kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
KOLOM / refleksi

Serba Reaktif

oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan


Senin, 13 Agustus 2018 / 17:30 WIB
Serba Reaktif

Reporter: Ekuslie Goestiandi | Editor: mesti.sinaga

Lagi, belakangan ini saya mendapatkan banyak kesempatan berdiskusi tentang kondisi bisnis yang serba tak jelas. Bahasa kerennya, VUCA, yang bermakna : volatile (mudah berubah), uncertain (tak menentu), complex (rumit), dan ambiguous (serba ragu).

Di tengah kondisi seperti ini, kita seolah “dipaksa” untuk bertindak cepat, sigap reaksi dan berpikir dalam kerangka waktu yang ringkas.

Waktu adalah peluang, dan dengan demikian, sedikit telat bersikap, akan disalip para lawan persaingan.

Sepertinya, tak ada tempat lagi untuk perusahaan yang berorientasi jangka panjang, karena persaingan berjalan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apakah itu dalam hitungan menit, hari, bulan, dan paling panjang satu tahun.

Saya teringat dengan cerita Jeff Bezos, orang paling kaya sejagad saat ini, yang membangun bisnis e-dagang terbesar dunia, Amazon.com.

Saat membawa perusahaannya go public tahun 1997, Jeff Bezos, yang pernah terpilih sebagai The Best-performing CEO In The World tahun 2014 versi majalah Harvard Business Review, dari awal mewanti-wanti para pemegang saham perusahaannya untuk melihat perusahaan secara jangka-panjang.

Jeff tahu persis kebiasaan para pemegang saham publik, yang umumnya senang “berjudi” dengan saham yang dibelinya.

Banyak investor publik yang bersikap pragmatis dan mengharapkan keuntungan besar dalam seketika. Mengingat Amazon.com sudah memiliki reputasi mentereng dengan sosok CEO yang hebat, tak heran jika mereka berharap bahwa saham Amazon.com pun akan melejit dan menghasilkan keuntungan dalam sekejap.

Oleh karenanya, sedari awal Jeff mengirimkan pesan yang tertulis jelas kepada seluruh pemegang sahamnya, yakni it’s all about the long term.

Lebih jauh, Jeff percaya jika kita memiliki misi bisnis yang jelas dan berorientasi jangka panjang, maka kepentingan pelanggan dan pemegang saham akan bisa diselaraskan. Baginya, secara jangka pendek, kedua hal tersebut boleh jadi terkesan saling bertabrakan.

Ambil contoh, akibat melakukan investasi untuk sebuah proyek inovasi jangka panjang, mungkin saja tingkat keuntungan tahunan perusahaan sedikit tergerus, yang berakibat dividen yang diberikan kepada pemegang saham pun menjadi lebih kecil.

Namun, bukankah inovasi itu diperlukan untuk memacu pertumbuhan perusahaan secara jangka panjang?

Jeff mengatakan bahwa tak akan ada produk-produk inovatif seperti Kindle, Amazon Web Services ataupun Amazon Prime, jika perusahaan tak rela “mengorbankan” uangnya untuk melakukan investasi jangka panjang.

Jeff mengaku tak ambil pusing dengan peta persaingan yang ada, karena menaklukkan kompetitor bukanlah hasrat Amazon.com.

Alih-alih berkompetisi secara reaktif, Jeff justru mendorong segenap karyawannya untuk melakukan eksplorasi menemukan cara-cara terbaik memuaskan, menjaga dan menumbuhkembangkan pelanggannya.

Ia tidak reaktif dengan apa yang dilakukan oleh kompetitornya, karena yakin dengan core competence yang dimilikinya, yakni kemampuan inovasi untuk menciptakan buying experience yang mudah dan menyenangkan bagi pelanggan.

Majalah Fast Company bahkan menobatkan Amazon.com sebagai The World’s Most Innovative company tahun 2017.

Sebagai konsekuensi logis dari praksis bisnisnya yang berorientasi jangka panjang, sepanjang jabatannya sebagai CEO Amazon.com (sejak 1996), Jeff telah berhasil membawa perusahaan itu meraih keuntungan bagi pemegang saham (total shareholder return) sebesar + 120 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata perusahaan dari industri yang sama, atau juga sebesar + 120 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata perusahaan dari negara yang sama (dalam hal ini Amerika Serikat).

Tidak mudah ditiru

Apa yang dilakukan oleh Bezos seiring dengan pemikiran ahli manajemen C. K. Prahalad dan Gary Hamel.

Bagi Prahalad dan Hamel, untuk selalu berada di depan barisan persaingan, perusahaan tak cukup hanya memiliki strategi yang hebat dan taktik yang unik, namun yang lebih penting adalah core competence.

Core competence merupakan kompetensi penting yang dimiliki oleh perusahaan, yang menjadikannya berbeda secara nyata dengan perusahaan-perusahaan lainnya.

Ada tiga ciri utama dari core competence sebuah perusahaan yang hebat, yakni :

(1) tidak mudah ditiru oleh para pesaing;

(2) dapat diterapkan dan digunakan secara luas dalam berbagai portfolio, pasar ataupun produk dari perusahaan, dan

(3) memberikan kontribusi nyata dalam peningkatan manfaat produk/layanan yang diberikan kepada konsumen.

Pada kenyataannya, walaupun banyak yang mengerti pentingnya core competence, tak banyak perusahaan sungguh-sungguh merumuskan dan menggarapnya.

Prahalad dan Hammel bertutur bahwa perumusan core competence memang membutuhkan visi jangka panjang yang tajam sekaligus juga komitmen eksekusi yang konsisten.

Jelas itu bukanlah urusan yang mudah, apalagi di tengah kondisi persaingan yang serba darurat dan berorientasi jangka pendek.

Kalau sudah demikian halnya, perusahaan tak akan bisa mengaktivasi “kompas” penuntun perjalanan di masa depan, karena selalu terjebak dalam keadaan survival mode.  Serba reaktif.  ?



TERBARU

×