kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / wakeupcall

Teori Paritas Nilai Tukar

oleh Budi Frensidy - Staf Pengajar FEB-UI dan Penulis Buku Matematika Keuangan


Senin, 30 Juli 2018 / 18:45 WIB
Teori Paritas Nilai Tukar

Reporter: Budi Frensidy | Editor: hendrika.yunaprita

Dalam setengah abad terakhir, dollar amerika serikat (AS) terus menguat terhadap rupiah. Sebelum 1971, USD hanya dihargai Rp 378, yang kemudian jadi Rp 415 saat devaluasi di 1971, Rp 625 (devaluasi 1978), Rp 970 (devaluasi 1983) dan Rp 1.664 (devaluasi terakhir 1986).

Indonesia tidak lagi menggunakan sistem kurs tetap tetapi kurs mengambang. Kita pun tidak lagi mendengar istilah devaluasi tetapi depresiasi (melemah) dan apresiasi (menguat).

Sepanjang tahun ini, USD menguat, dari Rp 13.357 jadi Rp 14.077 per Jumat lalu (22/6). Banyak yang berkepentingan dengan kurs USD ini, terutama importir, eksportir, investor, penggemar barang impor dan yang sering bepergian ke luar negeri. Berapa sih wajarnya kurs USD dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya?

Sejatinya, menentukan kurs wajar USD sulit, karena pergerakannya tidak selalu dapat dijelaskan oleh variabel ekonomi. Buktinya, kurs USD pernah naik hingga enam kali lipat kurang dari satu tahun. Tahun 1998, USD naik dari Rp 2.500 menjadi Rp 15.000, untuk kemudian turun sekitar 55% di 1999 menjadi Rp 6.600.

Rupiah kemudian jatuh lagi ke Rp 12.000 di 2009, sebelum balik menguat menjadi Rp 8.460 di Agustus 2011. Siapa pun sepakat kalau faktor ekonomi atau moneter semata tidak mampu menjelaskan gerakan liar USD terhadap rupiah selama ini.

Secara teori, ada tiga pendekatan yang biasa digunakan untuk menghitung kurs wajar USD. Ketiga pendekatan itu adalah teori paritas, pendekatan neraca pembayaran dan pendekatan pasar aset. Untuk teori paritas sendiri, kita mengenal tiga pendekatan, yaitu hukum satu harga, PPP relatif dan interest rate parity (IRP)

Pendekatan hukum satu harga mengatakan bahwa barang yang sama dari perusahaan yang sama dan dijual di beberapa negara mesti berharga sama. Ada sedikit produk yang memenuhi kriteria ini, namun yang paling sering digunakan sebagai acuan adalah harga Big Mac dari McDonald.

Awal Februari ini di AS harga Big Mac US$ 5,28 dan di Indonesia Rp 35.750. Berdasarkan hukum satu harga, kurs wajar USD menjadi Rp 6.771 atau Rp 35.750 dibagi US$ 5,28. Berdasarkan hukum satu harga, kurs USD saat ini sudah lebih dari dua kalinya.

Kelemahan pendekatan ini adalah uang Rp 35.750 dan US$ 5,28 dianggap punya daya beli sama. Asumsi ini kurang realistis karena kenyataannya daya beli Rp 35.750 di Indonesia jauh lebih besar daripada US$ 5,28 di Amerika. upah minimum di Indonesia sekitar Rp 3 juta per bulan, sementara di AS sekitar US$ 7,25 per jam atau Rp 800.000 per hari.

Pendekatan kedua, yakni paritas daya beli (PPP) menyatakan, mata uang yang inflasi tahunannya lebih besar akan mengalami depresiasi. Mata uang yang inflasinya lebih tinggi akan melemah sebesar selisih perbedaan inflasi kedua negara.

Menggunakan inflasi tahunan rata-rata Indonesia dan Amerika selama delapan tahun terakhir yang 5,25% dan 1,69%, maka depresiasi rupiah per tahun wajarnya adalah 3,56%. Jika kita menganggap kurs awal tahun 2010, yaitu Rp 9.330, sebagai kurs dasar, maka kurs wajar saat ini adalah sekitar Rp 12.343, yang didapat dari Rp 9.330 x (1 + 3,56%)^8.

Pendekatan paritas ketiga adalah paritas suku bunga atau IRP. IRP hampir sama dengan PPP. Bedanya, IRP menggunakan bunga bebas risiko, yaitu bunga BI untuk Indonesia dan the Fed untuk Amerika.

Berdasarkan IRP, mata uang yang bunga bebas risikonya lebih besar akan mengalami depresiasi. Menurut Fisher, bunga bebas risiko adalah inflasi plus bunga riil. Jika bunga riil di Indonesia dan di Amerika sama, kurs wajar USD berdasarkan IRP relatif akan sama dengan kurs berdasarkan PPP.

Berdasarkan IRP dan menggunakan kurs dasar awal 2010 sebesar Rp 9.330, serta rata-rata suku bunga kedua negara yaitu 6,28% dan 0,5%, kita akan mendapatkan kurs wajar dollar AS adalah Rp 14.625.

Kelemahan PPP dan IRP adalah, keduanya mereduksi semua faktor ekonomi dalam satu variabel saja, yaitu inflasi atau bunga bebas risiko dan mengabaikan hukum permintaan dan penawaran. Padahal dalam praktik, nilai tukar tergantung pada permintaan dan penawaran.

Permintaan penawaran tersebut dipengaruhi beberapa faktor ekonomi, seperti defisit transaksi berjalan, defisit dan surplus neraca pembayaran (yang bermuara ke cadangan devisa pada akhirnya), CDS (indikator untuk sentimen investor) dan aliran masuk serta keluar dana asing di pasar keuangan, akibat daya tarik relatif rupiah dan investasi portofolio dalam rupiah.

Untuk saat ini, faktor-faktor di atas nyatanya lebih dominan daripada kondisi paritas. Buktinya, untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran dollar, BI harus melakukan intervensi. Untuk membuat rupiah dan investasi portofolio dalam rupiah lebih menarik, BI juga menaikkan suku bunga acuan.

Kita pun mempunyai pendekatan neraca pembayaran dan pendekatan pasar aset untuk menjelaskan faktor ini. Saya akan membahasnya pada kesempatan lain.



TERBARU

×