usaha dan ibadah kita selama Ramadan. Semoga Allah tetap menjaga kerukunan diantara umat beragama di Indonesia.

(Sudah dimuat di Harian KONTAN, 14 Mei 2018)



TERBARU

×